“Karama”
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 20 Mei 2015
Pada
mulanya, hanya tiga kata yang diteriakkan oleh ribuan orang yang mengarus ke
Tahrir Square di Kairo, Mesir, pada 25 Januari 2011. Ribuan orang itu
bergerak masuk ke Tahrir Square (Alun-alun Tahrir) yang menjadi jantung
gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Presiden Hosni Mubarak.
Mereka
masuk Alun-alun Tahrir melewati patung Saad Zaghlul, pemimpin revolusi Mesir
pada 1919. Sambil berjalan-bahkan yang sudah berada di Alun-alun
Tahrir-mereka terus meneriakkan tiga kata bertuah bagaikan mantra: aish,
hurriya, dan karama (roti, kebebasan, dan martabat). Dari sini, massa yang
tidak puas terhadap pemerintah bergerak dan pada akhirnya mereka menuntut
pengunduran diri Mubarak. Mubarak mundur 11 Februari 2011 (Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir,
Trias Kuncahyono, 2012).
Empat
tahun telah berlalu, ketiga masalah tersebut-roti, kebebasan, dan
martabat-belum selesai. Memang, kebijakan baru menyangkut sistem subsidi roti
yang bertujuan mengurangi konsumsi roti dan korupsi telah membantu orang
tidak perlu repot-repot antre roti lagi. Namun, data yang dikeluarkan oleh
Capmas, lembaga statistik pemerintah, menunjukkan, jumlah orang miskin
meningkat. Tahun 2010/2011, jumlah orang miskin 25,2 persen dari 88 juta
penduduk negeri itu. Namun, tahun 2012/2013, jumlah orang miskin naik menjadi
26,3 persen.
Kebebasan
politik masih tetap merupakan hal yang mahal harganya. Peringatan Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, tahun lalu, seperti dikutip kantor
berita AFP, agar Mesir memberikan kebebasan politik yang lebih besar
merupakan salah satu penanda bahwa kebebasan politik belum seperti yang
diharapkan para penggerak revolusi. Bahkan, terutama para pendukung Ikhwanul
Muslimin, organisasi yang dilarang pemerintah, ribuan orang ditangkap dan
dipenjarakan serta ratusan orang dijatuhi hukuman mati.
Peristiwa
yang terjadi pada 2013 juga memberikan gambaran tentang kurangnya kebebasan
menyampaikan pendapat. Pada tahun itu, sebanyak 21 perempuan, termasuk remaja
berusia 15 tahunan, dijebloskan ke penjara di Alexandria karena menentang
penyingkiran Mursi.
Sudahkan
revolusi Arab Spring mengembalikan karama, martabat bangsa Mesir? Itulah
pertanyaan selanjutnya. Pemilu pertama setelah revolusi dan terpilihnya
presiden baru secara demokratis menjadi langkah awal untuk memulihkan
martabat bangsa yang beradab tinggi. Namun, langkah militer-didukung
rakyat-menyingkirkan presiden terpilih setahun kemudian menimbulkan keraguan.
Penulis
buku Inside Egypt:The Land of the
Pharaohs on the Brink of a Revolution (2008), John R Bradley, mengatakan,
rakyat Mesir menyaksikan kurangnya ekspresi kebebasan di zaman kini. Bahkan,
di zaman Hosni Mubarak dan Mursi lebih bebas (Daily News Egypt, 23 Agustus 2014).
Lalu,
bagaimana memaknai putusan hukuman mati terhadap Mursi dan lebih dari 100
orang lainnya dalam konteks karama? Jawaban pertanyaan itu justru pertanyaan:
apakah rakyat Mesir merasa karama-yang oleh Johnny West dalam Karama!
Journeys Through The Arab Spring diartikan sebagai martabat, kehormatan, atau
bahkan hormat terhadap diri sendiri-mereka pulih dengan menghukum mati begitu
banyak orang karena alasalan politik?
Rakyat
Mesir-lah yang berhak menjawab pertanyaan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar