Mengulik
Sensasi Mudik J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS, 20 Mei 2021
Hari raya Idul Fitri
adalah hari kemenangan, mungkin lebih tepat disebut hari kemenangan sejati.
Berkat ibadat ritual akbar shiyam Ramadhan selama sebulan, para mukmin (orang
beriman) berhasil menaklukkan musuh utama manusia yang secara kodrati
bersemayam dalam diri manusia: marah,
aluamah (nafsu sekitar perut, makan minum, seks), supiyah (sombong, tamak, dan
angkuh), dan lain sebagainya. Mereka kembali ke
fitrahnya menjadi suci kembali setelah mendapat karunia melimpah dari Allah
selama sebulan bermati raga. Api karunia puasa telah membakar dosa-dosa
manusia menjadi remah-remah yang dibuang di tempat sampah. Medan pertempuran adalah
keseluruhan dari badan (wadag), jiwa serta roh manusia. Tidak mudah mencapai
kemenangan karena yang dilawan adalah nafsu yang menyajikan kenikmatan
badaniah. Perlu laku mati raga dengan semangat jihad disertai olah batin,
olah rasa serta olah jiwa agar roh dalam dirinya dapat membendung
kecenderungan memeluk kenikmatan ragawi. Kemenangan itu juga
menunjukkan para mukmin telah berdaulat terhadap dirinya sendiri dan berkat
kuasa puasa, mereka mampu menyatukan roh dengan wadag yang mengakibatkan manusia tidak terbebani
tarikan nafsu badaniah karena raga dikendalikan sepenuhnya oleh roh kebaikan. Dalam bahasa budayawan
Emha Ainun Najib disebut sukmo nguntal rogo (roh menelan raga). Pengalaman iman atas
kejayaan berkat kerahiman Allah yang tanpa batas, perlu disimpan dalam
khazanah jiwa, karena akan sangat bermanfaat menjadi tuntunan, rujukan,
bahkan kekuatan dahsyat menghadapi berbagai macam cobaan hidup di dunia yang
sering kali amat berat. Perwujudan merayakan
kemenangan sejati dilakukan antara lain dengan mudik Lebaran; secara harfiah
maknanya sekadar pulang kampung. Namun, dalam perspektif spiritual, mudik
adalah metafora asal-usul manusia berada di dunia sampai kehidupannya
berakhir, kembali kepada Sang Pencipta. Dalam jagat pakeliran disebut sangkan
paraning dumadi. Mudik tidak boleh dianggap sekadar tengok kampung karena
bermuatan spiritualitas yang menjadikan mudik
bernuansa sakral. Maka dari itu, tidak
mengherankan para pemudik sering kali
nekat melanggar aturan, terkadang brutal bahkan menyabung nyawa, demi
mengikuti sensasi mistis serta daya gravitasi relasi magis mereka dengan asal
muasal leluhur dan tanah kelahirannya. Kegelisahan menusuk-nusuk jiwanya sehingga mudik
dirasakan sebagai keniscayaan. Meskipun gairah mudik juga dipicu rindu
romantika masa muda, serta ingin unjuk bangga kepada tetangga hidupnya sukses
di perantauan. Pemerintah tampaknya
sangat menyadari dimensi spiritual serta romantika sensasi mudik yang mendorong para pemudik sangat antusias
pulang kampung di tengah amukan pandemi Covid-19. Namun, pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin keselamatan dan rasa aman
masyarakat dari berbagai ancaman, khususnya pandemi Covid-19. Menghadapi dualitas
tarik-menarik antara keniscayaan pemudik pulang kampung dan keselamatan
seluruh rakyat Indonesia, pemerintah berusaha keras menyusun kebijakan
berdimensi rasional, tetapi mengakomodasi niat luhur laku spiritual para
pemudik kembali ke asal. Kebijakan jalan tengah
adalah keniscayaan karena mengutamakan yang satu akan angat membahayakan yang
lain. Dalam perpektif ekonomi, kebijakan ini juga diharapkan dapat menjadi
bagian proses pemulihan ekonomi nasional. Pilihan kebijakan ini oleh beberapa
kalangan dianggap mandul, tidak tegas, setengah-setengah, dan lain
sebagainya. Berdasarkan pengalaman
sekitar dua tahun menangani pandemi Covid-19, pemerintah perlu menyusun
kebijakan yang komprehensif untuk menjamin rasa aman masyarakat serta
mengamankan kepentingan nasional pada umumnya. Pertama, edukasi dan
literasi masyarakat. Agenda ini terutama untuk mengantisipasi wabah pandemi
yang belum diketahui kapan berakhir. Pengalaman dua tahun menangani pandemi,
searif apa pun kebijakan, bahkan dengan tujuan yang sangat mulia,
menyelamatkan rakyat; tanpa disertai
edukasi dan literasi yang mampu memikat dan merebut hati rakyat, hanya berhenti pada norma dan kalimat yang
muluk-muluk. Terlebih kalau kebijakan
tersebut bersentuhan dengan isu-isu sensitif, khususnya tradisi dan religi.
Pemerintah perlu lebih intensif mengajak para tokoh masyarakat berbagai
kalangan budayawan, seniman serta
masyarakat sipil, mulai dari pusat sampai daerah, melakukan literasi dan
edukasi secara kolosal sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Kedua, menyusun strategi
kemanan nasional yang komprehensif. Agenda ini sangat penting karena menjadi
strategi negara dan bangsa Indonesia mengamankan kepentingan nasional,
khususnya menjamin rasa aman masyarakat dari ancaman alam ataupun non-alam.
Sejauh ini negara belum memperlihatkan keseriusannya. Isu keamanan nasional
sudah puluhan tahun hanya berhenti sampai wacana dan menjadi keprihatinan
masyarakat sipil. Bahkan, Pasal 3 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang secara
imperatif menegaskan pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan; tetapi kebijakan pengadaan
alutsista (alat utama sistem persenjataan), belum fokus kepada penguatan
matra laut dan udara sebagai garda depan pertahanan sesuai dengan regulasi. Semoga pengalaman
menangani pandemi Covid-19 menggugah negara segera menyusun regulasi tentang
kemanan nasional yang sangat penting demi keselamatan bangsa dan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar