Rabu, 20 Mei 2015

Menggelar Tanggung Jawab ASEAN

Menggelar Tanggung Jawab ASEAN

Rene L Pattiradjawane ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 20 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika pengungsi Rohingya mulai bermunculan di negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia, disadari bahwa persoalan keamanan non-tradisional akibat manusia perahu yang berdatangan di ASEAN menjadi beban persoalan baru. Diperkirakan 3.000-an warga Rohingya terdampar di beberapa pantai ASEAN.

Bagi ASEAN, kehadiran manusia perahu Rohingya adalah dilema baru, yang bisa mengacaukan struktur kerja sama regional menuju terbentuknya Masyarakat ASEAN 2015. Tingkat pertumbuhan ASEAN yang relatif tinggi menjadikan beberapa negara ASEAN, khususnya Malaysia dan Indonesia, sebagai negara tujuan karena kesamaan kepercayaan.

Indonesia dalam posisi terjepit karena menjadi tujuan langsung manusia perahu Rohingya. Apalagi, Indonesia tidak menandatangani konvensi pengungsi, disebut The Convention on The Status of Refugee 1951, sehingga tidak memiliki kewajiban menangani masalah pengungsi ini. Namun, dalam sejarahnya, Indonesia pernah menangani masalah pengungsi terbesar, menangani ”manusia perahu” asal Vietnam setelah ibu kota Saigon direbut kaum komunis pada 1975.

Gelombang pengungsi besar ketika itu menyebabkan Indonesia membuka Pulau Galang sebagai tempat memproses para pengungsi dibantu oleh Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Dibutuhkan waktu cukup panjang untuk menangani pengungsi Vietnam tersebut.

Namun, penanganan pengungsi Vietnam ketika itu cukup menunjukkan bahwa jauh sebelumnya, doktrin tentang tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect atau R2P) sudah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia. Atas dasar kemanusiaan, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menangani masalah krisis pengungsi Rohingya. Pertama, usulan melaksanakan KTT darurat ASEAN di Thailand pada akhir Mei perlu dipertimbangkan dan dilaksanakan untuk mengendalikan arus gelombang pengungsi Rohingya. Tidak hanya dari Myanmar, tetapi juga dari Banglades.

Dalam KTT darurat ini, perlu dibahas penanganan bersama, termasuk mendorong kerja sama Myanmar untuk ikut bertanggung jawab atas masalah pengungsi Rohingya yang nyata ke luar dari wilayah mereka. Agenda penting lainnya, bagaimana ASEAN mulai memikirkan menggelar kerja sama penjaga pantai (coast guard) menangani persoalan manusia perahu sesuai dengan nilai dan norma hukum internasional. Ini adalah persoalan keamanan non-tradisional yang memerlukan wadah kerja sama komprehensif, yang tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pihak militer masing-masing.

Selanjutnya, meyakinkan Myanmar yang memiliki diplomat ulung seperti mantan Sekretaris Jenderal PBB U Thant dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi bahwa persoalan disebabkan pertikaian sekuler di dalam negeri akan menjadi ancaman bagi stabilitas dan perdamaian kawasan Asia Tenggara. Suu Kyi harus mengambil inisiatif menyelesaikan persoalan ini di tingkat regional.

Tanpa melibatkan Myanmar, persoalan pengungsi menjadi liar dan akan menjadi kendali para perantara yang mencari keuntungan di tengah penderitaan akibat pertikaian sekuler tersebut. Kawasan Asia Tenggara memang menjadi rawan dengan berbagai pengungsi sejak zaman dulu kala, baik dari wilayah utara maupun dari wilayah barat.

Masalah pengungsi memberikan otoritas moral bagi ASEAN memulai pelaksanaan R2P, mencari penyelesaian bersama persoalan kawasan. Penyelesaian pengungsi tidak berarti intervensi atas permasalahan anggota ASEAN, tetapi membiarkan persoalan berlarut menjadi lebih tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar