Di
Kalasan, Waktu Buku Berhenti Anas Syahrul Alimi ; Ketua Bidang Pengembangan dan
Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI); CEO Prambanan Jazz
Festival |
KOMPAS, 22 Mei 2021
Sejak kelas I MAN
Yogyakarta 1, saya tinggal di Kalasan. Tepatnya nyantri sekaligus nyantrik di
Pesantren Raudhatul Muttaqien. Jika saya menyebut diri dari Yogya, artinya
saya tinggal di Kalasan. Mungkin, pembaca kurang akrab dengan Kalasan.
Namuun, jika saya sebutkan Prambanan, semua langsung mengenalinya. Kalasan
itu bersisian dengan Prambanan. Saya tidak sedang
membicarakan mahakarya Prambanan itu yang dalam setengah dekade mutakhir
dikenali sebagai latar dari megatrend industri kreatif di bidang musik,
Prambanan Jazz Music International Festival. Bukan. Saya ingin merenungkan
tentang saya dan Kalasan. Di Kalasan-lah visualisasi
dari isi bacaan tertua di Nusantara terpahatkan. Pernyataan itu datang dari
filolog dan ahli sastra Jawa masyhur, Prof Dr RM Ng Poerbatjaraka. Kata
pendiri program studi Sastra Indonesia di UI dan UGM ini, Tjanda Karana yang
tertulis di atas daun tal dan berisi tembang atau nyanyian itu menukil
riwayat raja keturunan Wangsa Syailendra yang mendirikan Candi Kalasan pada
700 Saka. Ya, di poros mahakarya
antara Borobudur dan Prambanan terdapat Kalasan sebagai candi yang riwayatnya
kompatibel dengan, sekali lagi meminjam suara maestro Poerbatjaraka, ”kitab
batjaan jang tertua”. Saya pun masygul dan
merenung. Sebagai salah satu bagian dari arus kehebohan munculnya industri
rumahan perbukuan alternatif di Yogyakarta pada 1999, saya sesungguhnya
selalu menghindari bisnis bacaan ini. Terutama, saat saya mengucapkan selamat
tinggal pada 2004. Saya merasa, dunia buku ini mengutuk jalan hidup saya. Di
bukulah saya mengenal bagaimana sakitnya bangkrut dalam usaha dan hidup
berada di titik nadir. Namun, setiap kali saya
menjauh, saya selalu ditarik kembali. Termasuk ketika bisnis panggung musik
yang saya helat dihajar oleh kegagalan; dunia buku yang saya jauhi seperti
sekoci kecil yang datang mendekat dan membuka dirinya untuk saya pegangi
tatkala nyaris kewalahan diombang-ambingkan nasib baik yang menjauh. Tidak pernah saya lupa
kejadian bagaimana buku yang saya terbitkan enam tahun sebelumnya, Rahasia
Sufi, mengetuk pintu kemalangan bisnis saya. Ada distributor buku besar di
Surabaya yang entah bagaimana memesan buku karya Syaikh Abdul Qadir Al
Jailani itu dalam jumlah sangat fantastis. Karena sekoci penyelamat
itulah perusahaan pertunjukan musik saya beri nama Rajawali. Jangan keliru,
itu bukan representasi dari burung (garuda). Itu adalah pengindonesiaan dari
gelar Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang digelari ”Sulthanul Auliya”, rajanya
para wali. Mula-mula, saya merasa
bahwa keberkatan ekonomi dari buku dari rajanya wali-wali ini yang membuat
saya tetap berada dalam pelukan industri perbukuan. Bahkan, kecintaan dan
intimasi kepada buku itu saya ikat dalam pegelaran panggung yang megah,
diskusi literasi, serta pameran buku bernama Mocosik dengan tagline ”Book and
Music Festival”. Saya menambahkan bahwa ada
yang lebih sublim dari itu semua. Saya selalu ada dalam energi buku karena
pancaran energi Kalasan di mana saya telah di sini sejak masa pencarian
eksistensi saya sebagai manusia muda dimulai. Di Kalasan, karya Maharaja
Tejapurnapana Panangkaran itu menyatu dalam kesadaran. Tentu saja, kesadaran
dan sekaligus kebanggaan itu bukan karena dipicu bahwa pada 2016, sebuah gim
komputer Age of Empires II yang mengisahkan ekspansi keempat kebangkitan Sang
Raja memakai pola Candi Kalasan sebagai mandala ajaib peradaban. Kesadaran saya bersifat
sehari-hari lantaran Kalasan adalah bagian hidup saya yang tidak terpisahkan.
Betapa tidak, bangunan suci satu abad lebih tua dari Prambanan dan Borobudur
itu nyaris tiap hari saya lewati; dari sejak saya pertama kali belajar
seluk-beluk ilmu agama di MAN 1, menekuni studi psikologi (pendidikan),
menjadi jurnalis kampus, mencoba memantapkan cita menjadi jurnalis
profesional, membikin rupa-rupa nama penerbitan buku, hingga menjadi promotor
musik seperti saat ini. Batu tua persegi delapan
yang berisi penghormatan atas keanggunan Dewi Tara Bhawana itu seperti
monumen suci yang menjadi saksi agung bagaimana saya berproses. Bermula dari
berbisnis buku, melangkah ke industri (panggung) musik, lalu bolak-balik di
antara keduanya. Bisa disebutkan, Kalasan
adalah ari-ari penting yang di sana terpaku buku-batu yang sampai kini masih
terpelihara dari mereka yang menghargai budi luhur (keluhuran budaya) sebagai
proses yang panjang dan jauh dalam etape pencapaian kreativitas. Saya
menyadari, monumen adalah artefak kukuh dari mana pride atas goresan masa
silam terpacak di dada. Kalasan adalah sulur
plasenta dari mana tubuh literasi saya mendapatkan pasokan gizi. Lalu, di
Prambanan yang anggun dan di Borobudur yang teduh, saya persembahkan
tembang-tembang kontemporer milenium ketiga yang berpendaran secara harmonis
dengan pancaran nilai-nilai mahakarya milenium pertama yang tertanam di ceruk
batu-batu tua yang nilainya tak tertandingi itu. Di Kalasan, waktu buku
berhenti. Lalu, berawal. Dengan alasan buku batu kalasan, saya mengelanai
dunia di mana buku dan musik saling menimba dan menembang; di Frankfurt Book
Fair, di London Book Fair, di Shanghai Book Fair. Sejauh berangkat, saya
kembali. Di altar Dewi Tara di Kalasan, saya lalu menghirup aroma daun tal
dari ”kitab batjaan jang tertua” bertitel Tjanda Karana itu. Dan, dari
Kalasan pula, saya berucap sepenuh hikmat selamat Hari Buku Nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar