Nestapa
Palestina, Ketidakpedulian AS Achmad Munjid ; Dosen American Studies FIB UGM |
KOMPAS, 24 Mei 2021
Setelah Hamas dan Israel
sepakat gencatan senjata, dunia bisa lega, minimal sementara. Pengeboman beruntun 11
hari oleh Israel di Gaza telah menewaskan setidaknya 243 warga Palestina,
banyak di antaranya perempuan dan anak-anak. Selain ribuan yang terluka,
lebih dari 70.000 orang menjadi pengungsi di antara 500-an gedung perkantoran,
tempat tinggal, sekolah dan fasilitas kesehatan yang luluh- lantak menjelma
puing-puing. Di bawah intaian pandemi dan perang susulan yang sewaktu-waktu
bisa pecah lagi, tanpa aliran listrik, air dan fasilitas umum. “Jika ada neraka di
dunia,” kata Sekjen PBB Antonio Guterres, itulah Gaza. Peter Beinart, profesor
Yahudi di City University of New York, mengungkapkan, penyitaan rumah warga
Palestina di Yerusalem Timur yang memicu perang kemarin hanyalah puncak
gunung es. Ada 700.000 warga
Palestina yang terusir atau lari ketakutan ketika Israel berdiri. Itu separuh
populasi Arab di sana pada 1948. Saat Israel mencaplok Tepi Barat dan Gaza
lewat perang 1967, kembali 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Antara
1967-1994, 250.000 orang yang keluar dari wilayah itu kehilangan hak untuk
pulang. Lewat perampasan dan
penghancuran rumah, diskriminasi hukum apartheid, pembangunan ratusan
kompleks pemukiman liar warga Yahudi di wilayah Palestina, juga ratusan
kilometer tembok segregasi dan pos militer yang menyekat-nyekat pemukiman,
hingga bentrok dan perang rutin, dari tahun ke tahun puluhan ribu rakyat
Palestina terbunuh atau tak tahan dan terpaksa hengkang. Akibat pembersihan etnis
secara sistematis yang terus dilakukan Israel, “solusi dua-negara” sebagai jalan
keluar konflik satu-satunya kian mustahil diwujudkan. Bagi Netanyahu yang
bertahun-tahun terseret kasus korupsi, konflik itu peluang emas untuk kembali
merebut simpati publik Israel. Sementara bagi elite politik Palestina,
konflik itu jadi alasan untuk kembali menunda pemilu agar tetap berkuasa.
Walhasil, nestapa rakyat Palestina makin tak terperi. Dukungan
buta Amerika Sampai kini orang-orang
Yahudi terus dihantui “trauma kultural” holokos yang merenggut hampir enam
juta warga mereka di bawah kekejian Hitler dan Nazi semasa Perang Dunia II.
Trauma itulah yang akhirnya menjadi legitimasi utama gerakan Zionis untuk
mendirikan negara Israel. Trauma itu pula yang membuat kaum Yahudi dapat
dukungan luas di Barat, khususnya AS, untuk memastikan agar tragedi serupa
tak terulang lagi. Identitas Hitler sebagai orang Kristen kulit putih modern
telah membuat Barat menanggung rasa berdosa kolektif. “Trauma kultural”, kata
Jeffrey Alexander dalam Trauma, A Social Theory (2012), dibentuk melalui
proses sosial di mana peristiwa traumatik dinarasikan sebagai ancaman
eksistensial terhadap seluruh warga suatu kelompok. Narasi itu
mengidentifikasi siapa korban, siapa pelaku dan bagaimana masyarakat harus
menanggapi. Narasi yang unggul tak terutama ditentukan oleh peristiwa
faktual, tapi oleh kekuatan performatif yang terkait erat dengan relasi kuasa
dan sumber daya, juga demografi audiens. Rasa bersalah kolektif di
Barat sebagai audiens, juga relasi kuasa dan sumber daya Yahudi telah
memungkinkan mereka menghadirkan kekuatan performatif luar biasa lewat
produksi wacana, sejarah, karya seni, museum, kerangka epistemologis dan
narasi media. Sembari diklaim sebagai pengalaman traumatis unik, tragedi
holokos pun dimaknai punya pelajaran moral universal. Nasib orang Maori,
Aborigin, atau suku Indian Amerika mungkin lebih tragis, tapi kenapa kisah
mereka tak dianggap sepenting kaum Yahudi? “Pro-Israel” sebagai pemakluman
Barat terhadap setiap tuntutan dan tindakan pemerintah Israel terkait
kemenangan narasi trauma kultural Yahudi ini. Bahkan ada asumsi, mengkritik
Pemerintah Israel sama dengan anti-semitisme yang langsung dikaitkan dengan
holokos. Meski dalam praktik kini
Israel termasuk negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia yang terus
melakukan kekejian pada Palestina yang ringkih, AS tetap menempatkan Israel
sebagai korban yang wajib dibela tanpa syarat. AS selalu menegaskan hak
Israel untuk membela diri dan kutukan kekerasan justru diarahkan ke
Palestina. Sebelum tercapai gencatan senjata terakhir, resolusi yang dibuat
95 negara di DK PBB untuk menghentikan kekerasan sempat diveto tiga kali
dalam seminggu oleh AS. Memang, tak sedikit orang
Israel yang juga warga negara AS, termasuk para pemukim liar di Palestina dan
Netanyahu sendiri. Jelas ini punya ikatan psikologis tersendiri. AS-Israel
mengidentifikasi diri sebagai mitra strategis terpenting yang punya hubungan
istimewa. Pada 2016, bahkan di bawah Obama yang dianggap berjarak, AS telah
menandatangani perjanjian kontrak pemberian bantuan militer tanpa syarat
untuk Israel senilai 3,8 miliar dollar AS per tahun hingga 2026. Banyak Kristen Zionis
adalah penyandang dana kelompok sayap kanan politisi AS dan juga sayap kanan
di Israel. Merekalah yang berbaris rapat di belakang kebijakan pro-Israel di
AS. Para Kristen zionis ini meyakini, berdirinya Israel dan konflik yang
memuncak di Timteng adalah pintu menuju Armageddon. Selain alasan bisnis
senjata yang secara ekonomis sangat menguntungkan, di kalangan Kristen ini
bantuan militer AS juga bermotivasi teologis, demi mempercepat perang puputan
antara Kebaikan melawan Kejahatan. Kenapa? Ketika Armageddon pecah,
kedatangan Yesus yang kedua akan terjadi. Itulah momen yang mereka
tunggu-tunggu. Terlepas dari keyakinan personal Donald Trump, pengakuannya
atas Yerusalem sebagai ibukota Israel adalah bagian dari skenario ini. Di
Israel sendiri, 70 persen warganya Yahudi sekuler yang tak peduli urusan
agama. Tetapi mereka memanfaatkan dukungan AS untuk kepentingan ekonomis
sekaligus politis, yakni legitimasi di tingkat global. Perubahan
konstelasi Meski platform media
sosial utama seperti Facebook, Twitter dan Instagram terus menyensor ketat
postingan pro-Palestina demi mengikuti tuntutan Israel, berkat advokasi
“hak-hak digital” oleh para aktivis milenial, kini dunia bisa menyaksikan
sendiri cerita yang disampaikan langsung oleh warga Palestina. Kita pun menonton video
tentang pemukim liar Yahudi yang terang-terangan mengakui pencurian rumah
warga Palestina di Sheikh Jarrah dengan alasan “kalau saya tak mencuri rumahmu,
orang lain yang akan mencurinya”. Bersamaan dengan kian
meluasnya sikap kritis media Barat 10 tahun terakhir, persepsi publik AS
tentang Israel dan konflik Palestina pun berubah fundamental. Bernie Sanders,
keturunan Yahudi yang sempat jadi kandidat presiden Partai Demokrat
menyerukan Palestinian Lives Matter sembari menuntut Biden bersikap tegas
pada pemerintahan garis-keras Netanyahu dan perilaku mereka yang tak
demokratis dan rasis. Rashida Tlaib,
satu-satuanya anggota Kongres AS keturunan Palestina, juga telah bicara
langsung kepada Biden sebelum ada gencatan senjata untuk mengevaluasi bantuan
militer yang telah memungkinkan Israel melakukan kejahatan kemanusiaan pada
Palestina. “Berapa banyak warga Palestina yang harus mati agar nyawa mereka
dianggap berharga?,” ujarnya di depan Kongres. Konstelasi di seputar
konflik Palestina sedang berubah cepat, termasuk di kalangan orang Yahudi,
baik di dalam maupun luar Israel. Begitu juga di kalangan publik AS maupun
negara Barat lain. Istilah kunci seperti rasisme sistemik, police brutality
dan supremasi kulit putih yang menggerakkan demonstrasi Black Lives Matter
besar-besaran di AS tahun lalu tampak jelas di Palestina dalam bentuk yang
jauh lebih brutal. Demonstrasi pro-Palestina juga merebak di berbagai kota
besar di seluruh dunia, bukan hanya di negara Muslim. Melihat kondisi rakyat
Palestina yang kian terjepit meski telah ada 88 resolusi yang dibuat PBB
sejak 1948, dunia harus mencari solusi lebih serius. Melalui komunitas
internasional seperti ASEAN, GNB, OKI dan lainnya, Indonesia perlu mengambil
langkah lebih efektif. Langkah strategis pertama yang harus segera terwujud
adalah memastikan agar Israel menghentikan pendudukan militer di Gaza dan
Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan perampasan wilayah yang dilakukan
para pemukim ilegal Yahudi atas sponsor pemerintah Israel. Bersama para pemimpin
dunia dan komunitas internasional lain, Indonesia juga perlu aktif melobi AS
yang kini juga mendapat tekanan dari publik domestiknya untuk secara
fundamental merevisi kebijakannya terhadap Israel. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar