Reorientasi
Strategis India dan Dunia Multipolar Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 22 Mei 2021
Di tengah derasnya
gelombang kedua pandemi Covid-19 melanda India, Perdana Menteri India
Narendra Modi belum lama ini menggelar pertemuan virtual dengan mitranya,
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Seusai berbicara dengan Johnson, Modi
pun mengadakan konferensi tingkat tinggi serupa dengan para pemimpin Uni
Eropa. Dua peristiwa tersebut
menandai titik balik yang berbeda dalam pendekatan India ke Eropa. Inggris
dan beberapa negara Eropa pernah menjajah India dan negara-negara Asia pada
era kolonialisme yang kelam. New Delhi tampaknya ingin meninggalkan obsesi
anti-kolonialismenya dan bersiap merangkul Eropa. Upaya merangkul Eropa
(Inggris dan Uni Eropa/UE) dipandang sebagai bagian dari pergeseran orientasi
strategis yang lebih luas di tengah upaya New Delhi menghadapi tantangan yang
semakin besar dari China. India menekankan penguatan kerja sama ekonomi dan
keamanan dengan Inggris dan UE. Kerja sama itu terjadi
dalam kerangka keamanan Indo-Pasifik yang diimbangi dengan komitmen baru
untuk mengupayakan liberalisasi perdagangan dengan Eropa juga. Minat baru
memperdalam dan meningkatkan hubungan komersial muncul di tengah upaya India
untuk memisahkan ekonominya dari China. C Raja Mohan, Direktur
Institut Studi Asia Tenggara Universitas Nasional Singapura (NUS) dan mantan
anggota Dewan Penasihat Keamanan Nasional India, mengatakan bahwa India baru
saja mengadakan “pemanasan” ke Eropa. India berusaha menstabilkan
keseimbangan kekuatan Asia dan membatasi ketergantungannya pada tatanan
ekonomi Asia yang didominasi China. Langkah itu dinilai Mohan
mengejutkan. Sebab, kebijakan luar negeri India sejak lama berakar pada
prinsip-prinsip seperti nonalignment dan solidaritas dengan sesama negara
berkembang. Juga karena New Delhi sebelumnya giat mempromosikan dunia
multipolar dalam kemitraan dengan kekuatan bukan Barat, seperti China dan Rusia. "Anggapan bahwa New
Delhi selamanya akan anti-kolonialisme dan Barat dalam orientasinya,
sebenarnya mitos belaka. Mitos itu dibangun oleh kelas politik dan
intelektual India, serta oleh studi akademis Barat tentang hubungan luar
negeri India," kata Mohan dalam artikelnya di Foreign Policy, 18 Mei
2021. Meskipun orientasi itu
berlangsung selama beberapa dekade pascakemerdekaan India, kata Mohan, tidak
ada alasan untuk mengharapkannya menjadi permanen dan tidak berubah.
Kebijakan, bahkan yang paling berakar kuat, pasti akan berubah sebagai
respons atas perubahan yang terjadi secara radikal. Sikap India terhadap Barat
memang telah berevolusi sejak akhir Perang Dingin. Negara itu perlahan-lahan
membuka ekonominya ke Amerika Serikat (AS),
menjajaki perdagangan dengan Eropa, dan menerima teknologi Eropa.
India berupaya merevitalisasi keterlibatan politik dengan negara-negara
demokrasi utama dunia dan berusaha mendiversifikasi kemitraan keamanannya. Kita mengetahui bahwa
kerja sama strategis India dengan AS mulai berkembang pada abad ke-21, yang
berpuncak pada pembentukan kelompok empat kekuatan baru di Indo-Pasifik.
Kelompok ini dinamai Quadrilateral Security Dialogue (QSD) atau lebih dikenal
dengan sebutan Quad. Forum Quad yang
beranggotakan Australia, India, Jepang, dan AS ini bertujuan membendung
China. Quad dimulai pada tahun 2007 atas inisiatiff Perdana Menteri (PM)
Jepang Shinzo Abe, dan didukung Wapres AS Dick Cheney, PM Australia John
Howard dan PM India Manmohan Singh. Namun, hubungan New Delhi
dengan kekuatan Eropa tersisihkan. Situasi mulai berubah di bawah Modi.
Penasihat kebijakan luar negeri Modi bertekad meningkatkan kemitraan India
dengan Eropa. Peningkatan mulai terlihat sejak jauh-jauh hari sebelumnya,
pada Oktober 2019, Parlemen Eropa mengunjungi Kashmir, India utara, sebagai
bentuk dukungan terhadap India. Awali
dengan Perancis Langkah pertama dalam
oritentasi strategis itu, India memanfaatkan peluang atau kemungkinan barunya
dengan Perancis. Seperti Washington, Paris siap untuk mengejar kebijakan yang
memprioritaskan New Delhi di Asia Selatan. Paris juga mendukung India dalam
sengketa regional dengan Pakistan. Perancis, seperti AS, juga dengan cepat manfaat kerangka kerja
Indo-Pasifik. Pada gilirannya, hal itu mendorong Paris untuk memperluas kerja
sama politik dan keamanan dengan New Delhi. Washington dan Paris juga
berbagi pemahaman New Delhi tentang ancaman yang ditimbulkan oleh Beijing
secara umum. London dan Brussel awalnya enggan melihat tantangan ini, tetapi
sekarang lebih dekat dengan persepsi AS. Jerman dan Belanda juga telah
mengartikulasikan strategi Indo-Pasifik mereka sendiri dan ingin melihat
India dalam perspektif yang lebih baru. New Delhi, di bawah Modi,
lebih terbuka untuk membuang keraguannya tentang London dan Brussel. India
menginvestasikan sumber daya politik dan birokrasi dalam memulihkan kembali
hubungan dengan Inggris dan Uni Eropa. Eropa pun sudah menggadang-dagang
kerja sama dengan India sejak 2019, seperti yang dilaporkan New Europe dan
dari sisi India niat itu sudah tersampaikan sejak 2016, seperti diberitakan
India Times. AS dan sekutunya di Asia
tetap sangat penting bagi India dalam menyeimbangkan China. Namun, New Delhi
sekarang melihat betapa pentingnya Eropa dalam memberikan kalkulus kekuatan
besar India. Meminjam kata-kata Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam
Jaishankar, yang dimuat Hindustan Times, India sedang berupaya
"melibatkan AS, mengelola China dan Eropa, meyakinkan Rusia, dan
mengajak Jepang ke dalam permainan." Menurut Mohan, itu pertama
kalinya kepemimpinan politik India memasukkan Eropa—termasuk Inggris—sebagai
bagian dari kalkulus geopolitiknya. Namun, di satu sisi Modi dan penasihatnya
mengakui keutamaan hubungan strategis dengan Inggris dan UE. Di sisi lain,
dia harus meyakinkan lembaga politik dan birokrasi India untuk bergerak maju. Merangkul
Inggris Di New Delhi, kebencian
yang berkepanjangan terhadap Inggris, bekas penjajahnya, tidak pernah
benar-benar hilang. Sangat mudah untuk meremehkan Inggris sebagai
"kekuatan kelas tiga". Kebijakan London yang adil terhadap India
dan Pakistan, posisinya dalam sengketa Kashmir, dan kecenderungannya untuk
ikut campur dalam perkembangan internal India pasti memicu bentrokan politik
anti-Inggris. Dalam beberapa tahun
terakhir, Jaishankar telah berbicara tentang kepentingan strategis Inggris
untuk khalayak domestik. Dia juga menggarisbawahi keberlangsungan
arti-penting globalnya sebagai aktor ekonomi, teknologi, politik, dan
keamanan. New Delhi juga melihat
bahwa Partai Konservatif Inggris yang berkuasa tidak begitu tertarik
dibandingkan dengan pimpinan Partai Buruh yang lama dalam mengotak-atik
politik dalam negeri India. Partai Buruh juga lebih terbuka untuk membuat
kesepakatan praktis dengan India, termasuk pada pertanyaan kontroversial
tentang migrasi India ke Inggris. Negosiasi yang intens
dalam beberapa tahun terakhir kini telah menghasilkan peta jalan untuk
mengubah hubungan bilateral pada tahun 2030 yang diumumkan pada pertemuan
virtual Modi-Johnson. Peta jalan tersebut mencakup komitmen untuk kerja sama
yang lebih intensif di bidang pertahanan dan keamanan, perdagangan dan
investasi, dan perubahan iklim, serta sains, teknologi, pendidikan, dan
inovasi. Modi-Johnson juga
menandatangani perjanjian tentang migrasi dan mobilitas. Inggris akan
mengizinkan lebih banyak imigrasi resmi oleh para profesional India.
Sedangkan India akan menjemput kembali migran India yang tinggal secara
ilegal di Inggris. Menurut Mohan, New Delhi
tidak lagi terobsesi dengan kemarahan terhadap masa lalu kolonialisme Inggris
atau mengeluh tentang dukungan Inggris yang dirasakan untuk Pakistan dan
posisi yang terakhir di Kashmir. Sebaliknya, pemerintah Modi bertekad untuk
meningkatkan bobot keterlibatan strategisnya sendiri dengan London. Modi juga memanfaatkan
kekuatan Inggris yang lebih bertahan lama untuk pembangunan nasional India
dan memanfaatkan ambisi pasca-Brexit Inggris untuk peran global India.
Modi-Johnson menemukan cara praktis untuk mengelola hubungan India-Inggris. Menoleh
ke Brussels Jika New Delhi dan London
terlihat lebih intim, jarak dan pengabaian telah menjadi masalah di Brussels.
Sudah terlalu lama, New Delhi memandang Eropa dari sudut pandang London atau
Moskwa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, New Delhi telah mengakhiri
pengabaian politik Eropa dan mendesak keterlibatan yang lebih strategis
dengan UE. Dalam beberapa tahun ini, Brussels semakin aktif di India dengan
meluncurkan strategi India pada 2019. Di akhir pertemuan virtual
yang jarang terjadi, dengan partisipasi semua pemimpin UE dalam dialog dengan
Modi, kedua belah pihak mengungkapkan kerangka kerja yang ambisius untuk
kerja sama yang luas. Hal ini akan mencakup perdagangan, konektivitas, rantai
pasokan global yang tangguh, perubahan iklim, dan transformasi digital. Meskipun mengubah persepsi
Inggris dan UE tentang China, Indo-Pasifik, dan kontribusi potensial India
terhadap tatanan regional dan global memberikan dasar baru bagi kemitraan
India dengan Eropa, New Delhi juga menyadari bahwa perdagangan adalah mata
rantai yang lemah. Di London dan Brussel, bagaimanapun, kemitraan perdagangan
menjadi pertimbangan pertama. New Delhi sangat ingin
memperdalam hubungan perdagangan dengan Barat. Itu sebabnya India keluar dari
perjanjian perdagangan bebas di seluruh Asia yang didominasi China, yakni
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), pada November 2019. Sekarang telah setuju
untuk mengintensifkan negosiasi dengan Inggris tentang perjanjian perdagangan
bebas dan membujuk UE untuk melanjutkan negosiasi liberalisasi perdagangan
yang telah lama macet. Ini tentu melibatkan Modi yang membuat birokrasi
perdagangan bandel India berpikir secara strategis tentang perdagangan dengan
Inggris dan UE. Jika gagasan bahwa New
Delhi melihat ke Eropa untuk mengubah keseimbangan kekuatan di Timur
mengejutkan, hal itu membantu untuk mengenali betapa persatuan Asia yang
selalu sulit dipahami. Meskipun ada banyak solidaritas anti-kekaisaran antara
gerakan nasional India dan China pada periode menjelang Perang Dunia II,
kerja sama di antara mereka selama perang menjadi tidak mungkin. Kaum
nasionalis India berfokus untuk mengakhiri kekuasaan Inggris, dan rekan-rekan
China mereka berfokus pada pembalikan pendudukan Jepang. Selama Perang Dingin,
konflik atas Tibet dan perbatasan yang disengketakan antara India dan China
merusak rasa solidaritas. Saat Beijing melakukan lawatan ke Washington pada
1970-an, New Delhi memasuki aliansi semu dengan Moskwa. Sekarang, saat China
menekan India di berbagai bidang dan memperdalam hubungan dengan Rusia, New
Delhi semakin dekat ke Barat. Reorientasi strategis
India ke Barat bukan hanya dengan AS, tetapi sekarang juga menjadi lebih kuat
karena melibatkan Inggris dan UE. Di masa lalu, pencarian New Delhi untuk
dunia multipolar adalah tentang kerja sama dengan Moskwa dan Beijing untuk
membatasi bahaya momen unipolar. Saat menghadapi China yang
sedang bangkit, India membutuhkan AS dan Eropa untuk membangun Asia yang
multipolar. Dengan India-AS, kemitraan dengan pijakan yang semakin kuat, New
Delhi sekarang melengkapi pergeseran strategisnya dengan semakin dekat dengan
Inggris dan UE juga. Namun, kini di tengah
pandemi, dunia termasuk Inggris dan UE mulai melihat kemampuan Modi dalam
menangani penyakit Covid-19 dan dampak ekonomi yang ditumbulkan. Setidaknya pesan
itu disampaikan oleh The Economis dalam laporan edisi Mei 2021, bertajuk As a
Second waves devastates India, Narendra Modi vanishes. Kepercayaan terhadap
kemampuan Modi secara luas menurun dan dikecam di dalam negeri karena lamban
mengantisipasi persoalan domestik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar