Kebangkitan
Makanan Tradisional Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap Ilmu Pangan
Unika Santo Thomas, Medan; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional
Kementerian Pertanian |
KOMPAS, 30 Mei 2021
Presiden Joko Widodo saat
meresmikan Hari Bangga Buatan Indonesia awal Mei 2021 mengajak warga untuk
bangga menggunakan produk lokal. Masyarakat yang rindu makanan tradisional,
seperti gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomai Bandung, empek-empek Palembang,
bipang ambawang dari Kalimantan, dan lain-lain, tinggal pesan secara daring. Tulisan ini tidak hendak
membahas pro dan kontra penyebutan bipang ambawang dalam pidato Presiden.
Tulisan ini mau meneropong makna di balik ajakan bangga produk lokal dalam
konteks secara keseluruhan, yakni membangkitkan makanan tradisional Nusantara
tidak saja untuk penguatan pilar perekonomian kerakyatan, tetapi juga
mengatrol indeks kesehatan warga. Makanan tradisional yang
dikemas dalam industri kuliner Nusantara dapat dipastikan akan kembali
menggelora dan menggeliat setelah ajakan Presiden. Masyarakat tak ragu lagi
untuk menikmati makanan ”kampung” yang selama ini diserbu beragam makanan
asing. Kebangkitannya menjadi sebuah penunjuk arah yang baik untuk kembali menemukan
jati diri bangsa setelah industri kuliner dimasukkan sebagai subsektor
industri kreatif sejak 2012 seiring dengan lahirnya Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif. Ingredien
fungsional Indonesia dilimpahi
berbagai jenis dan ragam makanan tradisional yang aroma dan rasanya khas
rempah lokal. Keberagaman rempah Indonesia itu menyusup masuk dalam berbagai
menu kuliner eksotis yang indah dipandang mata sekaligus lezat dicecap lidah. Eksotika rempah Indonesia
tidak saja memadukan rasa dan aroma makanan tradisional yang khas, tetapi
mengeksplorasi ingredien fungsional di dalamnya untuk berpindah dan
bersemayam ke dalam tubuh sekaligus membuat raga menjadi prima dan lebih
sehat. Kerinduan pun menggumpal untuk mencicipi berulang kali tanpa rasa bosan
pada menu Nusantara beraura perdesaan. Kebutuhan makanan yang
mampu memperbaiki kesehatan menjadi ruang yang diisi oleh beragam makanan
tradisional. Sesungguhnya fenomena kebangkitannya bukan gaya hidup baru di
tengah masyarakat modern. Dalam suatu prasasti kuno Hippocrates, bapak ilmu
kedokteran yang hidup pada 460- 370 SM, dinyatakan, let your food be your
medicine and medicine be your food. Pesan ini menjadi landasan menjalani gaya
hidup sehat dengan memperbanyak mengonsumsi makanan yang sarat antioksidan
untuk meningkatkan imunitas tubuh. Di tengah kemajuan ilmu
dan teknologi pangan, makanan tradisional bisa dikembangkan menjadi makanan
fungsional. Dalam fungsinya sebagai pendongkrak imunitas, makanan fungsional
masuk kategori foods for specific health uses (FOSHU) sebab mengandung
ingredien fungsional, seperti senyawa bioaktif, antioksidan, dan serat
pangan. Para ahli gizi
merekomendasikan makanan fungsional untuk memulihkan stres oksidatif saat
terjadi bencana. Ia tidak sekadar mengenyangkan perut dan pemuas rasa di
mulut, tetapi memberi perlindungan dari gempuran radikal bebas yang
mengganggu kesehatan. Sekadar menyebut contoh,
mengonsumsi makanan tradisional produk fermentasi susu dengan jus buah tomat
dilaporkan dapat memperbaiki profil kandungan likopen sebagai antioksidan
kuat untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Ia mampu mencegah stres karena
beban kerja yang tinggi. Saat ini tidak tertutup
kemungkinan masyarakat mengalami stres oksidatif akibat masih tingginya angka
kasus baru Covid-19 yang menguras daya tahan tubuh. Para ahli kesehatan jiwa
menyebut stres oksidatif menyebabkan seseorang lebih mudah terserang demam
dan influenza. Sistem imunitas
membutuhkan keseimbangan gizi untuk melawan gempuran penyakit yang datang
dari luar. Tubuh harus mendapat asupan makanan yang kaya vitamin antioksidan
dan sejumlah senyawa bioaktif lainnya. Berit Reiss-Andersen, Ketua Komite
Nobel Norwegia, saat penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian 2020 kepada
Program Pangan Dunia (WFP) menyebut, selama belum terdistribusi secara merata
vaksin medis, makanan adalah vaksin terbaik mencegah Covid-19. Pernyataan Berit
Reiss-Andersen memiliki alasan ilmiah kuat. Dalam penelitiannya bertajuk ”The
Immune System: A Target for Functional Foods” yang dipublikasi di British Journal
of Nutrition, Calder dan Kew (2002) menyebut kekurangan zat gizi dapat
menyebabkan gangguan imunitas. Zat gizi makro, seperti protein, asam lemak
linoleat, dan palmitat, serta zat gizi mikro, seperti vitamin dan mineral
tertentu, sangat dibutuhkan agar sistem imunitas berfungsi dengan baik. Jika
terjadi defisiensi pada satu atau lebih zat gizi tersebut, sangat berpengaruh
terhadap imunitas. Industri
pangan Indonesia mempunyai
tradisi kuat mengenai makanan fungsional. Masyarakat mengenal jamu dari ramuan
bahan baku rempah lokal yang diseduh dan diminum sebagai upaya meningkatkan
daya tahan tubuh. Konon, ramuan ini merupakan salah satu faktor yang membuat
angka kasus baru Covid-19 di India sempat menurun tajam pada September 2020
hingga Februari 2021. Pengembangan makanan
tradisional ke arah produk pangan fungsional menjadi tantangan menarik ke
depan. Pelaku industri pangan sangat diharapkan mengambil peran untuk
memanfaatkan pangan lokal sebagai sumber bahan baku. Penelitian yang
mengelaborasi pemulihan stres oksidatif dengan mengonsumsi makanan
tradisional yang sarat kandungan antioksidan telah banyak dilakukan. Fungsi
rempah, misalnya, bukan sebatas menimbulkan rasa dan aroma sedap pada makanan
tradisional, tetapi dapat memperbaiki sistem metabolisme tubuh dan sumber
antibiotik yang ampuh. Kemampuan makanan
tradisional untuk meningkatkan status antioksidan telah diyakini dapat
memperkuat imunitas yang pada akhirnya tubuh terhindar dari beragam penyakit.
Penelitian terbaru yang dilakukan Shintaro Onishi, dkk (2020) bertajuk ”Green
Tea Catechins Adsorbed on the Murine Pharyngeal Mucosa Reduce Influenza A
Virus Infection” yang dimuat dalam Journal of Functional Foods menyebut bahwa
antioksidan katekin pada teh hijau dapat mengurangi insiden influenza pada
manusia. Belum diketahui mekanisme
senyawa bioaktif dalam teh hijau sebagai antivirus. Namun, diduga katekin
yang dikenal sebagai antioksidan yang kuat dapat mencegah reaksi berantai
radikal bebas yang menghambat infeksi virus influenza A dan menginduksi
aglutinasi virus dalam sel serta memperkuat imunitas. Pandemi Covid-19 menjadi
blessing in disguise yang membuka peluang pengembangan makanan tradisional
Nusantara yang sarat ingredien fungsional ke arah produk pangan baru.
Kebutuhannya diyakini semakin tinggi seiring dengan menuanya populasi,
perubahan gaya hidup yang menuntut pangan natural, dan kesadaran pentingnya
pencegahan penyakit akibat virus. Sektor industri kuliner makanan tradisional
menjadi gerbong penarik ekonomi kerakyatan. Indonesia ke depan menjadi
surga ingredien fungsional yang berasal dari makanan tradisional Nusantara.
Bahan baku yang melimpah, seperti berbagai jenis rempah lokal, minyak sawit,
cokelat, produk teh, susu fermentatif bagot ni horbo dari Toba, dan tempe,
menjadi amunisi kebangkitan makanan tradisional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar