Parlemen
di Jalanan Budiman Tanuredjo ; Wartawan
Senior Kompas |
KOMPAS, 29 Mei 2021
...Wakil
rakyat seharusnya merakyat Jangan
tidur waktu sidang soal rakyat Wakil
rakyat bukan paduan suara Hanya
tahu nyanyian lagu setuju… Refrain lagu ”Wakil
Rakyat” yang dinyanyikan Iwan Fals saya dengar dari mobil dalam perjalanan ke
Yogyakarta. Beberapa kali saya resapi lirik lagu Iwan, ”…Wakil rakyat
seharusnya merakyat…”. Rasanya lirik lagu itu pas dengan suasana kebatinan
sekarang ini. Kritik sosial dari lagu-lagu Iwan pada saat DPR Orde Baru
terasa relevan dan menemukan aktualisasinya kini. Tiba-tiba, saya teringat
ketika seorang anggota Komisi III DPR berbicara bahwa anggota DPR akan
menggunakan pelat nomor mobil khusus. Anggota DPR yang terhormat memiliki
mobil pribadi dengan pelat nomor yang didesain khusus. Pelat nomor itu
merujuk tempat anggota DPR bertugas, komisi dan nomor urut. Latar belakangnya agar
jika ada anggota DPR melanggar saat menjalankan tugas konstitusionalnya akan
langsung ketahuan. Permintaan pelat nomor khusus diajukan Sekjen DPR atas
usulan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dari
Fraksi Partai Gerindra seperti dikutip sejumlah portal berita daring
mengatakan, dengan nomor khusus MKD bisa mengetahui secara pasti kendaraan
dinas anggota DPR. ”Agar mudah dipantau di
DPR sendiri, gampang dikenali mana anggota, mana bukan. Di jalan raya bisa
dipantau apabila kemudian ada mobil yang melakukan pelanggaran,” ujar Dasco. Polri telah mengeluarkan
telegram untuk menyosialisasikan adanya pelat nomor khusus bagi anggota DPR. Pelat nomor khusus bagi
anggota DPR banyak dikritik. Ada yang menyebut pelat nomor khusus bagi
anggota DPR hanya untuk gagah-gagahan, untuk mendapatkan privilese di jalan
raya. Seorang anggota DPR menanggapi, ”Saya sudah lihat contohnya. Kalau
alasannya seperti mobil TNI, Polri, Kemenhan, dan Lemhannas, itu semua mobil
dinas. Kalau ini mobil pribadi. Saya tidak berminat. Aneh-aneh saja,” tulis
seorang anggota Komisi I DPR melalui pesan Whatsapp kepada saya. Kritik datang tentunya
karena kinerja DPR yang mengecewakan. Citra DPR dan partai politik paling
buruk dibandingkan lembaga negara lain. Target legislasi tidak tercapai.
Legislasi yang dibuat cenderung mengabaikan aspirasi publik. Sebut saja
revisi UU Mahkamah Konstitusi yang memperpanjang usia jabatan hakim
konstitusi menjadi 70 tahun. Untuk kepentingan siapa? Itu, kan, hadiah untuk
hakim konstitusi yang punya fungsi dan bisa membatalkan undang-undang yang
diproduksi DPR dan pemerintah. Revisi UU KPK ditolak
publik, tetapi disahkan DPR. Presiden Jokowi menyetujui, tetapi tidak
menandatangani. Dampak revisi UU KPK terbukti hingga kini. KPK yang dipimpin
Komisaris Jenderal (Pol) Firli Bahuri terus dilanda masalah internal. Dewan
Pengawas KPK yang didesain sebagai pengawas juga tak berkutik. Sebanyak 51
pegawai KPK ditandai centang merah, bukan buku merah, yang pernah
menghebohkan KPK. Tanda merah ditujukan kepada pegawai KPK yang disebut tak
bisa dibina lagi untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Alasan Wakil
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Supranawa Yusuf, waktu tidak cukup
untuk membina pegawai yang dicentang merah. Padahal, untuk seorang
teroris yang telah melakukan tindakan terorisme, pemerintah memperkenalkan
deradikalisasi untuk menjadikan orang radikal menjadi lebih moderat. Namun,
bagi pegawai KPK yang telah bekerja memberantas korupsi, justru vonis ”mati”
diajukan, ”Mereka tidak lagi bisa dibina”. Kisruh itu akibat revisi
UU KPK yang inisiatifnya dari DPR. Kini, ketika kisruh berlanjut, DPR diam.
Wakil Ketua DPR malah memanggil penyidik KPK ke rumah dinas dan
mempertemukannya dengan pihak terkait dalam penyelidikan itu. Kemudian, ada
permintaan dari pihak terkait itu agar penyelidikan tak naik ke penyidikan.
Dugaan pelanggaran itu nyata, tetapi MKD juga belum berbuat apa-apa. Terasa
ironis. Pelat nomor khusus anggota
DPR rasanya bagus saja, jika anggota DPR mau jemput bola menyerap aspirasi.
Anggota Komisi III yang membidangi hukum dengan pelat nomor khususnya bisa
mendatangi pegawai KPK yang dipecat ataupun yang tak dipecat, mendatangi
pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK, mendatangi BKN, untuk membantu mencari
model tes seperti apa yang dilakukan BKN. Wakil rakyat harus punya
compassion terhadap derita rakyat dan menyuarakan suara rakyat. DPR harus
punya kemampuan teknis menyerap suara rakyat. DPR harus always connecting
dengan rakyat. Semoga, pelat nomor khusus bisa membuat ”parlemen selalu
berada di jalan”. Always connecting dengan rakyat. Di tengah revolusi
digital, always connecting wakil rakyat dengan rakyat bisa dilakukan dengan
bantuan teknologi digital. Anggota DPR bisa terkoneksi dengan daerah
pemilihannya, menggali aspirasi, dan melaporkan kinerjanya kepada rakyat.
Tapi karena prinsip always connecting masih terlalu maju, ya jadikan
”parlemen di jalanan” dengan pelat nomor khusus sebagai tempat tujuan rakyat
mengadu. Kembali terdengar syair lagu Iwan. ...Di
hati dan lidahmu kami berharap Suara
kami tolong dengar lalu sampaikan Bicaralah
yang jantan jangan hanya diam…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar