Perikanan
yang Berkeadilan Thomas Nugroho ; Dosen Departemen PSP
FPIK IPB University |
KOMPAS, 19 Mei 2021
Kisah film dokumenter
Seaspiracy (2021) yang kontroversial dan ramai diperbicangankan menceritakan
tentang dua hal penting. Pertama, kerusakan ekosistem laut yang dilakukan
oleh manusia. Kedua, korupsi global pada penangkapan ikan oleh perikanan
komersial. Film ini berusaha
mengungkapkan fenomena perilaku korporasi perikanan transnasional dengan
jaringannya di seluruh dunia yang memainkan peran ganda. Mereka mendorong dan
mengajak menangkap ikan secara ramah lingkungan (sustainable seafood), tetapi
pada saat yang sama melakukan praktik perikanan illegal dan destruktif yang mengancam
masa depan lingkungan laut dan bahkan juga kemanusiaan berupa perbudakan
modern pada industri perikanan. Fenomena dalam film
Seaspiracy ini pun pernah terjadi di Indonesia pada 2015, yaitu terungkapnya
kejahatan perikanan perbudakan di Benjina, Kepulauan Maluku. Kejahatan
perikanan perbudakan ini melibatkan perusahaan perikanan transnasional asal
Thailand yang bermitra dengan perusahaan perikanan di dalam negeri. Praktik ini umum terjadi
dan telah berlangsung lama dalam industri penangkapan ikan namun tak terliput
media. Praktik yang termasuk Illegal, Unreported and Unregulated (IUU)
Fishing ini sangat berdampak pada kondisi sektor perikanan nasional yang tak
kunjung memenuhi harapan publik, yaitu menjadi pendorong utama meningkatkan
perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Penangkapan ikan secara
massif di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak kran investasi dibuka
lebar melalui kebijakan penanaman modal. Tujuan kebijakan ini untuk memacu
pergerakan dunia usaha memaksimalkan perolehan nilai dan manfaat dari potensi
sumberdaya alam yang melimpah untuk meningkatkan pertumbuhan dan mendorong
roda perekonomian nasional di awal orde baru. Perikanan khususnya
penangkapan menjadi salah satu sumberdaya ekstraktif yang potensial untuk
dikapitalisasi selain pertambangan minyak dan kehutanan. Saat terjadi boom
minyak di tahun 1970-an, Indonesia juga mendapat berkah limpahan produksi
hasil perikanan terutama tuna, cakalang dan udang. Eksploitasi sumberdaya
perikanan yang didukung dengan berbagai formulasi kebijakan negara masih
terus berlangsung hingga kini. Namun sayangnya, desain
kebijakan pembangunan perikanan nasional belum mengarah pada pencapaian
kemandirian dan belum bisa keluar dari zona subordinasi kekuatan ekonomi
pasar seafood global yang oligopolistik. Sehingga situasi demikian turut
melanggengkan ketidakadilan dan ketergantungan yang merugikan masa depan
perikanan Indonesia. Dominasi
“the big three” Besarnya kekayaan
sumberdaya alam perikanan yang dimiliki oleh Indonesia tidak dibarengi oleh
keyakinan dan kesungguhan para teknokrat dalam mendesain dan meletakkan dasar
kebijakan yang kokoh untuk menjadikan perikanan sebagai kekuatan yang mampu
menjadi motor utama penggerak perekonomian nasional. Hal demikian diikuti
pula dengan perilaku dunia usaha perikanan yang belum mampu memanfaatkan
keunggulan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumberdaya
perikanan yang sangat besar untuk dapat menjadi pemain utama di pasar global. Korporasi perikanan di
Tanah Air hanya memainkan peran pinggiran yang memperbesar tumbuhnya kekuatan
ekonomi korporasi perikanan skala besar dan transnasional dari negara lain.
Padahal dari hasil perikanan yang diperoleh dan dinikmati oleh korporasi
perikanan di masa orde baru yang nilainya sungguh sangat besar turut
menyokong tumbuhnya kekuatan ekonomi konglomerasi di Tanah Air. Namun potensi dunia usaha
perikanan di tanah air belum mampu hadir menjadi pemain utama dalam industri
seafood dunia. Perkembangan industri perikanan dunia menunjukkan bahwa, pada
beberapa dekade yang lalu hingga kini, kekuatan industri seafood khususnya
pengalengan tuna belum bergeser dari dominasi “the big three”, yaitu
perusahaan-perusahaan seafood raksasa transnasional yang berasal dari
Amerika: Van Camp, Star Kist, dan Bumble Bee; Eropa: French Saupiquet,
Italian Trinity Alimentari, dan Spanish Calvo; serta Asia: Thai Union, dan
Sea Value. Kemunculan Thai Union
sebagai salah satu perusahaan seafood raksasa asal Thailand yang berpengaruh
di pasar produk pengalengan tuna Asia dan juga dunia menggambarkan bahwa
pelaku usaha perikanan Thailand mampu dan sukses memanfaatkan potensi
geopolitik dalam membangun industri seafood di negaranya hingga mendunia.
Dari bisnis seafood, Thai Union mampu meraih penerimaan hingga 3,44 miliar dollar
AS tahun 2014. Bahkan perusahaan ini mampu mengakuisisi Bumble Bee asal
Amerika dengan nilai yang fantastis sebesar 1,5 miliar dollar AS. Sementara industri
pengolahan hasil perikanan di Tanah Air masih tertinggal dan ini kontras
dengan sebutan Indonesia sebagai negara lumbung ikan dunia diantaranya tuna,
cakalang, dan udang. Pelaku usaha perikanan Indonesia belum menjadi pemain
utama dan masih bermain di zona pinggiran yang lebih besar menyuplai
kebutuhan bahan baku industri seafood negara lain seperti Thailand, Cina,
Jepang, Amerika, dan negara-negara di Eropa. Meski Indonesia berada
dipuncak sebagai negara produser hasil laut dari penangkapan nomor tiga di
dunia dengan produksi 6,71 juta ton di bawah Cina 12,68 juta ton dan Peru
7,15 juta ton (FAO, 2020), namun kontribusi Indonesia di pasar ekspor hanya
3,19 persen, tertinggal oleh Thailand yang 4,12 persen, Vietnam 6,25 persen,
dan India 4,97 persen. Ketidakadilan Pembangunan perikanan
masih menyimpan masalah ketidakadilan, ketimpangan, dan ketergantungan. Tata
kelola perikanan nasional yang belum memiliki arah jelas serta kuatnya
dominasi kepentingan pasar seafood dunia menimbulkan ketidakadilan dan
menjadi faktor yang berpengaruh mengapa industri perikanan nasional menjadi
lambat berkembang dan cenderung jalan di tempat. Pembangunan perikanan
dengan ciri sumber dayanya yang dinamis dan lintas batas memerlukan kebijakan
negara yang powerfull, visioner, serta didukung oleh kuatnya kesadaran
nasional bahwa sum berdaya perikanan dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang
besar dan bernilai strategis. Sebab ikan selain menjadi sumber daya yang
diperebutkan sebagai sumber protein dan pangan dunia yang diharapkan tidak
akan punah hingga akhir jaman, juga merepresentasikan kemampuan negara
menjaga kedaulatan teritorial, serta bernilai untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Selama ini orientasi
kebijakan pembangunan perikanan masih sangat kuat mendasarkan pada
kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini dilakukan dengan mengkapitalisasi
potensi sumber daya alam perikanan Indonesia yang besar, serta mengikuti
kekuatan pasar (supply-demand). Namun kebijakan
pembangunan perikanan abai dalam mendistribusikan manfaat secara adil, serta
belum sungguh-sungguh mendorong tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi perikanan
baru yang tangguh dan mandiri. Dengan orientasi kebijakan yang demikian,
sulit akan terjadi perubahan serta lompatan perkembangan industri perikanan
yang signifikan di Indonesia yang mampu mengubah posisi Indonesia dari
pinggiran menjadi pusat industri perikanan dunia. Ketidakadilan perikanan
tergambar dari tak terdistribusinya manfaat dari hasil perikanan yang begitu
besar untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Nilai kontribusi dari hasil
perikanan untuk penerimaan negara sangat kecil ,yaitu Rp 521,94 milyar pada
2019, dan sangat kontras dengan pencapaian produksi seafood dari penangkapan
sebesar 6,71 juta ton yang setara dengan Rp 261,3 trilyun. Nilai produksi
tersebut belum termasuk dari hasil perikanan budidaya ikan 5,43 juta ton, dan
rumput laut 9,32 juta ton (FAO, 2020). Demikian juga kegiatan
perikanan yang menimbulkan bahaya kerusakan sumberdaya dan lingkungan serta
fenomena pelanggaran HAM perikanan berupa kerja paksa dan kekerasan pada anak
buah kapal (ABK) ikan termasuk ABK migran, dan juga pekerja anak masih
terjadi dan luput dari perhatian. Ada sekitar 23.346 nelayan ABK migran
Indonesia yang tersebar di kapal-kapal ikan Jepang, Korea, Malaysia, dan
Taiwan yang rentan mengalami praktik pelanggaran HAM, dan belum mendapat
jaminan perlindungan dan keselamatan. Struktur penguasaan modal
dan kepemilikan kapal ikan serta sebaran kapal di wilayah pengelolaan
perikanan masih timpang. Kepemilikan kapal dengan tonase di atas 30-60 GT
masih didominasi oleh kepemilikan privat dan korporasi, sedangkan distribusi
kapal ikan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Struktur perikanan yang
timpang ini belum mengalami perubahan sejak dua dekade lalu. Peran koperasi
dan usaha mikro kecil menengah belum maksimal dan seimbang dengan pelaku
usaha perikanan korporasi skala besar. Selain itu, orientasi
pembangunan perikanan masih mengandalkan pada keunggulan komparatif dan belum
beralih memanfaatkan dan memaksimalkan keunggulan kompetitif. Pembangunan
perikanan digerakkan mencapai tingkat pertumbuhan produksi perikanan yang
diarahkan untuk memenuhi permintaan bahan baku pada industri perikanan dunia. Hal ini tercermin pada
komposisi ekspor produk perikanan Indonesia yang didominasi oleh produk raw
material dalam bentuk segar dan beku. Dunia usaha perikanan belum dapat
keluar dari ketergantungan dan pengaruh pasar seafood dunia yang
terkonsentrasi pada kekuatan korporasi transnasional tertentu yang dominan,
dan belum beralih menciptakan dan menumbuhkan kekuatan pasar alternative baik
di dalam negeri maupun di luar negeri melalui diplomasi perdagangan kerja
sama antar negara dan kawasan. Tanpa adanya reformasi
kebijakan perikanan yang mendasar dan struktural, akan sulit mengatasi
permasalahan di atas dan keluar dari jebakan dan cengkeraman kekuatan pasar
seafood dunia yang cenderung eksploitatif dan menguntungkan kepentingan
perusahaan-perusahaan perikanan raksasa transnasional. Hal ini tentu akan
memperparah situasi ketidakadilan perikanan yang mengakibatkan ketimpangan,
dan ketergantungan serta terjadinya krisis ekologi dan kemanusiaan seperti
dalam kisah film dokumenter Seaspiracy. Rekomendasi Berbagai permasalahan
pembangunan di atas membutuhkan peran pemerintah sebagai representasi negara
untuk dapat mengoreksi kegagalan pasar dan mengarahkan pemanfaatan dan
pengelolaan potensi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama secara
berkeadilan. Paradigma pembangunan berkelanjutan yang melahirkan konsep
perikanan bertanggungjawab dan menjadi kerangka kebijakan pembangunan
perikanan akan mengalami delegitimasi ketika tak mampu menghadirkan keadilan
perikanan. Pembangunan perikanan seharusnya diarahkan sesuai dengan amanat
konstitusi yang menjamin distribusi manfaat, partisipasi dan tanggung jawab
dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan. Berbagai langkah perbaikan
diupayakan untuk mengatasi problem ketidakadilan melalui serangkaian agenda
penting reformasi pembangunan perikanan, yaitu antara lain pertama memperkuat
kebijakan yang dapat meningkatkan penerimaan negara dari pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam perikanan sedikitnya 10 persen dari nilai
produksi ikan yang saat ini diperoleh yaitu sekitar Rp 3 triliun. Kedua,
mempertegas penegakan hukum (law enforcement) untuk meningkatkan kepatuhan,
ketaatan, serta tanggung jawab masyarakat termasuk pelaku usaha pada
pelestarian sumber daya perikanan, dan perlindungan terhadap kemanusiaan. Ketiga, mendistribusikan
kepemilikan modal untuk menghindari terjadinya konsentrasi kapital dengan
mendorong serta memperkuat peran BUMN, koperasi dan usaha mikro kecil
menengah perikanan untuk mengoreksi struktur kepemilikan kapal ikan yang
timpang. Upaya yang dapat dilakukan adalah mereformasi kepemilikan kapal ikan
yaitu kapal ikan tidak untuk dimiliki secara perorangan tetapi bersifat
kolektif, yaitu koperasi atau korporasi, namun lebih diutamakan koperasi.
Reformasi kepemilikan kapal ini untuk menjamin terjadinya distribusi manfaat
atas hasil perikanan yang diperoleh serta menjamin akuntabilitas. Keempat, menciptakan
alternatif pasar baru di dalam dan luar negeri. Mengingat potensi pasar di
dalam negeri sangat besar dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah
mendekati angka setengah miliar dan angka konsumsi ikan per kapita masyarakat
yang terus meningkat. Penciptaan pasar di luar
negeri dilakukan dengan meningkatkan dan memperkuat diplomasi dalam
forum-forum yang menentukan kebijakan pengelolaan perikanan di tingkat
kawasan/regional, serta negosiasi dan kerja sama perdagangan pada tingkat
bilateral dan multilateral. Berbagai langkah terobosan perlu ditempuh untuk
dapat memperluas akses perdagangan dan menciptakan kemandirian untuk tidak
bergantung pada kekuatan pasar seafood dunia yang terkonsentrasi dan
terintegrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar