Karikatur
Oom Pasikom 23 Tahun Lalu Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior
Kompas |
KOMPAS, 22 Mei 2021
Harian Kompas, Jumat, 22
Mei 1998, 23 tahun lalu, Oom Pasikom menggambar kartun di halaman empat
harian ini. Berakhirnya Orde Baru jadi latar belakang. Digambarkan, sosok
Presiden BJ Habibie duduk di kursi. Di belakang Habibie ada bayangan hewan
hitam dengan tulisan putih, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pesan karikatur GM Sudarta
masih relevan. Peralihan kekuasaan bulan Mei ditandai dengan kerusuhan sosial
di Jakarta. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998
menyebutkan ”kerusuhan terjadi karena pergumulan elite politik yang bertalian
dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional” dan ”ABRI tidak
cukup bertindak mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung
jawab untuk itu”. Salah satu petisi dari
gerakan reformasi 1998 adalah pengadilan Soeharto dan kroni serta
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengadilan Soeharto tak pernah
bisa digelar. Soeharto unfit to trial karena kondisi kesehatannya. Dua puluh tiga tahun
kemudian, pesan karikatur itu masih pas dengan suasana kebatinan bangsa ini.
Amanat reformasi 1998 soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
melekat pada presiden setelah Habibie, termasuk Presiden Joko Widodo. Gerakan reformasi
melahirkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tap MPR No XI/1998
diperjuangkan dengan pengorbanan mahasiswa. Sejumlah mahasiswa dan rakyat
tewas dalam tragedi berdarah di kawasan Semanggi yang kemudian dikenal
sebagai Tragedi Semanggi. Tap MPR No XI/1998 adalah
amanat bangsa. Dalam Pasal 4 Tap MPR itu disebutkan, ”Upaya pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa
pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya,
maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden”. Tap MPR menjadi tonggak kewajiban
penyelenggara negara mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum
dan sesudah menjabat. Pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara dilakukan
Komisi Pemeriksa yang dibentuk Kepala Negara. Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara kemudian dilebur dalam Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang dikenal sekarang ini. KPK adalah lembaga
perjuangan untuk mewujudkan pemerintahan bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. KPK dirancang masyarakat sipil menjadi lembaga
independen karena lembaga penegak hukum, pada waktu itu, belum bersih. Salah
satu pesan reformasi adalah antikorupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana
digambarkan karikaturis GM Sudarta. Korupsi banyak dipahami.
Korupsi itu memiskinkan. Korupsi bisa menghalangi anak-anak mendapat
pendidikan. Korupsi bisa mengurangi bantuan bagi mereka yang tertimpa
bencana. Korupsi mengosongkan piring mereka yang kelaparan. (Korupsi yang
Memiskinkan, Penerbit Buku Kompas, 2011) Adapun kolusi dimaknai
sebagai permufakatan secara melawan hukum antar-penyelenggara negara dan
pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan/atau negara. Sementara
nepotisme dimaknai sebagai perbuatan penyelenggara negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Semangat kebatinan
reformasi Mei 1998 itu layak direnungkan. Apakah bangsa ini masih setia pada
cita-cita reformasi terwujudnya sebuah pemerintahan yang bersih dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Diksi korupsi, kolusi, dan nepotisme apalagi kalau
disingkat dengan KKN kian membuat kabur pemahaman soal korupsi. Padahal,
korupsi bisa saja ditafsirkan sebagai penggarongan uang negara, kolusi
menjadi persekongkolan mengambil uang negara, dan nepotisme sebagai koncoisme
untuk mendapatkan keuntungan dari kekuasaan. KKN kadang dipelesetkan menjadi
narik kanca-kanca. Di sejumlah negara terjadi
gelombang balik demokrasi. Begitu juga dengan gerakan reformasi antikorupsi.
Gerakan reformasi antikorupsi di Indonesia sedang dalam arus balik. Ketika
demokrasi menjadi transaksional itulah lahan subur terciptanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Eks tim sukses berkumpul
dalam satu kementerian. Semangat narik kanca-kanca yang telah membantu
menggapai kekuasaan juga tampak di sejumlah tempat. Tren jual beli jabatan
sampai ke daerah. Posisi camat dan lurah diperjualbelikan. Penghentian
penyelidikan perkara di KPK bisa dilakukan politisi Senayan. KPK sebagai capaian
reformasi sedang diupayakan untuk lumpuh oleh persekongkolan elite politik.
Mengamputasi KPK sama dengan mengkhianati capaian reformasi dan mengingkari
kehendak bangsa ini yang diwujudkan dalam Ketetapan MPR. DPR sebagai
representasi rakyat memilih bersikap diam. Mungkin anggota DPR lagi
sibuk mengurusi pelat nomor kendaraan khusus bagi ”Yang Terhormat” anggota
parlemen. Hubungan rakyat dan wakilnya kian berjarak. DPR seperti teralienasi
dari rakyatnya. Panggung depan politik
seharusnya lega dengan pernyataan tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden
Donny Gahral Adian yang saya tanya dalam Satu Meja The Forum, Rabu, 19 Mei
2021. Donny mengatakan, ”Presiden Jokowi tidak pernah mundur satu langkah pun
untuk memerangi korupsi di negeri ini. Dan, KPK bukanlah pusara, melainkan
menara pemberantasan korupsi negeri ini.” Semoga panggung belakang
juga sama.... ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar