Apa
Namamu?
Yanwardi ; Editor Yayasan Obor
|
KOMPAS,
21 Februari 2015
Belum lama ini seorang guru besar linguistik Universitas
Indonesia menyatakan kerisauannya terkait dengan penggantian kalimat ”Siapa
nama kamu?” menjadi ”Apa nama kamu?” oleh sebagian ahli bahasa di lingkungan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Ahli bahasa itu menambahkan bahwa yang
menghendaki penggantian siapa dengan apa itu adalah orang Indonesia yang
berbahasa ibu bahasa Indonesia pula. Apa sebenarnya yang mendasari kemunculan
ujaran masing-masing itu? Dari segi relativitas bahasa Sapir-Whorf yang
menyatakan, antara lain, bahasa dan budaya saling memengaruhi, kedua ujaran
tersebut menarik dibahas.
Sejak puluhan tahun yang lalu terjadi perbedaan pandangan
di antara aliran-aliran linguistik dunia terutama ihwal relativitas bahasa
dan universalitas bahasa. Yang pertama memandang bahasa berkaitan dengan pola
pikir dan budaya. Kelompok ini berkembang dalam pragmatik, sosiolinguistik,
dan etnolingustik. Yang kedua mendekati bahasa lepas dari masyarakat dan
budayanya. Sesuai dengan kasusnya, tulisan ini hanya membincang- kan bahasa
dalam konteks pertama.
Bahwa budaya bisa memengaruhi bahasa, tampak dalam sistem
kata ganti orang (pronomina persona)
bahasa Indonesia dan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa dan Sunda. Bahasa
Indonesia bisa menggunakan nomina kekerabatan dan nama diri untuk
menggantikan orang kedua, bahkan orang pertama, sementara bahasa Inggris
tidak. Umpamanya, nomina kekerabatan seperti adik, kakak, dan bapak dipakai
untuk orang kedua: ”Alamat Adik di mana?” atau ”Bapak berasal dari mana?”
Bahkan, nama diri sering digunakan sebagai kata ganti orang pertama. Biasanya
ini dilakukan ketika seseorang berkomunikasi dengan orang yang lebih tua
(dihormati). Ketika seorang anak bernama Budi berbicara kepada ibunya, dia
memanfaatkan namanya menjadi orang pertama: ”Budi sudah makan, Bu.” Gejala
itu jelas dipengaruhi budaya kita yang lebih mementingkan kolektivitas, penghormatan,
kedekatan persona, alih-alih individualitas dan aspek egaliter sebagaimana
dalam masyarakat berbahasa Inggris.
Dasar inilah yang juga memunculkan ”Siapa namamu?” pada masyarakat penutur bahasa Indonesia. Kita
lebih mengutamakan persona, yaitu pemilik nama, untuk menjaga kedekatan
hubungan atau keakraban di antara peserta komunikasi. Dalam konteks ini, juga
ada unsur penghormatan kepada orangtua yang telah memberikan ”nama”. Alhasil,
nama menjadi bagian yang menyatu dengan pemiliknya. Penutur berbahasa
Inggris, yang dipengaruhi budaya individualistis dan cenderung lebih
mengutamakan logika, memunculkan ”What
is your name?”
Gejala tersebut berkorelasi dengan hasil yang didapat
ketika dilakukan survei terbatas atas beberapa orang Indonesia asli terkait
dengan pemakaian ujaran ”Siapa namamu?” dan ”Apa namamu?” Diperoleh data yang
sejalan dengan teori Sapir-Whorf, yaitu responden yang menggunakan ”Apa
namamu?” adalah orang yang berpikir dengan bahasa Inggris. Fakta ini agaknya
bisa mengungkap mengapa ada sebagian dosen FIB UI yang memakai ”Apa namamu?”
Sebaliknya, orang yang berpikir dengan bahasa Indonesia memunculkan ”Siapa
namamu?”
Pada akhirnya bahasa itu khas dan unik, saling memengaruhi
dengan budaya masyarakat penuturnya, pola pikirnya, lingkungannya. Sebab itu,
jika menelaah suatu ungkapan atau ujaran yang khas dalam bahasa tertentu,
seperti ”Siapa nama kamu?”, harus digunakan budaya masyarakat penuturnya.
Tidak bisa diterapkan asas universalitas bahasa, apalagi dengan pola pikir
bahasa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar