Agama,
Ilmu, dan Praktik Beragama di Tengah Pandemia M Nurdin Zuhdi ; Dosen Universitas
Aisyiyah Yogyakarta |
KOMPAS, 13 Mei 2021
Pada 27 April 2021 beredar
video yang viral tentang pengusiran jemaah yang hendak shalat menggunakan
masker di salah satu masjid di Kota Bekasi. Tampak dalam video pengurus
masjid dan beberapa jemaah lainnya bahkan melakukan kekerasan verbal terhadap
jemaah tersebut. Pengurus masjid berdalih
bahwa harus dibedakan antara masjid dan pasar. Sehingga menurut pengurus
masjid setempat, memasuki masjid tidak perlu menggunakan masker. Ia mengutip
salah satu ayat di dalam Al Quran untuk memperkuat pendapatnya. Padahal
konteks ayat tersebut sangat berbeda. Lebih memprihatinkan lagi penyebutan
surat dan ayatnya saja salah. Beberapa minggu terakhir
ini media-media nasional juga memberitakan tentang adanya kasus Covid-19
kluster shalat Tarawih yang mulai bermunculan. Kamis, 29 April 2021, telah
ditemukan kluster shalat Tarawih di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, 55
jemaah shalat Tarawih dinyatakan positif Covid-19. Kluster Tarawih ini
berasal dari dua masjid. Kasus ini bermula dari salah satu jemaah yang sakit,
tetapi tetap nekat berangkat ke masjid untuk shalat Tarawih. Kasus Covid-19 kluster
shalat Tarawih juga muncul di Kabupaten Sragen yang menyebabkan satu RT di
Desa/Kecamatan Sambirejo di-lock down sejak 4 Mei 2021. Hal tersebut bermula
setelah ditemukan seorang imam masjid dan dua anaknya terkonfirmasi positif
Covid-19. Bahkan salah satu anaknya merupakan guru mengaji di taman
pendidikan Al Quran (TPA) setempat. Data sementara ditemukan total 58 orang
kontak erat dan harus dilakukan rapid test (data Kamis, 6 Mei 2021). Terbaru, kasus Covid-19
kluster shalat Tarawih juga muncul kembali di Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dengan total 26 kasus positif (data Rabu, 5 Mei 2021).
Kluster shalat Tarawih di Bantul ini bahkan telah menelan satu korban jiwa.
Kasus kluster shalat Tarawih di Bantul bermula dari salah satu jemaah yang
mengalami gejala Covid-19, namun yang bersangkutan tetap ke masjid. Kasus-kasus di atas
merefleksikan satu hal penting, yaitu tentang cermin keberagamaan sebagian
masyarakat Indonesia di tengah menggilanya wabah. Tentu ini menjadi pelajaran
penting dan berharga bagi semua komunitas keagamaan tanpa terkecuali. Tentu, semua umat beragama
hari ini sangat merindukan beribadah di ruang publik. Apalagi di bulan suci
Ramadhan, dapat dipahami betapa rindunya umat Islam untuk shalat berjemaah di
masjid. Apalagi tahun ini adalah Ramadhan kedua di masa pandemi. Meskipun demikian, sikap
menahan diri, termasuk menahan rindu sementara untuk shalat berjemaah di
masjid atau mushala di saat wabah masih merajalela sangat penting untuk
kembali ditekankan. Saat ini, khususnya di
daerah-daerah yang sangat rawan tingkat penularan Covid-19, ibadah di ruang
domestik (rumah) tentu lebih disarankan. Mengingat bahwa beragama seharusnya
dapat menjaga jiwa, bukan sebaliknya beragama dapat membahayakan atau
mengancam jiwa. Kaidah fikih jelas telah
menekankan pentingnya menjaga jiwa (hifdun nasf). Jangan sampai kita mengejar
keshalihan individual, tetapi di sisi lain kita justru melalaikan keshalihan
sosial. Salah satu indikator keshalihan sosial adalah menjaga keselamatan
nyawa orang lain. Al Quran telah menegaskan pentingnya menjaga jiwa
(Al-Maidah [5]: 32). Namun sayangnya, masih
banyak masyarakat yang berdalih ”jangan takut pada Covid-19, takutlah pada
Allah”. Inilah yang harus kita diskusikan serius. Persuasi keagamaan semacam
ini berpotensi melahirkan cara berpikir fatalis atau dalam sejarah kalam
dikenal dengan nama Jabariyah. Secara sederhana, paham
Jabariyah mendasarkan keyakinan bahwa mati dan hidup sudah diatur oleh Allah.
Sehingga seolah-olah Covid-19 tidak perlu ditakuti dan dijauhi. Paham
Jabariyah ini jika keliru digunakan, mendorong sikap tanpa ikhtiar mencegah
dan menghindari penyakit berbahaya, termasuk Covid-19. Padahal ada juga pandangan
keagamaan dan medis yang mengharuskan seseorang mewaspadai bahaya wabah.
Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan otoritas wewenang seperti
pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan penyebaran virus
ini. Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta beberapa ormas lain
melarang pelaksanaan shalat berjemaah di masjid untuk daerah-daerah tertentu
yang dipandang sangat berbahaya, termasuk shalat Jumat dan Tarawih. Namun,
imbauan ini masih saja dianggap membatasi ekspresi ketaatan beragama. Bahkan belum lama ini,
beredar berita bahwa salah satu takmir masjid menggertak akan membongkar
masjidnya sebagai respons kekecewaan atas kebijakan ”ibadah di rumah saja”. Beredar pula video singkat
nyanyian bangun sahur yang menyindir sepinya masjid dari jemaah shalat:
eman-eman temen, teraweh kok dilarang // eman-eman temen, tadarus kok
dilarang //. Corona diwedini, Gusti Allah diadohi // Romadhon tahun iki,
nelongso rasane ati. Tampaknya cara merespons
kebijakan beribadah selama pandemi Covid-19 ini kurang tepat. Sebab, praktik
beragama haruslah dilandasi dengan ilmu pengetahuan. Beragama
dengan ilmu Jelas banyak kelompok
masih salah paham dengan imbauan ”ibadah di rumah”. Rekomendasi ini bukan
melarang praktik ibadah, melainkan memindahkan pelaksanaan ibadah untuk sementara
waktu. Khususnya bagi yang merasa kurang sehat, jangan memaksakan diri untuk
shalat di masjid. Setelah sehat, atau setelah wabah melandai dan dapat
ditangani, barulah kegiatan beribadah di masjid dapat dikondisikan kembali. Tentu imbauan ”ibadah di
rumah” tidaklah rumit. Sebab, tujuan utama imbauan ini adalah untuk sesegera
mungkin meredam penyebaran wabah. Bukankah ”ilmu tanpa agama buta, agama
tanpa ilmu lumpuh”. Imam Ghazali mengatakan, ”ilmu tanpa amal gila, amal
tanpa ilmu sia-sia”. Merebaknya wabah Covid-19
harusnya menyadarkan komunitas beragama bahwa ajaran agama haruslah dipahami
secara rasional dan bertanggung jawab. Dalam kitab Ta’lim
al-Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, ada sebuah syair yang tepat untuk
menggambarkan kondisi umat Islam penganut paham Jabariyah ini. Dalam kitab
tersebut disebutkan bahwa ”Seorang yang ’alim tetapi masih suka berbuat
maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya (beribadah) adalah sebuah kerusakan.
Namun orang yang bodoh tapi rajin beribadah justru lebih merusak dan
berbahaya. Keduanya (orang alim tapi maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya
dan orang bodoh yang rajin beribadah) menjadi fitnah yang besar di dunia bagi
umat yang menjadi pengikut keduanya”. Syair di atas menjelaskan
bahwa orang yang tanpa ilmu, tetapi rajin beribadah dapat merusak dan
berbahaya. Bahkan bisa menjadi ancaman dan fitnah besar di dunia. Bagaimana
tidak merusak dan berbahaya jika gara-gara satu jemaah saja yang positif
Covid-19, bisa menulari banyak orang. Bagaimana tidak menjadi fitnah dunia
jika gara-gara satu orang yang ngeyel bisa mengancam ribuan nyawa. Perlu
digarisbawahi bahwa bukan shalatnya yang dilarang, melainkan perkumpulan
orang banyak yang dihindari agar wabah ini tidak menyebar. Selama pandemi, Pemerintah
Arab Saudi membatasi, bahkan sempat menutup Mekkah dan Madinah. Ulama-ulama
pada umumnya sepakat mengimbau ”ibadah di rumah saja”. Fatwa yang dikeluarkan
tentu bukan tanpa sebab dan alasan. Fatwa tersebut dirumuskan berdasarkan
dalil agama yang diitegrasikan dengan ilmu pengetahuun. Proses pembuatan
fatwa tidak dilakukan secara sembarangan. Prinsip dasar fatwa
”ibadah di rumah saja” adalah untuk melindungi nyawa. Bukankah dalam kaidah
fikih telah dikemukakan bahwa dar’u al-mafaasid aula minjalbi al-mashalih:
”menghilangkan kemudaratan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah
kemaslahatan”. Nabi Muhammad SAW
bersabda: ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan
bahwa tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR Ibnu
Majah No 2331) Mengukur
keimanan dengan Covid-19? Beriman pada Allah SWT
sama sekali tidak bertentangan dengan sikap waspada dan berhati-hati pada
wabah berbahaya. Nabi Muhammad SAW pernah bersembunyi di dalam Goa Tsur
selama tiga hari tiga malam untuk menghindari kejaran suku Quraisy. Nabi Musa
AS pernah lari dari kejaran Fira’un dan pasukannya. Umar bin Khattab, sahabat
Nabi yang dijuluki sebagai Asadullah (The Lion of the Dessert) yang berarti
”Singa Gurun Pasir” saja pernah mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Syam
yang sedang dilanda wabah. Ada problem besar jika menghubungkan secara
tidak tepat antara keimanan pada Allah SWT dan ikhtiar menghindari
marabahaya. Keimanan seseorang tidak dapat diukur dengan logika seperti
demikian. Dalih ”jangan takut pada Covid-19, tapi takutlah pada Allah”
seolah-olah menghubungkan dua jenis ketakutan yang berbeda dan tidak saling
berkaitan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar