Tabiat
Politik Kekuasaan Biyanto ; Guru Besar UIN
Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur |
KOMPAS, 26 Mei 2021
Panggung politik nasional
selalu menghadirkan kejutan. Di antara kejutan yang terjadi setiap jelang
pemilu adalah drama perebutan kepemimpinan di sejumlah partai politik. Selain
itu, juga ada pendirian partai baru oleh elite politik berwajah lama. Para
pemain lama itu mendirikan partai baru sebagai kendaraan berpolitik. Mereka
keluar dari partai lama yang telah membesarkan namanya, kemudian beralih ke
partai baru. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa tabiat politik kekuasaan memang cenderung berpecah dan
memecah. Semua akrobat elite politik tampaknya harus dipahami dalam konteks
persiapan menghadapi Pemilu 2024. Dinamika politik nasional
yang diwarnai intrik dan perilaku nir-etika dari antar-elite partai semakin
menunjukkan bahwa negeri ini terlampau banyak melahirkan politisi dan defisit
negarawan. Terkait kondisi ini, jurnalis senior Saur Hutabarat pernah
mengatakan, ”Setelah Bung Hatta, tiada lagi negarawan. Bangsa ini juga telah
kehilangan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.” Kegalauan senada
dikemukakan Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii). Buya Syafii menyatakan bangsa
ini semakin banyak melahirkan politisi, tetapi miskin negarawan. Untuk membedakan politisi
dan negarawan dapat dipahami dari pernyataan James Freeman Clarke
(1810-1888). Teolog Amerika Serikat ini pernah berkata, ”The difference
between a politician and a statesman is that a politician thinks about the
next election while the statesman thinks about the next generation”
(Perbedaan politikus dan negarawan adalah bahwa politikus berpikir tentang
pemilu berikutnya, sementara negarawan memikirkan generasi masa depan). Politisi dengan syahwat
politik tinggi selalu berpikir cara meraih kekuasaan dan mempertahankannya
selama mungkin. Bahkan, saat dirinya baru dilantik sekalipun, yang dipikirkan
adalah strategi untuk mempertahankan kekuasaan pada pemilu berikutnya. Bagi
mereka, soal etika berpolitik sementara waktu harus diabaikan karena yang
lebih penting adalah memenangi perebutan kekuasaan. Itulah sebabnya politik
selalu didefinisikan sebagai who gets what, when, how (siapa mendapatkan apa,
kapan, dan bagaimana). Doktrin politik juga
mengajarkan tidak ada teman dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan
abadi. Bahkan, ada politisi yang berseloroh, ”Perbedaan pendapat itu biasa
terjadi. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.” Karakter ini
menjadikan politik dan partai akrab dengan budaya berpecah. Perpecahan
merupakan hal yang lumrah terjadi dalam dunia politik dan kepartaian. Apalagi
jika politisinya telah kehilangan ideologi yang menjadi dasar nilai perjuangan
dalam berpolitik. Narasi ideologi yang
biasanya ideal akan ditransaksikan dengan kepentingan pragmatis untuk meraih
kekuasaan. Itu karena tabiat kekuasaan memang selalu menghadirkan godaan.
Elite politik yang tahan menghadapi godaan pasti akan selamat. Sebaliknya,
mereka yang tidak tahan godaan pasti akan tergelincir. Terkait dengan
kerinduan negeri ini untuk melahirkan negarawan, kita penting merenungkan
pandangan bapak sejarah modern, Ibn Khaldun (1332-1406). Dalam karya monumentalnya,
The Muqaddimah an Introduction to History (1989), Ibn Khaldun mengingatkan
bahwa kekuasaan itu jika tidak dijalankan dengan amanah pasti akan membawa
kerusakan. Ibn Khaldun juga mengatakan bahwa tabiat politik kekuasaan selalu
menghendaki berada di satu tangan (the royal authority, by its very nature,
must claim all glory for itself). Itulah sebabnya banyak elite politik yang
asalnya menunjukkan kebersamaan selama proses pencalonan, tetapi kemudian
berpisah justru ketika memenangi pertarungan politik kekuasaan. Mereka seakan tidak rela
berbagi kekuasaan dengan pasangan atau pengusungnya. Penguasa umumnya juga
tidak rela jika kekuasaan yang diraih dengan berdarah-darah harus berpindah
tangan. Jika terpaksa harus berpindah tangan, diusahakan agar pemegang
kekuasaan berikutnya adalah orang-orang yang masih berhubungan darah atau
memiliki kekerabatan dengan dirinya. Pada kontes inilah lahir budaya politik
dinasti yang berakar kuat di negeri tercinta. Momentum pemilihan kepala
daerah dan anggota legislatif menunjukkan betapa kuat budaya politik dinasti.
Bahkan, terjadi di suatu daerah, kepala daerah dan ketua DPRD berasal dari
satu keluarga. Dalam kondisi budaya politik tersebut, rasanya checks and
balances sangat sulit terwujud. Selanjutnya, Ibn Khaldun mengingatkan bahwa tabiat
politik kekuasaan juga selalu menghendaki kemewahan (the royal authority, by
its very nature, requires luxury). Padahal, kemewahan pada saatnya akan
merusak akhlak para pemegang kekuasaan. Peringatan senada pernah
dikemukakan Lord Acton (1834-1902) tatkala menulis surat pada Bishop Mandell
Creighten (1843-1901). Dalam surat itu Acton menulis ungkapan yang hingga
kini masih sangat popular, yakni: ”Power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely” (Orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya
dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan
menyalahgunakannya). Peringatan Ibn Khaldun dan
Acton terasa sangat penting menjadi refleksi bagi pemegang politik kekuasaan
di negeri tercinta agar berhati-hati menunaikan amanah bangsa. Jika elite
politik tidak berhati-hati menjaga amanah kekuasaan, dampaknya negeri ini
akan semakin terperosok. Bahkan, terlintas dalam bayangan, negeri ini menjadi
negara gagal (failed state). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar