Menimbang
Diplomasi Bilateral Jokowi
Ludiro Madu ; Dosen Program Studi Ilmu
Hubungan International
FISIP UPN ’’Veteran’’ Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 20 Februari 2015
SEJAK Jokowi dilantik sebagai presiden pada Oktober 2014,
hubungan luar negeri Indonesia dengan negara lain lebih banyak diwarnai
suasana panas dingin.
Ada dua kebijakan nasional yang secara potensial bisa
mengganggu hubungan bilateral Indonesia, yaitu terkait dengan hukuman mati
dan kebijakan maritim mengenai penangkapan/penenggelaman kapal asing pelaku
pencurian ikan.
Kontroversi internasional atas pelaksanaan hukuman mati
merupakan salah satu ujian diplomasi bilateral Jokowi. Pemerintah dari warga
negara yang akan dieksekusi melancarkan protes diplomatik.
Belanda dan Brasil menarik pulang duta besar mereka
sebagai akibat kegagalan melobi Presiden Jokowi guna membatalkan eksekusi
mati. Dalam seminggu terakhir ini, PM Australia Tony Abbott juga berisiko
mengambil kebijakan serupa andai lobi diplomasinya gagal. Bahkan Sekjen PBB Ban
Kimmoon juga mendesak Indonesia membatalkan eksekusi mati itu terhadap dua
warga negara Australia.
Sebelumnya, muncul persoalan dalam hubungan bilateral
berkait kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti menangkap
dan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Protes terhadap kebijakan
unilateral Indonesia itu dilancarkan pemerintah Thailand, Filipina, Vietnam,
dan Malaysia.
Hingga saat ini, protes berbagai negara tersebut belum
melunakkan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK demi menjaga dan melindungi
kedaulatan nasional kita. Risiko gangguan hubungan bilateral antara Indonesia
dan negara-negara lain menjadi isu mendesak yang harus disikapi pemerintahan
Jokowi.
Pengiriman red notes dan pemanggilan pulang dubes memang
tidak mencerminkan memburuknya hubungan bilateral secara keseluruhan. Karena
itu, usaha Menlu Retno Marsudi menjelaskan posisi dan alasan pemerintah
Indonesia memberlakukan hukuman mati kepada pemerintah negara-negara lain,
perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan luar negeri yang lebih terukur dan
responsif.
Berbeda dari pemerintahan SBY, pemerintahan Jokowi
cenderung menerapkan kebijakan secara keras dan tegas. Indonesia lebih
mengutamakan upaya menegakkan kedaulatan nasional dengan risiko mengindahkan
norma global tentang HAM. Kedaulatan maritim Indonesia juga mengalahkan
solidaritas regional ASEAN dengan tetap melanjutkan kebijakan itu.
Demi kedaulatan nasional pula, Indonesia mengambil risiko
menurunnya tingkat diplomasi bilateral. Potensi kedinamisan hubungan
bilateral antara Indonesia dan negara-negara lain tampaknya perlu
diantisipasi oleh semua pemangku kepentingan politik luar negeri Indonesia.
Mereka perlu membiasakan diri dengan kemungkinan naik
turunnya hubungan bilateral mengingat tak bisa dihindarinya kaitan antara
kebijakan domestik dan hubungan internasional. Prinsip pemerintahan Jokowi-JK
sudah jelas dan tegas, yaitu kebijakan domestik (termasuk hukuman mati) tetap
merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang tidak bisa diintervensi negara
lain, termasuk PBB.
Keberhasilan Diplomasi
Memang, tak semua hubungan bilateral dalam 100 hari
pemerintahan Jokowi-JK memburuk. Presiden Jokowi menunjukkan efektivitas
diplomasi bilateralnya ketika menghadiri pertemuan tingkat tinggi APEC di
Beijing, forum ASEAN di Nayphidaw, dan forum ASEAN-Korea Selatan di Busan.
Penandatangan kontrak pembelian langsung minyak antara Indonesia dan Angola
juga bisa dirujuk sebagai keberhasilan diplomasi bilateral.
Selain itu, bilateralisme bukan satu-satunya mekanisme
hubungan luar negeri. Politik luar negeri Indonesia juga perlu dijalankan
melalui hubungan multilateral dalam berbagai forum yang melibatkan
aktor-aktor negara dan nonnegara. Kompleksitas persoalan, sifat lintas batas
negara, dan keperluan respons bersama aktor negara dan nonnegara memerlukan
diplomasi multilateral.
Kehadiran Jokowi pada KTT APEC dan ASEAN akhir 2014
memberikan sinyal positif mengenai kelanjutan keaktifan Indonesia melalui
jalur diplomasi multilateal, setelah berakhirnya pemerintahan SBY-Hatta.
Forum multilateral memang lebih banyak merundingkan berbagai aturan main
multilateral di antara negara-negara anggota forum itu. Perkembangan
diplomasi Indonesia selama 10 tahun pemerintahan SBY telah menunjukkan
prestasi global.
Indonesia dianggap sebagai middle power dalam diplomasi multilateral. Walaupun orientasi
global-regional pemerintahan SBY menimbulkan persoalan berkait kedaulatan
nasional, realitas itu tidak perlu dengan serta merta menghilangkan aspek
positif dari diplomasi multilateral b‡gi kepentingan nasional kita.
Walaupun diplomasi bilateral menjadi prioritas politik
luar negeri pemerintahan Jokowi, Indonesia tetap perlu melanjutkan
komitmennya dalam berbagai forum multilateral. Argumen Indonesia mengenai
kedaulatan nasional tetap dapat digunakan. Dalam konteks ini, pemerintahan
Jokowi perlu bisa menggunakan diplomasi bilateral dan multilateral sebagai
strategi yang saling melengkapi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar