Kembali
ke Fitrah Kerukunan Hasibullah Satrawi ; Warga NU, Alumnus
Al-Azhar, Kairo, Mesir |
KOMPAS, 13 Mei 2021
Hari raya Idul Fitri atau
idulfitri berarti kembali ke fitrah. Umat Islam merayakan hari raya ini
setelah satu bulan penuh berpuasa; menahan makan-minum, menahan hawa-nafsu,
sekaligus memperbanyak amal ibadah-kebajikan. Hari raya Idul Fitri pun
dikenal dengan istilah ”Hari Kemenangan”. Di Indonesia, Hari Raya
Fitri dikenal juga dengan istilah khas, yaitu halalbihalal yang secara
harfiah berarti ”halal” dengan ”halal”. Dalam tradisi Islam, halal berarti
yang boleh dilakukan atau kebalikan dari yang diharamkan (tidak boleh
dilakukan). Dengan demikian, halal bihalal secara harfiah berarti ”yang boleh
dilakukan” dibalas dengan ”yang boleh dilakukan”. Oleh karenanya, secara
sosial, halal bihalal dimaknai oleh masyarakat dengan istilah ”kosong-kosong”
atau saling memaafkan. Dan inilah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di
Indonesia pada hari raya Idul Fitri dengan saling berkunjung di antara
tetangga, kolega, dan sanak saudara sembari saling maaf-maafan. Fitrah
kerukunan Dalam salah satu karya
terbesarnya, Nahwa Fiqhin Jadid (Menuju Fikih Baru), pembaru Islam
berkebangsaan Mesir, Jamal al-Banna, mengenalkan istilah albaro’ah
al-ashliyah (Kairo, 1995: halaman 11). Penulis menerjemahkan istilah ini
dengan ”kebebasan otentik”. Jamal al-Banna yang tak
lain adalah adik kandung Hasan Al-Banna menjadikan kebebasan otentik sebagai pembahasan
awal dalam tiga jilid bukunya di atas dengan sangat menggebrak. Disebut
menggebrak karena melalui pembahasan ini dan bagian-bagian seterusnya, Jamal
al-Banna mengalirkan ide-ide pembaruan terkait dengan hukum Islam yang sangat
menarik dan memikat. Melalui konsep kebebasan
otentik, Jamal al-Banna hendak menjelaskan tentang ”titik putih” sekaligus
titik kembali manusia. Pada awalnya manusia (Nabi Adam) diciptakan dalam
keadaan suci oleh Allah Swt. Namun karena pengaruh dari godaan-godaan yang
ada, Adam tergelincir dari titik putihnya menjadi makhluk pendosa. Namun, yang menjadi
perhatian Jamal al-Banna bukan hanya kondisi awal manusia yang suci kemudian
menjadi pendosa, melainkan juga proses pertaubatan yang dilakukan hingga
membawa Nabi Adam kembali ke surga. Titik inilah yang dimaksud dengan istilah
albaro’ah alashliyah (kebebasan otentik) oleh Jamal al-Banna yang juga
disebut dengan istilah fitrah. Dalam konteks Lebaran dan
ibadah puasa, manusia kurang lebih melalui siklus otentik di atas. Pada
awalnya manusia berada di titik putih individual dan sosial; dalam keadaan
baik secara sosial dan individual, minimal tidak ada masalah dengan orang
lain. Namun, segala macam perkembangan yang ada membawa seseorang keluar dari
titik putihnya menjadi bermasalah dengan orang lain, bertengkar, berkonflik
atau bahkan malah berperang atas nama apa pun, termasuk atas nama agama. Melalui ibadah puasa
selama satu bulan penuh, manusia dituntun untuk menyadari, mengoreksi dan
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada. Itu sebabnya, bulan Ramadhan juga
dikenal dengan istilah bulan penuh ampunan. Melalui koreksi dan perbaikan
yang ada, khususnya di bulan Ramadhan, seseorang diharapkan bisa keluar dari
titik gelapnya menuju titik putihnya kembali. Kerukunan dan perdamaian
merupakan salah satu fitrah manusia. Meminjam istilah yang digunakan oleh
Muhammad Imarah dalam salah satu bukunya, karena kerukunan bisa mendorong
kehidupan yang berbeda-beda ini untuk terus maju dan berkembang (Al-Islam
wat-Ta’addudiyyah, 1997: halaman 21). Kerukunan dan perdamaian
adalah keadaan yang didamba oleh manusia, bahkan oleh penjahat sekalipun.
Sementara pertengkaran dan peperangan adalah keadaan yang tidak disukai oleh
manusia, bahkan oleh seorang jenderal sekalipun. Dengan kata lain, apabila
boleh memilih, secara fitrah manusia akan lebih memilih rukun-damai daripada
tengkar-perang. Karena ada ketenangan dan ketenteraman dalam rukun-damai.
Sementara dalam tengkar-perang hanya ada kekerasan dan keketiran. Itulah
sebabnya, Al Quran menyebut perang dengan istilah kurhun yang bermakna
”keadaan yang tidak disukai” (Qs Al-Baqarah: 216). Kalaupun berperang
dibolehkan, hal itu harus dilakukan dalam konteks membela diri dan mematuhi
segala peraturan yang bersifat ketat. Menyadari kerukunan dan
perdamaian sebagai fitrah sangatlah penting, khususnya ketika seseorang
tergelincir dari titik fitrahnya, bergelimang salah dan dosa, bahkan larut
dalam aneka macam permusuhan, pertengkaran, dan pelbagai macam aksi
kekerasan, termasuk aksi kekerasan atas nama agama yang mengorbankan umat
beragama itu sendiri. Dalam keadaan tergelincir
dari titik fitrahnya sebagaimana di atas, seseorang bisa merasakan semuanya
secara terbalik; tengkar-perang sebagai tujuan, daripada rukun-damai. Hingga
dengan berperan seseorang merasa mendapatkan kesejatian, bahkan mungkin juga
kesejatian iman. Sebaliknya, rukun-damai bisa dianggap sebagai kelemahan,
termasuk kelemahan iman. Demikian seterusnya hingga semuanya menjadi
terbalik, termasuk terkait dengan hal-hal yang bersifat keagamaan; bahwa
beragama tujuannya untuk bertengkar-berperang, daripada untuk kerukunan dan
perdamaian. Tantangan
kerukunan Dalam hemat penulis, pada
tahap tertentu, hal di atas menjadi tantangan di Indonesia dalam beberapa
waktu mutakhir, khususnya terkait konteks keberagamaan dalam keberagaman.
Secara intra-agama, ada hubungan yang cenderung tidak harmonis di antara
kelompok-kelompok yang ada dalam satu agama dengan tingkat keterbukaan yang
berbeda-beda. Bahkan hubungan antarkelompok-kelompok dalam satu agama menjadi
salah satu tantangan kerukunan yang sangat berat. Mengingat di satu sisi,
kondisi ini kurang mendapatkan perhatian serius (dibanding inisiatif lain).
Dan di sisi lain, adanya klaim kebenaran dari salah satu pihak berjalan
secara lebih kuat dan terbuka dalam hubungan kelompok-kelompok di internal
satu agama dibanding dalam hubungan antaragama-agama. Kondisi ini tak jarang
menghentikan proses dialog sebagai upaya mencapai kerukunan. Sementara secara
antaragama, inisiatif, ataupun forum-forum dialog sejauh ini sudah dilakukan,
walaupun masih sangat terbatas. Namun, upaya-upaya yang ada masih jauh dari
memadai untuk mencapai kehidupan umat dan masyarakat yang saling memahami
antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hingga terbentuk kehidupan
yang saling menghormati dan menjaga kerukunan yang ada. Peran pemerintah sebagai
mediator dalam upaya-upaya dialog untuk mewujudkan kerukunan masih menjadi
tantangan yang sangat serius. Di satu sisi, pemerintah harus bersikap netral
di antara kelompok-kelompok yang ada, khususnya pada batas negara sebagai
ruang bersama dan keyakinan sebagai ruang privat keyakinan masyarakat. Namun
di sisi lain, pemerintah yang terdiri dari pribadi-pribadi yang secara
keagamaan maupun keyakinan menjadi bagian dari ”kelompok-kelompok” yang ada
berpihak secara tidak terasa kepada salah satu kelompok yang ada. Di sinilah pentingnya Idul
Fitri sebagai cara alami dari masyarakat untuk meleburkan perbedaan-perbedaan
yang ada dan merajutnya dalam sebuah kebersamaan melalui semangat saling
memaafkan dan menjaga kerukunan. Perbedaan apa pun sudah pasti tidak bisa
dihilangkan sampai kapan pun, tetapi semangat Idul Fitri memperlihatkan
kepada semua bahwa perbedaan-perbedaan yang ada bisa dilampaui dan
”dipersatukan” dalam luapan ampunan dan saling memaafkan. Hal yang tak kalah
penting adalah Idul Fitri mengingatkan masyarakat pada fitrahnya, yaitu
fitrah kerukunan dan perdamaian. Sebagai fitrah, kerukunan
dan perdamaian tak ubahnya rasi bintang yang bisa memandu orang yang tersesat
dalam gelap gulitanya kekerasan, kebencian, permusuhan, atau bahkan
peperangan. Dalam semangat fitrah kerukunan dan perdamaian, seseorang harus
memiliki keberanian untuk mengakui kesalahan yang ada sekaligus berkomitmen
untuk memperbaiki kesalahannya ke depan. Hingga kerukunan dan perdamaian bisa
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita kembali ke fitrah, mari kita
kembali pada kerukunan dan perdamaian. Selamat merayakan hari raya Idul Fitri
1442 H. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar