Anugerah
Sasterawan Negara Malaysia Endi Haryono ; Dekan Fakultas Humaniora, President
University, Cikarang, pernah menjadi dosen tamu di Universitas Utara Malaysia
(UUM), Kedah, tahun 2010-2012 |
KOMPAS, 23 Mei 2021
Malaysia untuk waktu lama
belajar dan meniru Indonesia dalam pengembangan sastra dan penghargaan kepada
para sastrawannya. Saat ini Malaysia jauh melampaui Indonesia dalam soal ini. Sementara penghargaan
sastra di Indonesia tidak lagi prestisius dan menjadi wacana akademik yang
hangat, Malaysia semakin mapan dengan penghargaan sastra dua tahunan,
Anugerah Sasterawan Negara. Kontras yang terjadi pada dua negara dalam hal
penghargaan sastra, tentu saja, berimplikasi pada penghargaan kepada
sastrawannya. Sementara Malaysia
menyadari kekurangannya dalam hal sastra sehingga harus belajar dan
mendatangkan guru-guru dari Indonesia dan kemudian bebenah, Indonesia
sebaliknya tampaknya masih terjebak pada kebanggaan atas kekayaan warisan
budaya dari masa lalu. Karena itu, Indonesia kurang atau bahkan tidak
memikirkan secara serius pengembangan sastra. Sastra seharusnya menjadi pintu
masuk praktis dan berkesan menuju pembangunan kebudayaan dan revolusi mental
untuk manusia Indonesia baru. Sasterawan
Negara Malaysia Anugerah Sasterawan Negara
diberikan oleh Kerajaan Malaysia (pemerintah) kepada penulis atau sastrawan
Malaysia atas karya-karya yang telah ditulisnya. Anugerah ini diberikan rutin
sejak tahun 1981, semacam Nobel Sastra dalam lingkup Malaysia, diberikan
setiap dua tahun. Penghargaan diberikan
berdasarkan kualitas karya-karya sastra yang telah ditulis dan diterbitkan,
berdasarkan penilaian dari Komite Anugerah Sasterawan Negara. Komite ini
dibentuk dan bekerja untuk Kementerian Pengajaran dan Dewan Bahasa Malaysia,
sebagai pelaksana Anugerah Sasterawan Negara. Sama seperti Hadiah Nobel,
penilaian didasarkan pada keseluruhan karya yang dibuat oleh penulis atau
sastrawan, bukan hanya yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir. Selain
menilai kekuatan dari karya-karya yang dihasilkan, karenanya, Komite Anugerah
Sasterawan Negara melihat juga konsistensi penulisnya dalam berkarya. Penerima Anugerah
Sasterawan Negara mendapatkan penghargaan dari negara berupa hadiah utama,
royalti penerbitan ulang karya-karyanya untuk didistribusikan ke
perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum, serta tunjangan hidup bulanan.
Tiga penghargaan ini, ditotal, jumlahnya cukup besar. Sebagai ilustrasi, saya
ambil penghargaan material yang diterima oleh penerima Anugerah Sasterawan
Negara terbaru di tahun 2019, yakni Siti Zainon Ismail (70 tahun). Siti
Zainon adalah penulis dan penyair wanita yang juga adalah seorang dosen
sastra di Malaysia. Selain dikenal di Malaysia, Siti Zainon juga sangat
populer di kalangan penulis dan mahasiswa-mahasiswa sastra-budaya di Aceh,
yang adalah kampung halaman keduanya. Atas anugerah ini, Siti Zainon
mendapatkan hadiah uang total senilai Rp 1,8 miliar. Rincian uang penghargaan
tersebut, sebagai penerima Anugerah Sasterawan Negara Malaysia, Siti Zainon
mendapatkan hadiah uang tunai RM 60.000 atau setara dengan Rp 202 juta yang
diterima pada saat dilangsungkan acara penganugerahan. Selanjutnya, Siti akan
menerima royalti penerbitan dari penerbit negara senilai RM 500.000 atau
setara Rp 1,5 miliar, diberikan bertahap sesuai penerbitannya. Beberapa judul buku karya
penerima Anugerah Sasterawan Negara, dengan seleksi oleh Komite Bacaan
Sastera Sekolah, akan dijadikan bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah menengah
di Malaysia dan karenanya akan dicetak oleh penerbit negara dalam jumlah
banyak. Siti Zainon, sejak dinyatakan sebagai sasterawan negara, menerima
tunjangan hidup bulanan (elaun) sebesar RM 5.000 setara dengan Rp 22 juta
hingga meninggal. Di luar ini, Siti Zainon akan otomatis mendapatkan jaminan
perawatan kesehatan kelas VIP dari negara sepanjang hidupnya. Di Malaysia, sastrawan
adalah ”pemikir bestari” atau ”pujangga” yang memiliki strata sosial tinggi
di masyarakat. Ini, saya kira, bagian dari kelanjutan tradisi Melayu pada
kerajaan-kerajaan Nusantara—termasuk Jawa—yang sangat menghargai para
sastrawan dan pujangganya. Wujud nyata dari penghargaan ini dengan membuat
karya-karya mereka dibaca secara luas, sebagai bacaan wajib di sekolah dan
tersedia di perpustakaan-perpustakaan umum. Cara yang lain dengan
menjaga kehidupan material mereka agar terus berkarya dengan produktif dan
juga mendapat penghargaan dalam pergaulan di masyarakatnya. Bacaan
sastra wajib Terpilih menjadi
Sasterawan Negara Malaysia, selain mendapatkan penghargaan material yang akan
menopang status mereka sebagai pujangga dan penjaga kebudayaan, yang lebih
penting adalah karya-karya mereka akan dibaca oleh para siswa di Malaysia
sebagai bacaan sastra wajib. Satu atau beberapa karya terbaik dari sasterawan
negara akan diambil sebagai bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah Malaysia
pada tingkatan kelas yang ditentukan oleh Kementerian Pengajaran. Malaysia secara konsisten
sejak merdeka memasukkan dalam kurikulum sekolah-sekolah menengah mereka
bacaan sastra wajib untuk semua siswa. Konsisten karena kebijakan ini tidak
pernah diganggu gugat, direvisi atau diotak-atik. Yang berubah adalah
buku-buku sastra yang menjadi materi bacaan sastra wajib tersebut, yang
ditentukan oleh komite dan disesuaikan dengan tingkatan kelas. Selain
meneruskan tradisi Melayu lama bahwa siswa harus membaca karya para pujangga
mereka, Malaysia juga belajar dan meniru pendidikan dasar dan menengah
Indonesia. Lha, di Indonesia kini,
bacaan sastra wajib di sekolah-sekolah menengah justru malah hilang ditelan
semangat ”inovasi” para ahli pendidikan baru dan gegap gempita pembangunan.
Bacaan sastra wajib sangat populer di sekolah-sekolah menengah di Malaysia
dan warga Malaysia membanggakannya. Kegairahan akan karya sastra ini justru
hilang dari Indonesia. Di tahun-tahun awal
setelah merdeka, banyak karya sastra dari penulis Indonesia menjadi materi
bacaan sastra wajib di Malaysia. Hingga tahun 1980-an, Malaysia mengambil
banyak buku karya sastrawan Indonesia (terutama novel) sebagai bacaan wajib
sekolah. Lebih-lebih lagi, hingga tahun ini, Malaysia banyak mengundang guru
dari Indonesia, dan belum melahirkan penulis-penulis sastra sendiri yang
hebat. Sementara, buku-buku karya sastra (Indonesia dan Melayu) adalah bagian
penting dari pengajaran di tingkat sekolah menengah, baik untuk pembangunan
karakter (character building) maupun pembangunan kebangsaan (nation building)
di Malaysia. Penulis-penulis Indonesia,
seperti Idrus, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisajahbana, Marah
Roesli, Utuy Tatang Sontani, dan I Nyoman Pandji Tisna, sangat dikenal di
Malaysia dan karya-karya mereka dibaca. Buku-buku Pramoedya Toer, yang
dilarang di Indonesia sejak tahun 1965, masih tersedia dan menjadi bacaan
sekolah di Malaysia pada tahun 1970-an dan 1980-an. Baru pada akhir 1980-an
karya-karya sastra (novel) Malaysia sendiri banyak diterbitkan, sebagian
karya penerima Anugerah Sasterawan Negara, dan mulai masuk menjadi bacaan
sastra wajib di sekolah. Saat ini, hampir semua kebutuhan buku bacaan sastra
wajib telah dipenuhi oleh karya sastrawan Malaysia sendiri. Karya sastra dari para
sastrawan diambil sebagai bacaan wajib di sekolah dalam rangka turut
membentuk pribadi bangsa Malaysia yang berkualitas. Membaca karya sastra mendiskusikannya
dengan para guru dan siswa lainnya di sekolah memberikan kesan yang mendalam.
Kebijakan ini dijalankan dengan sadar oleh Malaysia sebagai bagian dari
kurikulum sekolah menengahnya dan, yang lebih penting, dilakukan secara
konsisten. Karya sastra (novel)
adalah materi pengajaran bagi siswa sekolah menengah yang mendidik,
memberikan pengajaran, dan sekaligus menghibur sehingga menarik minat siswa
untuk mengikutinya secara berkesan. Malaysia menerapkan ini secara serius dan
konsisten. Membuat penghargaan ASN dan membentuk Komite Bacaan Sastera Wajib
adalah bagian dari ini. Indonesia
tertinggal Penghargaan terhadap karya
sastra dan sastrawan masih sangat kurang di Indonesia saat ini, dan bahkan
tengah mengalami defisit. Paradigma pembangunan Jokowinomics dan slogan
Merdeka Belajar belum menyentuh ranah ini. Skema penghargaan sastra semacam
Anugera Sasterawan Negara di Malaysia tidak ada di Indonesia yang memiliki
banyak penulis dan sastrawan hebat. Hal yang serupa pernah ada di masa lalu,
lenyap tergilas hiruk-pikuk teriakan politisi dan politik proyek yang juga
menyapu sistem pendidikan dasar dan menengah kita. Indonesia memang, kalau
kita jujur, berada jauh di belakang Malaysia dalam hal penghargaan atas karya
sastra. Kita memang masih sangat di depan dalam hal warisan budaya, baik
benda cagar budaya maupun karya-karya seni dan sastra, yang diwariskan nenek
moyang kita. Namun, kita terus mengalami kemunduran dalam hal kebijakan
negara yang mendorong kerja-kerja sastra ini. Hanya karena kita memiliki
banyak orang kreatif yang berdedikasi, maka kita tetap bisa berjaya dalam hal
ini. Indonesia tidak hanya di belakang dibandingkan Malaysia, tetapi juga
menyedihkan. Banyak karya sastra yang
bagus ditulis oleh sastrawan Indonesia di masa lalu dan berlanjut hingga
sekarang, tetapi anak-anak sekolah tidak diajarkan untuk membacanya. Bacaan
sastra wajib dibiarkan hilang dari sekolah-sekolah menengah, sementara
buku-buku sastra yang tersisa dibiarkan rusak dimakan rayap tanpa penerbitan
ulang berkala. Bahkan penerbitan negara, seperti Balai Pustaka, yang dulu
menjadi pelopor penerbitan karya sastra Indonesia, tidak jelas nasib dan
perannya. Buku-buku bacaan sekolah kini justru dijadikan proyek rente
ekonomi, mengabaikan kualitasnya. Indonesia banyak melahirkan
sastrawan besar di masa lalu dan berlanjut hingga sekarang. Kendati demikian,
negara belum memberikan penghargaan layak kepada mereka. Meniru apa yang
Malaysia tiru dari kita tidak ada salahnya untuk dilakukan. Para sastrawan
kita, saya kira, menulis tidak untuk menjadi kaya, tetapi ingin turut
membangun kehalusan budi dan karakter bangsanya. Revolusi Mental untuk
membangun manusia baru Indonesia barangkali tidak memerlukan banyak
hiruk-pikuk seperti sekarang. Menghargai sastra dan sastrawan dengan bacaan
sastra wajib di sekolah seharusnya menjadi pintu masuk untuk ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar