Mengakhiri
Polemik Alih Status Pegawai KPK Aan Eko Widiarto ; Dosen Ilmu
Perundang-undangan FH Universitas Brawijaya |
KOMPAS, 20 Mei 2021
Pesan lugas, ringkas, dan
jelas disampaikan Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri polemik menyangkut
alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil
negara atau ASN. Intinya, hasil tes wawasan
kebangsaan tak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai
KPK yang dinyatakan tidak lolos. Hasil tes itu hendaknya menjadi masukan
untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun
institusi KPK. Pesan, atau secara
substantifnya lebih berupa instruksi Presiden ini, mendasarkan pada
konstitusi yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan
pengujian revisi Undang-Undang KPK. MK memutuskan, proses pengalihan status
pegawai KPK menjadi ASN tak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat
jadi ASN. Standing lembaga negara
Presiden dan MK yang sama ini menjadikan pimpinan KPK ”seharusnya” tak bisa
memilih jalan lain untuk memproses pengalihan status pegawai KPK menjadi
pegawai ASN. Cabang
eksekutif Dalam logika penalaran
hukum yang wajar, seharusnya jawaban yang diberikan adalah ”benar”. KPK
merupakan lembaga negara dalam rumpun cabang kekuasaan eksekutif sebagaimana
tertuang dalam putusan MK No 36/ PUU-XV/2017 dalam perkara Hak Angket DPR
atas KPK. Sebagai cabang kekuasaan
eksekutif, KPK harus tunduk pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan menurut undang-undang dasar (UUD). MK mengecualikan
ketertundukan KPK kepada Presiden terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, selain pelaksanaan tugas dan kewenangan
yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan yudisialnya (penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan). Soal kepegawaian ini soal kewenangan nonyudisial
sehingga tak ada alasan KPK tak tunduk kepada Presiden. Namun, lagi-lagi, apakah
KPK (dalam hal ini pimpinan KPK) akan mengikuti logika penalaran hukum yang
wajar tersebut. Publik telanjur melihat bahwasanya banyak problem
noninstitusional (kalau tidak mau disebut problem individual) di KPK. Koalisi
Masyarakat Antikorupsi merilis rahasia di balik ketidaklulusan 75 pegawai KPK
dalam tes wawasan kebangsaan. Ditengarai ada problem
personal, mulai dari keterlibatan mereka dalam pemeriksaan etik ketua KPK,
pernah menandatangani petisi menolak calon ketua KPK, aksi advokasi agar
Pansel Pimpinan KPK tidak meloloskan calon pemimpin KPK yang tidak
menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), hingga
melakukan aksi damai menolak calon pemimpin KPK pelanggar kode etik. Jika indikasi-indikasi
problem personal itu benar, KPK berada dalam posisi personifikasi. Ini sangat
berbahaya bagi lembaga yang punya kewenangan sangat besar yang bisa
menangkap, menahan, dan menuntut orang, bahkan sampai hukuman mati. Selain itu, lembaga yang
mempunyai otoritas membina ideologi Pancasila (Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila/BPIP) juga sudah berdiri di belakang barisan pimpinan KPK yang
menonaktifkan 75 pegawai KPK. Artinya, secara ideologi keputusan pimpinan KPK
menonaktifkan itu mempunyai legitimasi ideologis. Jadi, apakah pimpinan KPK
masih bersikukuh dengan berkelit bahwa yang dilakukan adalah bukan memecat,
melainkan menonaktifkan dengan meminta menyerahkan tugas dan tanggung
jawabnya? Dalam terminologi bahasa yang itu, sangat mungkin. Pimpinan KPK
hanya menonaktifkan, tidak memberhentikan atau memecat. Pimpinan KPK bisa
berdalih dengan terminologi tersebut. Namun, pesan Presiden tidak bisa
dipenggal atau dilokalisasi dengan kata ”memberhentikan”. Pesan Presiden seharusnya
dibaca utuh dengan menitikberatkan pada jiwa putusan MK, yakni proses
pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai
KPK untuk diangkat menjadi ASN. Intinya tidak boleh
merugikan, ini seharusnya yang sesuai dengan ideologi Pancasila. Bukan
wajarnya orang tidak lolos tes sebagaimana di BPIP. Pegawai KPK bukan job
seeker atau pencari kerja dan mereka bukan fresh graduate. Pegawai KPK sudah
legal bekerja dan diakui secara hukum. Pegawai KPK sudah diangkat menurut UU
No 30 Tahun 2002. Seharusnya demi hukum
langsung beralih menjadi dan tanpa syarat sebagai ASN. Berbeda dengan calon
pegawai BPIP yang statusnya ”calon pegawai” sehingga wajar apabila dites dan
jika tak lulus, maka tak diterima sebagai pegawai di BPIP. Mengakhiri
polemik Saat ini yang penting
dilakukan KPK adalah menjalankan aturan peralihan yang dibuatnya sendiri
melalui Peraturan KPK No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK
Menjadi Pegawai ASN. Sangat jelas tertulis
dalam Pasal 24 huruf a bahwasanya segala kewenangan dan tanggung jawab
jabatan pegawai KPK yang telah diangkat sebelum berlakunya Peraturan KPK No
1/2021 tetap sah dan tetap melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Surat
Keputusan Pimpinan KPK No 652/2021, yang salah satu diktumnya memerintahkan
kepada pegawai yang tidak lolos tes agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab
kepada atasan langsungnya, perlu dicabut. Jangan sampai pegawai KPK
dibebani lagi dengan harus berperkara di PTUN untuk menggugatnya. Pimpinan
KPK harus gentle sebagaimana sikap yang ditunjukkan Presiden untuk berani
mengoreksi keputusannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar