Rabu, 20 Mei 2015

“Karama”

“Karama”

Trias Kuncahyono ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada mulanya, hanya tiga kata yang diteriakkan oleh ribuan orang yang mengarus ke Tahrir Square di Kairo, Mesir, pada 25 Januari 2011. Ribuan orang itu bergerak masuk ke Tahrir Square (Alun-alun Tahrir) yang menjadi jantung gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Presiden Hosni Mubarak.

Mereka masuk Alun-alun Tahrir melewati patung Saad Zaghlul, pemimpin revolusi Mesir pada 1919. Sambil berjalan-bahkan yang sudah berada di Alun-alun Tahrir-mereka terus meneriakkan tiga kata bertuah bagaikan mantra: aish, hurriya, dan karama (roti, kebebasan, dan martabat). Dari sini, massa yang tidak puas terhadap pemerintah bergerak dan pada akhirnya mereka menuntut pengunduran diri Mubarak. Mubarak mundur 11 Februari 2011 (Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, Trias Kuncahyono, 2012).

Empat tahun telah berlalu, ketiga masalah tersebut-roti, kebebasan, dan martabat-belum selesai. Memang, kebijakan baru menyangkut sistem subsidi roti yang bertujuan mengurangi konsumsi roti dan korupsi telah membantu orang tidak perlu repot-repot antre roti lagi. Namun, data yang dikeluarkan oleh Capmas, lembaga statistik pemerintah, menunjukkan, jumlah orang miskin meningkat. Tahun 2010/2011, jumlah orang miskin 25,2 persen dari 88 juta penduduk negeri itu. Namun, tahun 2012/2013, jumlah orang miskin naik menjadi 26,3 persen.

Kebebasan politik masih tetap merupakan hal yang mahal harganya. Peringatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, tahun lalu, seperti dikutip kantor berita AFP, agar Mesir memberikan kebebasan politik yang lebih besar merupakan salah satu penanda bahwa kebebasan politik belum seperti yang diharapkan para penggerak revolusi. Bahkan, terutama para pendukung Ikhwanul Muslimin, organisasi yang dilarang pemerintah, ribuan orang ditangkap dan dipenjarakan serta ratusan orang dijatuhi hukuman mati.

Peristiwa yang terjadi pada 2013 juga memberikan gambaran tentang kurangnya kebebasan menyampaikan pendapat. Pada tahun itu, sebanyak 21 perempuan, termasuk remaja berusia 15 tahunan, dijebloskan ke penjara di Alexandria karena menentang penyingkiran Mursi.

Sudahkan revolusi Arab Spring mengembalikan karama, martabat bangsa Mesir? Itulah pertanyaan selanjutnya. Pemilu pertama setelah revolusi dan terpilihnya presiden baru secara demokratis menjadi langkah awal untuk memulihkan martabat bangsa yang beradab tinggi. Namun, langkah militer-didukung rakyat-menyingkirkan presiden terpilih setahun kemudian menimbulkan keraguan.

Penulis buku Inside Egypt:The Land of the Pharaohs on the Brink of a Revolution (2008), John R Bradley, mengatakan, rakyat Mesir menyaksikan kurangnya ekspresi kebebasan di zaman kini. Bahkan, di zaman Hosni Mubarak dan Mursi lebih bebas (Daily News Egypt, 23 Agustus 2014).

Lalu, bagaimana memaknai putusan hukuman mati terhadap Mursi dan lebih dari 100 orang lainnya dalam konteks karama? Jawaban pertanyaan itu justru pertanyaan: apakah rakyat Mesir merasa karama-yang oleh Johnny West dalam Karama! Journeys Through The Arab Spring diartikan sebagai martabat, kehormatan, atau bahkan hormat terhadap diri sendiri-mereka pulih dengan menghukum mati begitu banyak orang karena alasalan politik?

Rakyat Mesir-lah yang berhak menjawab pertanyaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar