Mengapa
Pangan Lokal Masa Depan Kita Mochamad Indrawan ; Peneliti ekologi pada Pusat Riset
Perubahan Iklim – FMIPA, Universitas Indonesia |
KOMPAS, 25 Mei 2021
Menghadapi masalah pangan
kita, diskursus berkembang ke dua alternatif, yaitu kawasan pangan dan pangan
lokal. Keduanya memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan ekologi luar biasa.
Kawasan pangan cenderung membuka hutan. Sebaliknya, pangan lokal menjadi
bagian penting bagi perhutanan sosial serta mendukung ekonomi lokal bahkan
aksi tanggap iklim dunia. Benarkah dunia kekurangan
produksi pangan? Asumsi tersebut telah diobrak-abrik analisis baru (J Latham,
2021, The myth of a food crisis. In Rethinking Food and Agriculture). Buktinya,
antara lain, dalam pertanian global, harga produk pertanian cenderung rendah
(mengindikasikan surplus). Berdasar bukti-bukti baru,
berbagai model serta asumsi permintaan dan penawaran produk pertanian, yang
diadvokasikan oleh Global Agriculture Perspectives System (GAPS) kini
dipertanyakan. Pertama, minyak nabati sangat dipengaruhi upaya lobi
(korporasi). Kedua, sistem pertanian dipengaruhi keuntungan dan subsidi
(bukan berdasar nutrisi per satuan luas). Ketiga, GAPS cenderung
memperkirakan potensi hasil pertanian terlalu rendah. Keempat, produksi
tahunan global sering kali tertumpuk sehingga membusuk di gudang, tetapi
ternyata tidak diperhitungkan. Kebijakan kawasan pangan
di kawasan hutan Indonesia diharapkan memenuhi kekurangan produksi pangan di
Indonesia. Namun, itu bukanlah pandangan kritis. Walhi (2020) memberi
peringatan bahwa pembukaan lahan cenderung meningkatkan laju deforestasi,
mengancam hutan lindung, bahkan keberlanjutan wilayah kelola rakyat.
Selanjutnya, sentralisasi pengelolaan pangan akan menimbulkan tantangan
distribusi, kemudian meningkatkan biaya rantai pasok. Dalam situasi pandemik,
distribusi lebih terkendala. Monokultur melemahkan daya
lenting pangan lokal. Contohnya, kelaparan berulang di Yahukimo. Kelaparan
terjadi ketika masyarakat tidak lagi mengonsumsi umbi-umbian sebagai pangan
lokal, yang digantikan beras. Dahsyatnya
pangan lokal Sagu, sorghum, dan
umbi-umbian yang merupakan pangan lokal sangat penting pada tingkat tapak.
Berpatokan data Flach (1997) yang mengungkapkan Indonesia memiliki 1.250.000
hektar lahan sagu atau separuh lahan sagu dunia, Yayasan Kehati bersama
Climate Reality Project (2021) mengadvokasikan pentingnya sagu menjadi pangan
Indonesia, bahkan dunia. Djoefrie (2014) bahkan memperkirakan Indonesia
memiliki 5,5 juta hektar lahan sagu, atau 85 persen sagu dunia. Hutan tropis mampu
menyediakan pangan berlimpah. Mangga, durian, dan buah-buahan bernutrisi
tinggi, rebung bambu berserat, pakis memberikan karbohidrat kompleks ataupun
minyak dasar. Laporan High Level Panel of Experts on Food Security and
Nutrition pada 2017 memberikan panduan sangat bagus bagaimana pemerintah dan
masyarakat dapat bekerja sama mewujudkan keamanan pangan dari hutan. Hal yang sering tidak
dilirik orang adalah mikroba (jasad renik), misalnya jamur dan khamir.
Mikroba sangat berpotensi, baik sebagai sumber protein bersel tunggal (single
cell protein) maupun dalam bentuk koloni berupa jamur yang dapat dimakan
(macroscopic, edible mushroom). Di satu lokasi (kawah Kamojang) saja tidak
kurang dari 35 spesies jamur dapat dimakan, dan baru 10 spesies dikonsumsi
masyarakat setempat (PF Arko Dkk, 2017). Tak terbayangkan biaya kesempatan
ini bila lahan diubah menjadi monokultur Mitigasi
dan adaptasi kebencanaan Sampul cerita (cover story) majalah Time edisi 26
April 2021: bumi yang sedang terbakar oleh perubahan iklim. Mengingat gas
rumah kaca seperti CO2 tidak akan terurai dalam kurun waktu 50–250 tahun,
perubahan iklim adalah kebencanaan yang lebih besar dari Covid-19. Di belakang perubahan
iklim akan menanti keruntuhan ekosistem, yang siap menghantam segenap lapisan
kehidupan bumi (Jonsson dkk, 2015, Oikos) Bayangkan, apa yang terjadi bila
berbagai burung dan lebah penyerbuk punah. Pembiakan tanaman termasuk yang
bernilai ekonomi akan terhenti. Di dunia, jasa polinasi bagi tanaman ekonomi
saja bernilai tidak kurang dari 195 miliar dollar AS (Bauer & Wing,
2016). Kedahsyatan pangan lokal
adalah mereka dapat mengerem (memitigasi) sekaligus menyesuaikan diri
(beradaptasi) terhadap perubahan iklim. Contohnya, tumbuhan pangan lokal di
bawah naungan (shade loving) memperkuat justifikasi bagi konservasi hutan
alam. Sagu bahkan pada lahan gambut sekalipun mampu menyerap karbon 1–4 ton
per hektar per tahun (Watanabe dkk, 2016). Terkait adaptasi, berdasar
penilaian Kehati (2020), sorghum, seperti halnya sagu, mampu menyesuaikan
pertumbuhan pada cuaca dan iklim tidak menentu. Sementara itu, untuk
monokultur tanaman pangan akan dibutuhkan plasma nutfah yang sangat intensif
termasuk rekayasa biologi yang sangat mahal untuk mendapatkan kemampuan
beradaptasi seperti itu. Kebijakan perhutanan
sosial sangat penting. Di dalamnya terdapat berbagai insentif membangun
hutan-kebun (agroforest) yang lebih peka akan kearifan ekologis lokal bahkan
ekonomi yang berkelanjutan serta berpihak pada masyarakat setempat. Betapa indah dan kuatnya
keberagaman. Sementara bumi ini hanyalah pinjaman dari generasi mendatang,
pangan lokal adalah masa depan kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar