Sabtu, 15 Mei 2021

 

Agama, Ilmu, dan Praktik Beragama di Tengah Pandemia

M Nurdin Zuhdi ;  Dosen Universitas Aisyiyah Yogyakarta

KOMPAS, 13 Mei 2021

 

 

                                                           

Pada 27 April 2021 beredar video yang viral tentang pengusiran jemaah yang hendak shalat menggunakan masker di salah satu masjid di Kota Bekasi. Tampak dalam video pengurus masjid dan beberapa jemaah lainnya bahkan melakukan kekerasan verbal terhadap jemaah tersebut.

 

Pengurus masjid berdalih bahwa harus dibedakan antara masjid dan pasar. Sehingga menurut pengurus masjid setempat, memasuki masjid tidak perlu menggunakan masker. Ia mengutip salah satu ayat di dalam Al Quran untuk memperkuat pendapatnya. Padahal konteks ayat tersebut sangat berbeda. Lebih memprihatinkan lagi penyebutan surat dan ayatnya saja salah.

 

Beberapa minggu terakhir ini media-media nasional juga memberitakan tentang adanya kasus Covid-19 kluster shalat Tarawih yang mulai bermunculan. Kamis, 29 April 2021, telah ditemukan kluster shalat Tarawih di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, 55 jemaah shalat Tarawih dinyatakan positif Covid-19. Kluster Tarawih ini berasal dari dua masjid. Kasus ini bermula dari salah satu jemaah yang sakit, tetapi tetap nekat berangkat ke masjid untuk shalat Tarawih.

 

Kasus Covid-19 kluster shalat Tarawih juga muncul di Kabupaten Sragen yang menyebabkan satu RT di Desa/Kecamatan Sambirejo di-lock down sejak 4 Mei 2021. Hal tersebut bermula setelah ditemukan seorang imam masjid dan dua anaknya terkonfirmasi positif Covid-19. Bahkan salah satu anaknya merupakan guru mengaji di taman pendidikan Al Quran (TPA) setempat. Data sementara ditemukan total 58 orang kontak erat dan harus dilakukan rapid test (data Kamis, 6 Mei 2021).

 

Terbaru, kasus Covid-19 kluster shalat Tarawih juga muncul kembali di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan total 26 kasus positif (data Rabu, 5 Mei 2021). Kluster shalat Tarawih di Bantul ini bahkan telah menelan satu korban jiwa. Kasus kluster shalat Tarawih di Bantul bermula dari salah satu jemaah yang mengalami gejala Covid-19, namun yang bersangkutan tetap ke masjid.

 

Kasus-kasus di atas merefleksikan satu hal penting, yaitu tentang cermin keberagamaan sebagian masyarakat Indonesia di tengah menggilanya wabah. Tentu ini menjadi pelajaran penting dan berharga bagi semua komunitas keagamaan tanpa terkecuali.

 

Tentu, semua umat beragama hari ini sangat merindukan beribadah di ruang publik. Apalagi di bulan suci Ramadhan, dapat dipahami betapa rindunya umat Islam untuk shalat berjemaah di masjid. Apalagi tahun ini adalah Ramadhan kedua di masa pandemi.

 

Meskipun demikian, sikap menahan diri, termasuk menahan rindu sementara untuk shalat berjemaah di masjid atau mushala di saat wabah masih merajalela sangat penting untuk kembali ditekankan.

 

Saat ini, khususnya di daerah-daerah yang sangat rawan tingkat penularan Covid-19, ibadah di ruang domestik (rumah) tentu lebih disarankan. Mengingat bahwa beragama seharusnya dapat menjaga jiwa, bukan sebaliknya beragama dapat membahayakan atau mengancam jiwa.

 

Kaidah fikih jelas telah menekankan pentingnya menjaga jiwa (hifdun nasf). Jangan sampai kita mengejar keshalihan individual, tetapi di sisi lain kita justru melalaikan keshalihan sosial. Salah satu indikator keshalihan sosial adalah menjaga keselamatan nyawa orang lain. Al Quran telah menegaskan pentingnya menjaga jiwa (Al-Maidah [5]: 32).

 

Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang berdalih ”jangan takut pada Covid-19, takutlah pada Allah”. Inilah yang harus kita diskusikan serius. Persuasi keagamaan semacam ini berpotensi melahirkan cara berpikir fatalis atau dalam sejarah kalam dikenal dengan nama Jabariyah.

 

Secara sederhana, paham Jabariyah mendasarkan keyakinan bahwa mati dan hidup sudah diatur oleh Allah. Sehingga seolah-olah Covid-19 tidak perlu ditakuti dan dijauhi. Paham Jabariyah ini jika keliru digunakan, mendorong sikap tanpa ikhtiar mencegah dan menghindari penyakit berbahaya, termasuk Covid-19.

 

Padahal ada juga pandangan keagamaan dan medis yang mengharuskan seseorang mewaspadai bahaya wabah. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan otoritas wewenang seperti pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan penyebaran virus ini.

 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta beberapa ormas lain melarang pelaksanaan shalat berjemaah di masjid untuk daerah-daerah tertentu yang dipandang sangat berbahaya, termasuk shalat Jumat dan Tarawih. Namun, imbauan ini masih saja dianggap membatasi ekspresi ketaatan beragama.

 

Bahkan belum lama ini, beredar berita bahwa salah satu takmir masjid menggertak akan membongkar masjidnya sebagai respons kekecewaan atas kebijakan ”ibadah di rumah saja”.

 

Beredar pula video singkat nyanyian bangun sahur yang menyindir sepinya masjid dari jemaah shalat: eman-eman temen, teraweh kok dilarang // eman-eman temen, tadarus kok dilarang //. Corona diwedini, Gusti Allah diadohi // Romadhon tahun iki, nelongso rasane ati.

 

Tampaknya cara merespons kebijakan beribadah selama pandemi Covid-19 ini kurang tepat. Sebab, praktik beragama haruslah dilandasi dengan ilmu pengetahuan.

 

Beragama dengan ilmu

 

Jelas banyak kelompok masih salah paham dengan imbauan ”ibadah di rumah”. Rekomendasi ini bukan melarang praktik ibadah, melainkan memindahkan pelaksanaan ibadah untuk sementara waktu. Khususnya bagi yang merasa kurang sehat, jangan memaksakan diri untuk shalat di masjid. Setelah sehat, atau setelah wabah melandai dan dapat ditangani, barulah kegiatan beribadah di masjid dapat dikondisikan kembali.

 

Tentu imbauan ”ibadah di rumah” tidaklah rumit. Sebab, tujuan utama imbauan ini adalah untuk sesegera mungkin meredam penyebaran wabah. Bukankah ”ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Imam Ghazali mengatakan, ”ilmu tanpa amal gila, amal tanpa ilmu sia-sia”.

 

Merebaknya wabah Covid-19 harusnya menyadarkan komunitas beragama bahwa ajaran agama haruslah dipahami secara rasional dan bertanggung jawab.

 

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, ada sebuah syair yang tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam penganut paham Jabariyah ini. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ”Seorang yang ’alim tetapi masih suka berbuat maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya (beribadah) adalah sebuah kerusakan. Namun orang yang bodoh tapi rajin beribadah justru lebih merusak dan berbahaya. Keduanya (orang alim tapi maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya dan orang bodoh yang rajin beribadah) menjadi fitnah yang besar di dunia bagi umat yang menjadi pengikut keduanya”.

 

Syair di atas menjelaskan bahwa orang yang tanpa ilmu, tetapi rajin beribadah dapat merusak dan berbahaya. Bahkan bisa menjadi ancaman dan fitnah besar di dunia. Bagaimana tidak merusak dan berbahaya jika gara-gara satu jemaah saja yang positif Covid-19, bisa menulari banyak orang. Bagaimana tidak menjadi fitnah dunia jika gara-gara satu orang yang ngeyel bisa mengancam ribuan nyawa. Perlu digarisbawahi bahwa bukan shalatnya yang dilarang, melainkan perkumpulan orang banyak yang dihindari agar wabah ini tidak menyebar.

 

Selama pandemi, Pemerintah Arab Saudi membatasi, bahkan sempat menutup Mekkah dan Madinah. Ulama-ulama pada umumnya sepakat mengimbau ”ibadah di rumah saja”. Fatwa yang dikeluarkan tentu bukan tanpa sebab dan alasan. Fatwa tersebut dirumuskan berdasarkan dalil agama yang diitegrasikan dengan ilmu pengetahuun. Proses pembuatan fatwa tidak dilakukan secara sembarangan.

 

Prinsip dasar fatwa ”ibadah di rumah saja” adalah untuk melindungi nyawa. Bukankah dalam kaidah fikih telah dikemukakan bahwa dar’u al-mafaasid aula minjalbi al-mashalih: ”menghilangkan kemudaratan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan”.

 

Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR Ibnu Majah No 2331)

 

Mengukur keimanan dengan Covid-19?

 

Beriman pada Allah SWT sama sekali tidak bertentangan dengan sikap waspada dan berhati-hati pada wabah berbahaya. Nabi Muhammad SAW pernah bersembunyi di dalam Goa Tsur selama tiga hari tiga malam untuk menghindari kejaran suku Quraisy. Nabi Musa AS pernah lari dari kejaran Fira’un dan pasukannya. Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang dijuluki sebagai Asadullah (The Lion of the Dessert) yang berarti ”Singa Gurun Pasir” saja pernah mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Syam yang sedang dilanda wabah.

 

Ada problem besar jika menghubungkan secara tidak tepat antara keimanan pada Allah SWT dan ikhtiar menghindari marabahaya. Keimanan seseorang tidak dapat diukur dengan logika seperti demikian. Dalih ”jangan takut pada Covid-19, tapi takutlah pada Allah” seolah-olah menghubungkan dua jenis ketakutan yang berbeda dan tidak saling berkaitan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar