Ihwal
Jargon di Ranah Publik
Juliz AR Komarawan ; Duta
Bahasa Jawa Barat 2014
|
KORAN
SINDO, 18 Februari 2015
“Sekarang ‘seperti itu’ ya. Kalian kekasih hati tahu, ...
.” “… 11 kabupaten dan kota berstatus kejadian luar biasa atau KLB demam berdarah.”
“ … berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan juga di
bidang budaya,… ”
Saat ini kita sering mendengar kata-kata atau istilah
kurang familiar yang dilontarkan oleh berbagai kalangan di negeri ini. Sebut
saja Syahrini yang baru-baru ini mempopulerkan istilah “seperti itu”. Para
wartawan pun tak ketinggalan menggunakan frase “kejadian luar biasa” ketika
melaporkan berita tentang suatu penyakit.
Bahkan, Presiden Jokowi pun ikut serta dengan menggunakan
istilah ‘berdikari’ saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 20 November 2014
lalu. Istilah “seperti itu”, “kejadian luar biasa”, dan “berdikari” inilah
yang kemudian disebut jargon. Secara etimologi, kata jargon berasal dari
bahasa Inggris Abad Pertengahan Jargo(u)n, gargoun, girgoun yang berarti
kicauan, nyanyian burung-burung. Menurut KBBI, jargon merupakan kosakata
khusus yang digunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.
Adapun pakar bahasa mendefinisikan jargon sebagai bahasa
yang digunakan oleh kalangan tertentu, tetapi kurang dipahami oleh masyarakat
luas. Jargon bukanlah bahasa yang bersifat rahasia karena bisa di pahami dengan
cara mempelajarinya. Jargon dapat berupa frase, kalimat, singkatan, atau
akronim seperti berdikari, DPO, dan KLB. Di lingkungan tertentu, jargon
berupa huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi keduanya.
Dalam kehidupan seharihari, jargon merupakan sebuah
identitas kelompok tertentu. Jargon berhubungan erat dengan suatu komunitas
atau profesi tertentu. Jargon seperti gan, cendol, bata merah, pertamax,
pejwan, no afgan, COD (cash on delivery),
dan WTB (want to buy) identik
dengan para kaskuser. Sementara itu, “kejadian luar biasa” merupakan jargon
yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan.
Masyarakat awam pada umumnya hanya mengenal istilah itu
dengan kata wabah. Pada prinsipnya, jargon-jargon tersebut digunakan untuk
mempermudah komunikasi antaranggotanya. Jargon juga digunakan untuk
mengefektifkan proses komunikasi dan meningkatkan citra diri. Dengan menggunakan
jargon berupa singkatan dan angka tertentu, anggota komunitas dapat dengan
singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan banyak kata.
Umpamanya, anggota kepolisian sering menggunakan jargon
seperti DPO (daftar pencarian orang), DVI (disaster victim identification),
RI 1 (presiden), 5-4 (sedang ada demonstrasi) atau buntut tikus (handy talky)
antaranggotanya. Sementara itu, jargon berdikari (berdiri di kaki sendiri)
berfungsi untuk meningkatkan citra pemerintahan.
Jargon tersebut
kurang lebih bermakna pemerintah berusaha menjadikan bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang mandiri dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Melalui jargon
ini, pemerintah berusaha meraih dukungan dari masyarakat luas. Nampaknya
penggunaan jargon di ranah publik merupakan cara efektif untuk meraih simpati
dari khalayak.
Di sisi lain, penggunaan jargon di ruang publik pun menimbulkan
polemik. Farid Gaban yang merupakan seorang wartawan pada 2008 mengkritik
penggunaan jargon oleh para pemegang kepentingan. Menurutnya, penggunaan jargon
telah mengotak-ngotakkan masyarakat menjadi kelompok-kelompok kecil dan
mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Makin hari, makin banyak pejabat
publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan memproduksi jargon.
Baru-baru ini, Hikmahanto Juwana, salah satu tim independen KPK-POLRI, dalam
salah satu pernyataannya menyebut istilah ‘anomali’.
Jargon ini meru pa kan istilah ilmu pengetahuan alam untuk
menjelaskan sebuah penyimpangan atau ketidaknormalan. Namun, dalam hal ini
istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sedang terjadi antara
KPK dan Polri. Anomali hanya dipahami oleh segelintir orang. Tentunya,
orang-orang awam di pangkalan ojek dan pasar kurang familiar dengan jargon
itu.
Mungkin bagi mereka istilah itu terdengar rumit dan
abstrak. Dalam kasus ini, penggunaan jargon tersebut dirasa kurang tepat
digunakan di ruang publik. Jargon berupa singkatan atau akronim juga bisa membuat
orang pusing. Pasalnya, jargon tersebut hanya dimengerti kalangan tertentu
saja dan masyarakat luas umumnya kurang paham. Jargon seperti kontras (Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), markus (makelar kasus),
cakus (calo kasus), cakil (calo keliling), curas (pencurian dengan
kekerasan), KLB (kejadian luar biasa) merupakan contoh kecil akronim dan
singkatan yang sering muncul di ranah publik.
Kebanyakan jargon tersebut dihasilkan pejabat publik dan
disebarluaskan melalui media. Menyikapi penggunaan jargon di ranah publik,
ada baiknya kita melihat kembali tujuan kita berkomunikasi. Kita menggunakan
bahasa untuk menyampaikan pesan. Namun, apa jadinya jika pesan yang
disampaikan sulit dipahami bahkan terdengar abstrak dan rumit karena jargon.
Tentunya kita bisa dikatakan gagal dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kita
sebaiknya menghindari penggunaan jargon di ranah publik yang merupakan
komunitas heterogen.
Salah satu caranya dengan membayangkan lawan bicara kita
ketika hendak berbicara atau menulis. Selain itu, sebisa mungkin kita
menggunakan kata-kata sederhana, konkret, spesifik, dan mudah dipahami
khalayak ramai termasuk tukang ojek dan penjual di pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar