Memanfaatkan
Permintaan Tertahan Ari Kuncoro ; Rektor Universitas Indonesia |
KOMPAS, 25 Mei 2021
Fenomena permintaan
tertahan atau terkekang (pent-up demand) pada umumnya terjadi setelah
perekonomian mengalami krisis di mana masyarakat berusaha kembali sedekat
mungkin ke pola normal sebelumnya. Masyarakat yang mengalami karantina
wilayah akan mencoba mengompensasi waktu-waktu yang hilang selama terkungkung
di rumahnya. Ada tiga konsekuensi.
Pertama jika sisi produksi atau rantai pasokan tidak dapat mengimbangi, maka
akan terjadi inflasi yang tinggi (Philips, 1956; Phelp, 1969). Kemungkinan lainnya adalah
ledakan impor atau inflasi plus membengkaknya impor. Jika sisi produksinya siap,
maka permintaan tertahan dapat dijadikan sumber pertumbuhan (Mayland, 1988). Inflasi
dan Rantai Pasokan China mengalami kontraksi
tajam minus 6,8 persen di triwulan I-2020. Pemulihan kemudian terjadi
bertahap. Untuk tiga triwulan berikutnya terjadi pertumbuhan positif
masing-masing sebesar 3,2 persen, 4,9 persen, dan 6,5 persen. Fenomena
inflasi baru terlihat di triwulan I-2021 ketika China mencatat pertumbuhan
sebesar 18,3 persen. Di sinilah permintaan
masyarakat yang selama ini tertahan mulai meledak. Selain itu, posisi China
sebagai hub manufaktur global di saat rantai pasokan manufaktur dunia masih
mati suri juga meningkatkan ekspornya sebesar 32,2 persen (yoy) pada April
2021. Hal ini dapat mengimbangi kenaikan impor sebesar 43,1 persen sebagai
dampak ledakan permintaan dalam negeri dan kebutuhan bahan baku/setengah jadi
sektor manufaktur. Kedua hal tersebut membuat
daya ungkit perekonomian China sangat besar. Kendati demikian, tekanan pada
rantai pasokan tetap terlihat. Inflasi indeks produsen melonjak dari 1,7
persen di bulan Januari ke 4,4 persen dan 6,8 persen pada Maret dan April
2021. Situasi di AS berbeda,
karena sisi pasokan mengalami fenomena kurva penawaran tenaga kerja yang
berbalik atau backward bending labor supply curve (Hanoch, 1965; Rahman,
2013). Ini sebagai akibat dari adanya
stimulus per individu yang cukup besar, yaitu 1.400 dolar untuk individu
kepala rumah tangga dan pasangan suami istri dengan berbagai persyaratan
tambahan. Dalam situasi normal sudah
menjadi kebiasaan bagi sebagian masyarakat di sana untuk mempunyai satu atau
dua pekerjaan tambahan untuk mempertahankan gaya hidup kelas menengah. Bagi
bisnis kecil seperti restoran, perdagangan, penginapan dan lain-lain hal ini
merupakan sumber tenaga kerja. Pada saat pandemi hampir
semua bisnis terpuruk. Sebagai kompensasi, pemerintah AS memberikan subsidi
upah. Kebijakan ini berhasil mendongkrak pertumbuhan tahunan ke 6,4 persen
untuk triwulan I-2021. Namun, sisi negatifnya, sebagian masyarakat merasa
tercukupi, merasa tidak perlu lagi bekerja seperti sebelum pandemi.
Akibatnya, dunia bisnis kesulitan untuk mencari tenaga kerja tambahan. Hal
ini menimbulkan tekanan inflasi
tambahan bagi sisi produksi, selain yang berasal dari kenaikan harga bahan
baku dan material. Uang stimulus ini sebagian
dibelanjakan untuk gawai (gadget/peranti elektronik) mulai smart TV, laptop dan sejenisnya yang
meningkatkan permintaan terhadap cip
elektronik, besi baja, dan material lain. Akibatnya, indeks harga produsen mengalami peningkatan
4,2 persen (yoy) pada Maret 2021. Ini merupakan peningkatan terbesar sejak
September 2011. Sebagian dari permintaan di atas menjelma menjadi impor,
sehingga defisit neraca dagang AS pada bulan Maret mencatat rekor 74,4 miliar
dolar. Karakter
permintaan Permintaan tertahan di
Indonesia mempunyai karakter yang berbeda dengan AS maupun China. Di AS
masyarakat berbelanja barang-barang tahan lama terutama gawai. Sementara di
Cina lebih seimbang antara barang tahan lama dan jasa seperti perjalanan
wisata, kuliner dan sejenisnya. Di Indonesia, arus mudik
sebelum larangan mudik diberlakukan dan penuhnya tempat-tempat wisata di
berbagai kota menunjukkan karakter permintaan tertahan yang lebih
berorientasi ke relaksasi ketimbang pembelian barang-barang tahan lama,
setelah sekian lama terbatas mobilitasnya. Data Kementerian
Perhubungan menyebutkan setelah larangan mudik berakhir terjadi lonjakan
penumpang sekitar 191,6 persen. Hal ini menggarisbawahi mudik sebagai
fenomena sosial-ekonomi-budaya kekeluargaan di mana alokasi pekerjaan,
distribusi pendapatan dan kinship menjadi faktor utama dalam mobilitas
(Behrman, 1992; dan Haddad et,al, 1994). Fenomena mudik ini juga
didukung oleh Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dipublikasikan BI pada
bulan April mencatat skor 101,5, yang berarti sudah memasuki zona optimis.
Indeks ini masih berada di zona pesimis di angka 93,4 pada Maret lalu. Perbaikan IKK terutama didorong
oleh Indeks Ekspektasi Konsumen sebesar 122,6 yang mencerminkan prospek ke
depan. Namun, indeks kondisi
ekonomi walaupun sudah mengalami perbaikan masih ada di bilangan 80,3, cukup
jauh dari batas optimis di angka 100. Adanya diskrepansi ini menunjukkan
masyarakat konsumen masih konservatif walaupun sudah lebih optimistis. Hal
ini tercermin dari indeks pembelian barang tahan lama yang sudah membaik dari
80 di bulan Maret lalu ke 84,6 di bulan April. Namun, masih terdapat jarak
cukup jauh dengan zona optimis (skor di atas 100). Padahal potensi belanjanya
cukup signifikan. Jika dilihat dari
pengeluaran konsumsi dari Maret ke April, terjadi peningkatan proporsi
konsumsi terhadap pendapatan dari 74.4 ke 74.5. Sementara tabungan naik tipis
dari 14,7 ke 14,8 persen. Proporsi tabungan ini mungkin digunakan sebagai
persiapan mudik di bulan Mei. Daya beli tampaknya juga
tidak menjadi masalah karena semua ekspektasi ke depan cukup optimistis.
Tercatat indeks ekspektasi 6 bulan ke depan seperti indeks ekspektasi
penghasilan, ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha masing-masing
pada zona optimis dengan skor impresif 126,7, 117,9 dan 123,2. Dengan pola permintaan
seperti ini pertumbuhan PDB Indonesia di triwulan I-2021 mencapai minus 0,74
persen. Sudah membaik dari triwulan sebelumnya, namun daya ungkit masih
terbatas. Sisi positifnya dampak terhadap inflasi masih relatif kecil. Salah
satunya karena sisi produksi relatif siap. Indeks manajer pengadaan
(purchasing manager index) manufaktur berada di posisi 54,6 di bulan April.
Belum terlihat adanya lonjakan inflasi seperti di AS maupun China. Angka inflasi tahunan
bulan April adalah 1,42 persen. Sejak Juli 2020 sampai April 2021
inflasi (yoy) selalu di bawah 1,67
persen. Fenomena kerumunan di pusat perbelanjaan seperti Pasar Tanah Abang,
tempat wisata dan mudik di berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa di
balik angka-angka pertumbuhan dan inflasi yang masih rendah terdapat potensi
ledakan permintaan tertahan di beberapa triwulan ke depan. Jika dibarengi dengan
protokol kesehatan ketat termasuk pengaturan kapasitas dan waktu beroperasi
pusat perbelanjaan, uji usap dan antigen, transportasi sehat-aman serta
vaksinasi, maka potensi ini akan dapat dimanfaatkan untuk membawa Indonesia
ke jalur pertumbuhan yang jauh lebih tinggi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar