Semangat
Waisak Gunakan Hati Berbuat Kebajikan Iwan Setiawan ; Pandita Buddha |
KOMPAS, 26 Mei 2021
Situasi akhir-akhir ini
oleh kebanyakan orang bisa jadi disimpulkan sebagai situasi yang tidak
mengenakkan karena penuh ketidakpastian, mengundang cemas yang berujung pada
penderitaan. Bagaimana tidak, pandemi belum juga usai, di sejumlah tempat
seperti India malah makin menjadi. Namun, di tengah situasi
ini pun, tingkat kejahatan malah tidak mereda. Bagai tidak terpengaruh
pandemi, berbagai perilaku kejahatan malah memanfaatkan kesulitan yang ada
untuk kepentingan pribadi semata. Dari perilaku korupsi bantuan sosial oleh
oknum pemerintah, penggandaan uang yang berujung penipuan, hingga berbagai
aksi kejahatan lain yang rupa-rupa bentuknya. Banyak pengamat ilmu
sosial menyalahkan buruknya situasi perekonomian seseorang jadi salah satu
akar persoalan. Sepertinya, ”jika ekonomi susah, maka jadi wajar jika saya
korupsi”. Tingginya tingkat korupsi, bahkan aksi terorisme hingga kriminal
lain, seperti pencurian, penipuan dengan aneka modus, menjadi wajar terjadi
karena tingkat ekonomi yang makin buruk. Padahal, kalau kita mampu
melihat dengan jernih dan mengacu pada ajaran Buddha, tentu tidak melulu
demikian. Perilaku kejahatan, apa pun bentuknya, adalah kekalahan diri
sendiri dalam melawan tiga akar kejahatan yang disebut sebagai keserakahan
(loba), kebodohan (moha), dan kebencian (dosa) yang sebetulnya juga bersarang
pada diri sendiri. Bagaimana melawannya dan apa sih bentuk dari loba, dosa,
moha ini? Hal ini menjadi penting
dan tepat untuk kita renungkan, hayati, dan dijadikan landasan yang kuat
untuk menghidupinya dalam pelaksanaan ajaran Buddha dalam keseharian. Dengan
demikian, perayaan Trisuci Waisak tidak sekadar pelaksanaan rutinitas tahunan
yang melulu ritual belaka sehingga malah hilang dalam sesaat dan tanpa arti
yang membekas. Trisuci Waisak adalah
perayaan untuk memperingati kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna, dan
meninggalnya sang Buddha. Sang Buddha dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta
dari kerajaan Kapilavasthu. Singkat cerita, karena pengalamannya bertemu
dengan adegan kelahiran bayi, menjadi tua, sakit, dan meninggal mendorong
dirinya untuk jadi petapa. Beliau bertanya-tanya mengapa manusia harus
melewati tahap lahir, tua, sakit, hingga kemudian mati? Apakah yang
sebetulnya tujuan manusia dilahirkan jika kelak toh akan mati? Beliau keluar dari istana,
menanggalkan seluruh kemewahan yang melekat pada dirinya dengan menjadi
seorang petapa yang mencari jawab terhadap misteri kehidupan yang ia temui
tersebut. Sepanjang lebih dari enam tahun, beliau mempelajari banyak kitab,
berkelana, bertapa, termasuk menyiksa diri dengan menahan makan dan minum.
Pada usia 35 tahun beliau mencapai kesadaran di bawah pohon Bodhi. Dari sekian banyak ajaran
yang beliau babarkan, salah satunya adalah terkait konsep maitri karuna.
Sebuah konsep ajaran untuk mencapai bahagia, yaitu dengan mencabut
penderitaan orang lain dengan mewujudkan kebahagiaan. Secara sederhana,
diartikan untuk memikirkan kebahagiaan orang lain sebagai wujud bahagia diri
sendiri. Hal ini, jika dijalani berbagai kalangan, dalam berbagai praktik
yang dihadapi dalam keseharian, dipercaya dapat menikmati kebahagiaan yang
sesungguhnya. Seperti seorang guru yang
menjadikan kemajuan murid sebagai tujuan utama atau dokter yang menempatkan
kepentingan pasien dan kesehatan dibanding yang lain hingga pengusaha yang
senantiasa memikirkan layanan terbaik untuk konsumen ketimbang melulu mengumpulkan
keuntungan untuk pribadi semata. Dan, masih banyak lagi. Mengungkit hal ini menjadi
senapas dengan tema Waisak nasional yang diangkat oleh Perwalian Umat Buddha
di Indonesia (Walubi), yaitu ”Waisak Membangkitkan Semangat Persatuan untuk Indonesia
Maju” dengan subtema ”Dengan Semangat Waisak Gunakan Hati Berbuat Kebajikan”. Tema ini mengajak
sekaligus sama-sama mengingatkan kita semua untuk bersatu, melaksanakan
maitri karuna demi kemajuan Indonesia. Siapa pun kita, rakyat jelata atau pejabat
pemerintah, profesional aneka profesi, semuanya untuk merawat, menggunakan
hati untuk berbuat kebajikan. Hal ini termasuk menjawab misteri pertanyaan
yang dicari jawab oleh sang Buddha. Seluruh kehidupan manusia pada akhirnya
sejak lahir untuk kemudian mati hingga kembali lahir adalah untuk menjadi
pelaksana maitri karuna. Tidak mudah dan senaif itu
tentunya. Sebab, pada keseharian, kita akan senantiasa bertemu dengan
berbagai hal yang memancing munculnya dosa (kebencian), loba (keserakahan),
dan moha (kebodohan) dari hati setiap manusia. Ketika kita terpancing,
muncullah kejahatan itu. Namun, Waisak ini justru
mengajak kita untuk mengasah hati untuk senantiasa menghasilkan kebajikan.
Bahwa yang membahagiakan pada akhirnya bukan setumpuk harta atau popularitas
yang luas, tetapi kebajikan yang kita buat untuk orang lain. Sebagai murid
sang Buddha, kita sewajarnya percaya dan melaksanakan ajarannya, dalam
kehidupan sehari-hari, mulai dari keluarga di rumah, saat melaksanakan
aktivitas keseharian, bahkan saat menjelang mati sekalipun. Kesulitan, seperti
sulitnya keadaan ekonomi, badan yang sakit, atau tubuh yang menjadi renta
karena tua, bisa jadi alasan kita untuk tergoda pada aksi kejahatan. Namun,
sang Buddha justru mengajarkan hal itu tidak akan membawa dan menjadikan kita
bahagia. Yang ada malah jatuh pada dunia neraka yang tak terputus.
Pertarungan sesungguhnya adalah bagaimana kita melawan diri sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar