Posisi
Ilmu Sosial Humaniora dalam BRIN Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan anggota Akademi Ilmuwan Muda
Indonesia (ALMI) |
KOMPAS, 22 Mei 2021
Pada 28 April 2021,
Presiden Jokowi melantik LT Handoko sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN), menggantikan Bambang Brodjonegoro yang sebelumnya menjabat
Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala BRIN. Keberadaan BRIN sendiri dimulai
sejak dikeluarkannya Keppres No 113/P Tahun 2019 yang berisi tentang
pembentukan kementerian negara dan pengangkatan menteri negara dalam kabinet
Indonesia Maju periode tahun 2019-2024. Menurut Perpres No 33
Tahun 2021 tentang BRIN yang diundangkan 28 April 2021, lembaga ini “lembaga
pemerintah yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan
penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi”. Sebelum dan sesudah
pelantikan Kepala BRIN, terdapat perdebatan terkait Dewan Pengarah yang
“secara ex-officio berasal dari unsur Dewan Pengarah badan yang
menyelenggarakan pembinaan ideologi Pancasila”. Selain terkait Dewan
Pengarah, isu yang sering diperbincangkan adalah transisi dan konsolidasi
yang mungkin memakan waktu lama, peran Pancasila dan riset dan inovasi,
mekanisme peleburan atau penggabungan badan dan lembaga riset pemerintah,
termasuk di berbagai kementerian, ke BRIN, juga pembagian peran ristek yang
kini digabung ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan peran ristek di
BRIN. Tulisan ini hendak
mendiskusikan satu persoalan yang kurang dibahas mendalam di media massa,
yaitu peran riset dan inovasi dalam kaitan dengan keindonesiaan, kebangsaan,
identitas nasional, serta karakter dan jati diri kita sebagai bangsa yang
bineka. Ini penting karena ketika bicara riset dan inovasi, pikiran sebagian
orang sering lebih tertuju ke ilmu eksakta (hard-sciences) dan lupa ilmu
sosial dan humaniora (soshum). Keindonesiaan
dan jati diri manusia Dalam buku Sains45: Agenda
Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan (2016) yang
ditulis para anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan diterbitkan
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), persoalan soshum jadi bab pertama
dan terakhir dari delapan bab. Mengapa? Karena ia
berkaitan dengan jati diri kita sebagai bangsa, eksistensi negara di tengah
tatanan dunia yang berubah, dan masa depan kemanusiaan dalam revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Tentu saja disiplin ilmu lain
atau ilmuwan dalam disiplin ilmu lain ikut membahas dan menyinggung persoalan
kebangsaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan, tapi mereka tak menjadikan ini
sebagai inti kajian akademiknya. Sehingga, kalau hendak
membahas kaitan BRIN dengan ideologi bangsa, Pancasila, dan keindonesiaan,
letaknya hanya dalam kedeputian ilmu soshum atau dalam nomenklatur Perpres No
33 Tahun 2021 disebut “Deputi Bidang Ekonomi, Hukum, Politik, Pertahanan,
Sosial, Budaya, dan Humaniora”. Seperti ditulis dalam
Sains45, ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh hard-sciences
dan menuntut kehadiran ilmu soshum, seperti: apa yang menjadikan Indonesia
“Indonesia”? Adakah cara untuk
memaksimalkan manfaat pluralitas budaya untuk kekuatan nasional dan
meminimalkan potensi konfliknya? Adakah pola kebijakan sosial yang dapat
diterapkan secara efektif untuk memanfaatkan keragaman dalam membangun kohesi
sosial, serta meningkatkan produktivitas dan kemakmuran bangsa Indonesia? Pertanyaan lain yang bisa
disarikan dari Sains45 adalah: Bagaimana Indonesia bisa mempertahankan
nasionalismenya di era transnasionalisme dan konsep kewarganegaraan dunia
yang berubah ini? Nasionalisme seperti apa yang diharapkan pada tahun 2045?
Apa yang membuat kita tetap menjadi bangsa yang satu dari Sabang sampai Merauke
di tengah hantaman persoalan lokal dan global? Terkait kemanusiaan dan
perkembangan teknologi, bagaimana kira-kira teknologi akan membentuk ulang
kemanusiaan? Hubungan kemanusiaan seperti apa yang akan kita temui di ujung
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini? Bagaimana Indonesia
menghadapi arsitektur sains yang berubah? Bagaimana kita memiliki sistem
pendidikan yang bisa membangun toleransi dan rasa kemanusiaan? Dan setumpuk
pertanyaan sosial dan kemanusiaan lainnya. Sekarang, hendak dibawa kemana
ilmu pengetahuan di Indonesia itu ketika dikaitkan dengan ideologi bangsa,
keindonesiaan, dan kemanusiaan? Apakah ilmu pengetahuan itu lantas tak bebas
nilai, sebuah prinsip yang sering menjadi pegangan para ilmuwan? Apa yang disampaikan
Kepala BRIN saat menjawab persoalan ini sepertinya masih menyisakan banyak
tanda tanya. Ia mengambil contoh teknologi kloning manusia dan bom nuklir
yang dinilai bertentangan dengan etika kita sebagai bangsa atau umat
beragama. Barangkali, jika ia
merujuk ke bab 1 (Identitas, Keragaman, dan Budaya) dan bab 8 (Ekonomi,
Masyarakat, dan Tata Kelola) dari buku Sains45, maka akan terasa lebih
relevan. Meski keterkaitan ilmu
pengetahuan, terutama soshum, dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan tak
bisa dinafikan, namun seperti apa dan sejauh mana persoalan kebangsaan dan
kemanusiaan itu masuk dalam riset dan inovasi? Bagaimana mekanismenya? Pertanyaan ini akan
membawa kita kepada peristiwa masa lalu di negeri ini, yaitu: “polemik
kebudayaan” dan perselisihan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan
Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sutan Takdir Alisjahbana
(STA) dengan Poedjangga Baroe-nya mengusulkan agar kita mengadopsi budaya
Barat sebagai cara mengatasi stagnasi kebudayaan dan kesusastraan kita. “Kita
buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru,”
tulisnya. Pandangan STA itu lantas
mendapat tanggapan dari Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hajar Dewantara,
Poerbatjaraka, dan lainnya. Pane, misalnya, memandang Barat secara negatif
dan bangsa ini perlu menjaga nilai Timur yang adiluhung. Tentu saja perdebatan
kebudayaan yang sangat berkelindan dengan politik adalah antara Lekra dan
Manikebu. Manikebu, dengan tokoh semisal Goenawan Mohamad dan Taufik Ismail,
memandang seni dan budaya secara murni: seni untuk seni dan harus bebas dari
ideologi atau politik. Kelompok ini sempat
dilarang pemerintah Orde Lama karena dianggap tak mendukung revolusi.
Sementara Lekra memandang seni dan budaya penting untuk mendukung revolusi
atau ideologi tertentu. Salah satu tokoh terkenal kelompok ini adalah
Pramoedya Ananta Toer. China adalah contoh negara di mana ilmu pengetahuan
menjadi alat dari ideologi atau politik tertentu. Chinese Academy of Social
Sciences (CASS), sebagai think tank ilmu-ilmu sosial negeri tirai bambu itu,
menjalan visi dan misi negara yang dikontrol oleh partai tunggal, Partai
Komunis. Indonesia tentu saja
bukanlah China dan negara ini tidak mengenal partai tunggal. Namun ada
kekhawatiran, jika politik masuk dalam ilmu pengetahuan dan budaya maka bisa
saja politik itu menggunakan ilmu pengetahuan dan budaya hanya untuk
menyebarkan atau memaksakan ideologinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar