Tantangan
Pendidikan Bangsa Emil Salim ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia |
KOMPAS, 28 Mei 2021
Di pintu-gerbang
Universitas Afrika Selatan terpampang secara mencolok kata-kata sebagai
berikut. ”Menghancurkan suatu
bangsa tidak perlu pakai bom atom ataupun misil jarak jauh. Cukup hanya
dengan menurunkan kualitas pendidikan dan membiarkan penipuan dalam menguji
para mahasiswa oleh guru besar sehingga pasien meninggal di tangan dokter
medis hasil pendidikan seperti itu. Bangunan gedung roboh di tangan insinyur
seperti itu. Uang pun hilang di tangan ahli ekonomi dan akuntan begituan.
Kemanusiaan sirna di tangan hakim seperti itu”. Robohnya
pendidikan Bila ingin kita menilai
kualitas SDM Indonesia sebagai hasil proses pendidikan di Tanah Air, secara
obyektif sebaiknya kita gunakan penilaian tingkat internasional, seperti
tecermin pada penilaian (1) Program for Internasional Students Assesment
(PISA) yang mencakup 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara yang
menilai ”kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains”. PISA
diselenggarakan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setiap
tiga tahun. Selain itu, Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) sebagai penilai
internasional untuk pengetahuan matematika dan sains bagi siswa kelas 4 dan 8
di seluruh dunia. TIMMS diselenggarakan oleh Asosiasi Internasional untuk
Evaluasi Prestasi Pendidikan untuk pembandingan prestasi pendidikan di dunia
setiap empat tahun dan dimulai sejak 1995. Dalam kedua penilaian,
Indonesia berada di kelompok lima negara terbawah. Jika kualitas pendidikan
Indonesia bermutu rendah dibandingkan negara berkembang lain dan kualitas
kesehatan penduduk Indonesia menderita pukulan yang juga berdampak negatif
pada perkembangan pembangunan, semua ini mengakibatkan merosotnya Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). IPM mencakup: (1) indeks
harapan hidup; (2) mutu pendidikan, dan (3) pendapatan per jiwa penduduk.
Bila dikaji IPM per daerah dan ditelusuri dampaknya pada tingkat Pendapatan
Regional Bruto di daerah-daerah, dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya
kualitas pendidikan di daerah berkorelasi erat dan berdampak buruk pada
tingkat Pendapatan Regional Bruto di provinsi yang rendah. Dengan demikian, akan
sia-sia, tak berkembang proyek pembangunan yang berdiri tersendiri. Misalnya, proyek
pertambangan Freeport tanpa smelter di Papua dan pembangunan jalan raya di
Papua jika diperlakukan sebagai ”pembangunan proyek tunggal” dan tak diikuti
proyek-proyek pengembangan SDM untuk bisa menaikkan nilai tambah. Misalnya,
melalui pengembangan smelter di Freeport. Atau aktif mengembangkan
sentra-sentra pelatihan SDM untuk bisa memanfaatkan sumber daya alam yang
kini terbuka berkat pembangunan jalan raya terbuka di daerah. Pembangunan fisik yang tak
disertai pengembangan SDM, apa lagi di daerah yang sudah diketahui tertinggal
dalam kualitas SDM, tidak akan membangkitkan efek berganda yang diharapkan
dari pembangunan fisik proyek dan prasarana. Karena itu, sangatlah
penting agar usaha menggalakkan investasi, baik dari luar maupun dalam
negeri, disertai kewajiban ”mengembangkan SDM” demi kepentingan keberlanjutan
usaha investor itu sendiri. Pengutamaan pengembangan
SDM dalam pola pembangunan pasca-Covid-19 ini menjadi sangat penting karena
dampak pandemi dengan keharusan kerja “ambil jarak”, ”bekerja dan belajar
dari rumah” telah memperkuat arus ”inteligensi buatan” yang mendorong
teknologi digital dan perkembangan dari ”Industri 2.0 berbasis tenaga
listrik” ke ”Industri 4.0 dan 5.0 berbasis kecerdasan buatan” di
dasawarsa-dasawarsa akan datang. Investasi
di pendidikan Sejak 2020 hingga 2030,
Indonesia memasuki struktur kependudukan yang didominasi generasi muda (15
tahun ke atas). Generasi ini akan menjadi motor penggerak pembangunan pada
tahun-tahun menjelang Indonesia lepas landas 2045. Oleh karena itu, sangatlah
mendesak untuk membuka peluang emas menaikkan kualitas SDM generasi bonus
demografi 2020-2035 ini. Dan, ini perlu dimulai dengan memperbarui sistem
pendidikan kita, terutama dalam matematika, sains, dan teknologi mengatasi
ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang-bidang ini. Genetika manusia Indonesia
tidak lebih rendah dari China dan Singapura yang meraih posisi tertinggi
dalam PISA-2018. Yang diperlukan adalah investasi tenaga guru, mengatas
ketertinggalan kita dalam pendidikan matematika, sains, dan teknologi.
Pemerintah perlu merintis kerja sama dengan Singapura dalam mendidik
tenaga-tenaga pengajar kita secara masif sebagai sokoguru tenaga pengajar
matematika, sains, dan teknologi di Tanah Air. Dengan kerja keras dan
rencana-kerja yang terfokus, Indonesia membangun generasi bonus demografinya
guna meraih Indonesia lepas landas pada 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045
yang akan datang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar