Analisis
Budaya: Halalbihalal Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
KOMPAS, 29 Mei 2021
Idul Fitri memang sudah
berlangsung pada 13 Mei 2021 yang lalu. Namun, kegiatan halalbihalal biasanya
masih terus diadakan selama bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam kalender
Hijriah. Berbagai kantor pemerintah dan swasta, sekolah, organisasi Islam,
perkumpulan alumni, atau kluster perumahan akan bergantian melaksanakan
halalbihalal. Banyak yang melakukan secara luring, tetapi karena pandemi
belum berakhir, lebih banyak lagi yang menyelenggarakan secara daring. Halalbihalal merupakan
bagian dari rangkaian kegiatan dalam perayaan Idul Fitri. Ini merupakan
tradisi khas Indonesia yang tidak ditemukan di negara-negara Islam lain.
Meski kosakatanya berasal dari bahasa Arab, ia bukanlah istilah Arab. Secara
gramatika bahasa, istilah ini tidak pas atau tidak mengikuti standar bahasa
Arab yang diakui sehingga ia tidak memiliki makna yang jelas. Secara harfiah,
ia berarti ”boleh dengan boleh” atau ”halal dengan halal”. Namun, secara
umum, istilah ini dimaknai sebagai permohonan untuk saling memaafkan dan
menyelesaikan masalah. Berdasarkan penelusuran
Muhammad Yuanda Zara (2020) dan Deni Al Asyari (2021), istilah halalbihalal sudah dipakai umum pada
perempat abad pertama abad ke-20 dengan berbagai cara penulisannya, seperti chalal bichalal, chalal bil chalal, halal
bahalal, alal bahalal, alal behalal, halalbihalal, dan seterusnya.
Majalah Soeara Muhammadijah edisi nomor 5 tahun 1924, misalnya, menggunakan
istilah ”Alal Bahalal” dalam judul Tajuk Rencana atau pengantar redaksi edisi
tersebut. Tradisi ini lantas masuk
menjadi acara resmi kenegaraan ketika KH Wahab Chasbullah pada 1948
mengusulkan agar Presiden Soekarno menggunakan halalbihalal untuk mencairkan
ketegangan antar-elite politik ketika itu (Kompas, 16 Mei 2021). Acara itu
menjadi alat untuk mempertemukan berbagai pihak yang sebelumnya tak mau
bertemu dan sebagai upaya untuk mengintegrasikan kembali berbagai elemen
bangsa. Sejak itulah kegiatan ini menjadi populer, tak hanya di kalangan
masyarakat umum, tetapi juga di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Di negara lain, pada saat
Idul Fitri biasanya umat Islam saling mengucapkan ”Eid Mubarak”. Kadang
ditambah dengan ”kullu ’am wa antum bi khair” (semoga kalian senantiasa dalam
kebaikan setiap tahun). Kalimat yang
lebih lengkap lagi, ”Taqabbalallahu minna wa minkum wa taqabbal ya karim,
waja’alanallahu waiyyakum minal ’aidzin wal faizin” (Semoga Allah menerima
(amal ibadah) kita semua! Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk
orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang). Tradisi mengucapkan
kalimat ”mohon maaf lahir dan batin” atau, dalam bahasa Jawa, ”nyuwun
pangapunten sedanten kalepatan” tidak terdapat di negara-negara Muslim lain.
Dalam bahasa Clifford Geertz (1964, 379), inti dari hari raya Idul Fitri,
atau Riyaya, di Jawa atau Indonesia itu memang terletak pada ”individual
begging of forgiveness” (permohonan maaf). Menariknya, ini tidak hanya
dilakukan oleh umat Islam atau antar-umat Islam, tetapi juga oleh pengikut
agama lain. Tradisi halalbihalal itu
tentu bisa dirunut dari tradisi sungkeman atau pisowanan. Berbagai referensi
menunjukkan bahwa ia berawal ketika KGPAA Mangkunegara I dari Surakarta, atau
Pangeran Sambernyawa, mengumpulkan penggawa dan prajurit di balai astaka
untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah Idul Fitri
(Suara Muhammadiyah No 11, 2019). Meski halalbihalal tidak
dikenal di negara lain, perayaan atau festival Idul Fitri itu sendiri ada di
sejumlah negara. Kita bisa melihat tradisi yang sama dalam takbiran, kembang
api, shalat Idul Fitri, makan bersama, dan berpakaian bagus. Pada beberapa
hal, ini mirip yang terjadi pada hari Natal, Paskah, dan Thanksgiving. Namun,
tidak ada tradisi saling bersilaturahmi atau saling mengunjungi dan saling
meminta maaf pada Idul Fitri di negara lain. Ini yang khas Indonesia. Di Pakistan, misalnya,
perayaan Idul Fitri biasa dilakukan dengan hadirnya keluarga dari sejumlah
daerah atau bahkan mereka yang tinggal di mancanegara. Ini mirip dengan
tradisi mudik di masyarakat kita. Pada hari raya, mereka bangun pagi-pagi dan
memakai baju tradisional yang baru, Kurta Shalwar. Kemudian mereka akan
berkumpul untuk makan bersama, dimulai dengan doa dipimpin oleh yang tertua.
Setelah itu mereka lantas pergi untuk melaksanakan shalat Id. Seusai shalat,
mereka akan saling berpelukan dan saling mengucapkan selamat Idul Fitri. Nah, festival Idul Fitri
akan berlangsung setelah itu yang biasanya menggabungkan unsur tradisional,
modern, dan bahkan sekuler. Elemen agama berkurang atau hilang dan berganti
dengan elemen budaya dan napas perayaan pada umumnya. Berbagai makanan
tradisional, seperti chapli kebab dan samosa, disajikan. Anak-anak akan
mendapatkan angpau dari orangtua dan saudara. Selain halalbihalal, ciri
khas lain dari perayaan hari Lebaran di Indonesia adalah beduk, takbir
keliling, makan ketupat, dan ziarah kubur. Bagi sebagian masyarakat kita,
Idul Fitri bukan hanya perayaan bagi mereka yang masih hidup, melainkan juga
yang sudah meninggal. Makanya, kemarin ada yang marah ketika tempat-tempat
pemakaman ditutup pada hari raya, sementara mal dan tempat wisata banyak yang
masih buka. Tentu, sejumlah daerah di
Indonesia memiliki variasi yang berbeda dalam merayakan Idul Fitri dan
berhalalbihalal. Di Jawa, perayaan Id atau Bakda Lebaran berlangsung selama
seminggu dan ditutup dengan Bakda Kupat atau Riyaya Ketupat. Di tempat lain,
ketupat disajikan pada hari pertama Lebaran. Ketupat, yang sekarang
menjadi ikon Idul Fitri, sering dianggap berasal dari kata ”ngaku lepat”
(mengaku salah). Namun, ada yang memaknainya sebagai ”laku papat” (empat
tindakan): Lebaran (membuka pintu lebar-lebar), luberan (berbagi keberuntungan), leburan (saling memaafkan), dan laburan (putih dan bersih dari dosa) (Rianti dkk 2018, 6). Ada
juga yang menganggap berasal dari bahasa Arab, kafa, yang berarti ”sempurna”.
Setelah berpuasa sebulan penuh dan dilanjutkan saling memaafkan sesama
manusia, sempurnalah diri kita sebagai manusia. Akhirnya, pada hari raya
ini, kami memohon agar dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Semoga
Covid-19 cepat berakhir dan kita bisa nguri-nguri
tradisi halalbihalal dan ketupatan dengan lebih hangat dan meriah! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar