Aib Ariel Heryanto ; Profesor Emeritus
dari Universitas Monash, Australia |
KOMPAS, 22 Mei 2021
Jarang sebuah film memicu
debat emosional berskala nasional sebelum film itu ditayangkan meluas. Kini
terjadi di Belanda dengan film De Oost (2020, Jim Taihuttu) atau
"Timur". Film ini dirilis di Amazon Prime (Belanda-Jerman-Belgia)
minggu lalu. Baru sekali diputar perdana di Festival Film Belanda (September
2020). De Oost menggambarkan ganasnya
pasukan tentara KNIL pimpinan Raymond Westerling yang ditugaskan
"menumpas pemberontak dan teroris" di Hindia Belanda yang sudah
jadi RI. Protagonis dalam film ini Johan de Vries, relawan muda Belanda yang
direkrut untuk membantu terciptanya "Indonesia damai". Tapi
pengalaman di medan perang merontokkan keyakinannya pada kebijakan negara
sendiri. Tahun lalu film itu sudah
diprotes sejumlah organisasi di Belanda, termasuk federasi veteran Indo di
Belanda (FIN). Debat publik meluas beberapa hari belakangan. Bulan ini ada
gugatan hukum di pengadilan dan demonstrasi di depan gedung pengadilan.
Minggu lalu pengadilan menggugurkan gugatan FIN, pembuat film dianggap tidak
bersalah. FIN menilai film itu
mencemarkan nama baik pejuang KNIL yang dulu bertempur membela negara. Film
itu dianggap propaganda "anti-Belanda". Dalam surat terbuka Palmyra
Westerling, putri Raymond Westerling, mengecam De Oost yang dinilai
memalsukan sejarah. Yang lebih merisaukan para pengecamnya, produksi film itu
disertai bahan ajaran untuk siswa Belanda tentang penjajahan Hindia Belanda. Jika film itu diputar di
Indonesia hampir pasti tidak akan diprotes ramai. Ia mendukung propaganda
nasionalis yang sudah ditelan beberapa generasi sejak di sekolah dasar. Kisah
jahatnya kolonial Belanda juga berlimpah dalam hampir semua film Indonesia
bertema revolusi kemerdekaan. Di Belanda De Oost
menggaruk luka bangsa. Untuk perbandingan, bayangkan jika ada film Indonesia
tentang peristiwa Santa Cruz di Dili (12 November 1991). Atau tentang operasi
bumi hangus seusai Referendum Timor Timur (30 August 1999). Bahkan Balibo
(2009, Robert Connolly) buatan negara lain saja batal tayang sesudah dijadwal
dalam Jakarta International Film Festival (2009). Terlepas dari mutunya, De
Oost adalah film Belanda pertama yang menabrak tabu nasional. Tapi ia hanya
satu mata rantai dari sederet panjang gugatan pada tabu yang sama. Berpuluh
tahun terakhir sudah tampil veteran perang, sarjana dan jurnalis Belanda yang
angkat suara. Awalnya suara mereka langka dan diabaikan. Belakangan seruan
itu meluas dan lantang. Kebenaran tak pernah
dimonopoli satu pihak. Debat di Belanda tidak akan segera tuntas dengan
kesepakatan bulat bersama. Terlepas apa hasilnya kelak, debat terbuka itu
sendiri sebuah langkah awal yang terpuji. Lebih dari 100 tahun lalu
Ernest Renan berpendapat kekejaman luar biasa di masa lalu menjadi faktor
terpenting dalam terbentuknya bangsa-bangsa di dunia. Semua bangsa mewarisi
aib demikian. Kebanyakan menguburnya hidup-hidup sebagai tabu. Jerman menjadi salah satu
negeri paling sukses membongkar sejarah aib nasional. Segelintir negara lain
(termasuk Afrika Selatan, Australia dan Amerika Serikat) menyatakan
permintaan maaf secara resmi atas kekejaman negara di masa lampau. Permintaan
maaf Raja Belanda ketika berkunjung ke Indonesia (2020) atas kekejaman
kolonial merupakan bagian dari proses panjang yang memanas di Belanda. Berbagai usaha di beberapa
negara itu ditolak sebagian pihak karena dianggap berlebihan. Tapi dianggap
kurang memadai oleh pihak lain. Dibutuhkan usaha maraton beberapa generasi
untuk pemulihan luka-luka bangsa yang diderita semua pihak yang dulu saling
bermusuhan. Kompleksnya setiap
peristiwa konflik besar masa lalu menyulitkan kesepakatan di masa kemudian.
Dalam laporan berita, penulisan sejarah, kampanye politik atau kisah fiksi,
kompleksitas itu tidak tertampung utuh. Bukan hanya karena terbatasnya ruang
atau waktu pembahasan. Tapi tak ada medium bahasa, tekstual, visual, audio
atau pun sinematik yang memadai. Lebih parah jika ada kesengajaan
negara untuk membesar-besarkan bagian tertentu dari masa lampau yang
menguntungkan dan mengabaikan bagian-bagian lain yang dianggap merugikan.
Peristiwa sejarah yang kompleks berwarna-warni dikemas jadi pertentangan
hitam/putih, kita/mereka, salah/benar. Ini yang sering terjadi. Tahun 1946-1949 dikenang
di Belanda semata-mata atau terutama sebagai masa "teror" massa
pribumi. Pembantaian, perkosaan, penjarahan menimpa ribuan warga sipil
berkulih putih dan warga berkulit-coklat yang dianggap dekat Belanda. Ratusan
ribu warga Indo meninggalkan tanah airnya dan telantar di banyak negara
sebagai pengungsi. Juga warga Maluku termasuk leluhur Jim Taihuttu (sutradara
De Oost). Itu aib nasional RI yang pertama, bukan terakhir, setelah merdeka
dan masih menjadi tabu hingga kini. Tanggapan Belanda terhadap
"teror" di Indonesia itu juga "teror" dalam skala lebih
besar yang digambarkan De Oost. Puluhan ribu warga biasa di Indonesia gugur
sebagai korban agresi militer mereka. Itulah aib besar Belanda di mata dunia.
Itu aib Belanda yang paling akhir, bukan satu-satunya, sejak dibentuknya
Hindia Belanda sebagai satu negara utuh dengan harga mati. Di Belanda aib
nasional itu ditabukan selama berpuluh tahun. Setiap bangsa menanggung
aib kekejaman leluhurnya. Tapi umumnya yang diketahui hanya aib bangsa lain.
Bukannya mereka menyangkal atau lupa. Mereka sama sekali tidak tahu-menahu.
Mereka hanya diajar sebagai bangsa yang menjadi korban kekejaman bangsa lain. Film Indonesia bertema
kemerdekaan nasional umumnya menampilkan kepahlawanan orang Indonesia melawan
penjajah, dan kejamnya kaum berkulit putih. Film Belanda bertema kemerdekaan
nasional umumnya menampilkan kepahlawanan rakyat Belanda melawan penjajahan
Nazi. Dari Indonesia dunia sudah
belajar tentang perjuangan menolak kolonialisme, bersemboyan
"kemerdekaan adalah hak setiap bangsa". Dari Belanda kini dunia
menanti (jika ada) hikmah perjuangan mereka mengakui kejahatan bangsa
sendiri, dan mengajar generasi mudanya berdamai dengan aib nasional yang berpuluh
tahun disembunyikan negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar