Melepas
Hantu Kolonialisme dari Istana Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 26 Mei 2021
Tak mudah membangun bangsa
Indonesia. Bentangan sejarah kekejaman kolonialisme selama berabad-abad telah
mengendap ke alam bawah sadar menjadi hantu traumatik berkepanjangan. Dalam
satu orasi kebudayaan, 6 April 1977 di Jakarta, budayawan Mochtar Lubis
menyebut salah satu karakter dasar manusia Indonesia: hipokrit alias munafik! Karakter ini dicirikan
oleh dusta, cenderung bermuka dua, berpura-pura percaya padahal sejatinya
emoh, serta mudah berkhianat. Sifat ini, menurut Mochtar Lubis, yang antara
lain menyebabkan penjajahan bisa berlangsung berabad-abad. Banyak orang mudah
berkhianat kepada bangsanya sendiri sehingga menjadi bangsa yang rapuh, mudah
terpecah-belah, yang pada akhirnya mudah ditaklukkan. Di sisi lain, penindasan
yang berlangsung selama berabad-abad itu telah mendorong bangsa ini menjadi
bangsa yang lemah. Sistem feodalisme yang berasal dari masa kerajaan dahulu
membuat orang per orang tidak terbiasa mengambil keputusan yang lugas. Setiap
orang cenderung ”berlindung” di balik keputusan-keputusan orang di luar
dirinya, termasuk raja-raja dan para penjajah. Penjajahan oleh
bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda, Inggris, dan Portugis, telah
meninggalkan lubang besar bernama ”ketakutan”. Banyak di antara kita,
sebagaimana kemudian ditulis Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia,
takut mengambil keputusan sekaligus takut pula bertanggung jawab. Frase
”bukan saya” menjadi ”mantra” yang sering kali terdengar sehingga seolah-olah
telah menjadi ”pelarian” yang aman dari segala masalah. Rupanya Presiden Joko
Widodo menyadari kondisi ”traumatik” yang tidak mudah dikelupas ini. Ia lalu
mencanangkan program kerjanya yang amat populer, yakni revolusi mental! Enam
karakter dasar manusia Indonesia dalam identifikasi yang dilakukan Mochtar
Lubis, seperti hipokrit, feodal, lemah, percaya takhayul, enggan bertanggung jawab
walau tetap artistik, harus direvolusi jika ingin menjadi bangsa yang besar
dan maju. Salah satu yang dicanangkan dalam revolusi mental itu mengutamakan
sifat-sifat kemandirian, tidak tergantung terhadap keputusan-keputusan orang
lain. Bukankah hal serupa pernah
menjadi dasar perjuangan Mahatma Gandhi melawan penjajahan Inggris di India?
Gandhi mendengungkan: Ahimsa (tidak melakukan kekerasan terhadap semua
makhluk; Hartal (melakukan pemogokan massal); Swadesi (kemandirian di segala
bidang); dan Satyagraha (berdiri di atas kebenaran). Barangkali dalam hidup
manusia Indonesia di masa kini prinsip Ahimsa, Swadesi, dan Satyagraha
menjadi kontekstual dengan perjuangan revolusi mental yang dicanangkan
Presiden Joko Widodo. Sudah waktunya kita
menghentikan segala bentuk kekerasan, terutama berupa ujaran kebencian yang
bertebaran di media sosial. Penghentian atas dasar kesadaran individu menjadi
penting untuk memupuk kohesi sosial di antara sesama anak bangsa. Bahwa kita
sesama manusia, anak semua bangsa (meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer),
patut saling menghormati dan mengasihi. Kekerasan hanya akan membawa
penderitaan, bahkan akan berbalas dengan kekerasan lainnya. Martabat hanya bisa
dibangun di bawah sendi-sendi penghormatan terhadap kebenaran. Selalu berdiri
di atas kebenaran, tidak mencla-mencle, menjadi penting dalam konteks meraih
kemandirian sebagai bangsa. Karakter ketergantungan kepada orang dan bangsa
lain telah meletakkan posisi kita di bawah ketiak bangsa penjajah. Gandhi
mengatakan, ”A ’No’ uttered from the deepest conviction is better then a
’Yes’ merely uttered to please, or worse, to avoid trouble.” (Satu kata
”tidak” yang diucapkan dari keyakinan terdalam lebih baik daripada ”ya” yang
hanya diucapkan untuk menyenangkan atau, lebih buruknya, hanya untuk
menghindari masalah). Bung Karno lebih memilih
mengucapkan ini dengan satu kata yang penuh tenaga ”berdikari” alias berdiri
di atas kaki sendiri. Dalam pidato menjelang 20 tahun Indonesia merdeka,
Presiden pertama RI itu memformulasikan konsep Tri Sakti: berdaulat dalam
politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
”…kenapa sesudah kaum imprialis terlalu banyak cingcong dan bertingkah, aku
serukan ’go to hell with your aid!’. Sesudah dipersetan, mereka sekarang mendekat-dekat
lagi dan menawar-nawarkan kembali bantuan mereka. Tetapi saya tahu bahwa
tidak ada bantuan nekolim (neokolonialisme) yang cuma-cuma,” tegas Bung
Karno. Setelah 75 tahun Indonesia
merdeka, tepatnya 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan
pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota negara
tentu memiliki beragam alasan, terutama menyoal pada over populasi kota
seperti Jakarta. Belakangan, rencana
pemindahan ibu kota negara itu menjadi gaduh ketika rancangan Istana Garuda
karya seniman Nyoman Nuarta terpilih sebagai rancangan Istana Negara di ibu
kota negara (IKN) yang baru. Tak kurang dari lima asosiasi profesi
berkeberatan atas rancangan menyerupai burung garuda itu. Bahkan karya ikonik
ini diragukan sebagai rancangan karya arsitektural yang tepat dalam situasi
zaman dan dunia saat ini. Para pengkritik intinya berkeberatan jika sebuah
istana negara diwujudkan dalam impresi burung garuda karena hanya akan lebih
menekankan unsur-unsur estetika dan mengabaikan unsur-unsur arsitektural yang
menjadi ciri sebuah istana, di mana pun di dunia. Saya sungguh khawatir,
barangkali banyak yang melupakan satu hal yang terpenting dalam rencana
pemindahan ibu kota negara ini. Sejak merdeka, 17 Agustus 1945, Indonesia
tidak pernah membangun sebuah istana sebagai pusat pemerintahan sekaligus
rumah kediaman presiden dan keluarga, seperti dilakukan di Amerika Serikat.
The White House dibangun pada masa Presiden George Washington tahun 1792-1800
bergaya arsitektur Georgia. Gedung ini dirancang seorang arsitek kelahiran
Irlandia, James Hoban, dengan mengambil model Leincester House, gedung
parlemen Irlandia di kota Dublin. Sayangnya, George tak pernah menempati
White House karena keburu diganti presiden kedua AS, John Adams, sebelum
gedung benar-benar selesai. Sementara tiga istana yang
kerap ditempati Presiden Joko Widodo, Istana Negara, Istana Merdeka, dan
Istana Bogor, merupakan gedung-gedung peninggalan di masa kolonialisme
Belanda. Istana Negara yang menghadap ke Jalan Veteran Jakarta dibangun tahun
1796 pada pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten.
Pada masa Gubernur Jenderal Johannes Siberg, gedung ini dinyatakan selesai
dibangun tahun 1804. Pada mulanya, gedung
bergaya indiche empire style ini merupakan rumah peristirahatan luar kota
milik pengusaha Belanda bernama JA van Braam. Tahun 1820, rumah Braam disewa
(dan kemudian dibeli tahun 1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan
sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan kemudian menjadi rumah kediaman para
gubernur jenderal ketika berurusan di Batavia. Tahun 1873, karena
bangunan bernama Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) dianggap penuh
sesak dan tidak memadai sebagai pusat pemerintahan, pada kompleks yang sama
dibangun Paleis te Koningsplein (sekarang Istana Merdeka). Pembangunan itu
dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JW van Lansberge. Bangunan
baru yang dirancang arsitek bernama Jacobus Bartholomeus Drossaers itu
menghadap ke arah Jalan Medan Merdeka Utara dan resmi menjadi rumah kediaman
gubernur jenderal Belanda. Sementara Istana Bogor, di
mana kini Presiden Joko Widodo bertempat tinggal, dibangun tahun 1744 oleh
Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Bangunan di tengah-tengah
Kebun Raya Bogor ini mencontoh arsitektur Blehheim Palace, rumah kediaman
Duke Malborough dekat kota Oxford,
Inggris. Pada mulanya selain rumah kediaman para gubernur jenderal, istana
yang disebutkan sebagai Buitenzorg atau Sans Souci, ”tanpa kekhawatiran”, ini
sekaligus pusat pemerintahan di Hindia Belanda. Fakta-fakta ini, menurut
pemahaman seniman Nyoman Nuarta, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum
bisa melepaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme. ”Padahal Bung Karno
dengan Tri Sakti sudah jelas menginginkan kita jadi bangsa berdaulat,
berdikari, dan punya kepribadian,” katanya, akhir pekan lalu, di Bandung.
Keinginan Presiden Joko Widodo memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke
Kalimantan Timur, ujar Nuarta, tak semata-mata memecahkan kebuntuan soal
kebutuhan ruang yang lebih lega dan berkeadilan. ”Tapi kita butuh ruang yang
lebih merdeka,” tambah Nuarta. Oleh sebab itulah, ketika
ia dipilih dan diberi tugas mewujudkan cita-cita itu, dengan penuh gairah ia
bersama tim bekerja selama berbulan-bulan untuk mewujudkan basic design
terbaik yang mewadahi segenap keinginan berbagai pihak. Sejak April 2021
sampai menjelang akhir Mei 2021, ia telah mengganti sebanyak 15 kali basic
design Istana Garuda (Istana Presiden) untuk mencapai bentuk rancangan paling
ideal sebagai sebuah pusat pemerintahan. Dalam basic design paling
mutakhir, Nuarta mewujudkan kompleks Istana Garuda sebagai sebuah gambaran
tentang nusa rimba, sebagaimana dirancang dalam masterplan. Oleh sebab itu,
rancangan yang tadinya hanya menggunakan 32 ha lahan berkembang menjadi 116
ha. ”Sebagian besar digunakan untuk botanical garden. Bangunan utamanya hanya
ada Istana Garuda, rumah dinas presiden, Wisma Negara, serta bangunan
pendukung, seperti ruang Paspampres, gardu istrik, pengolahan limbah, dan
lainnya,” ujar Nuarta. Kebutuhan lahan yang
sedemikian besar itu, menurut Nuarta, sangat dimungkinkan karena ketersediaan
lahan yang demikian luas di lokasi pembangunan istana. ”Bayangkan, Bung Karno
membangun Monas saja butuh 100 ha. Nah, mumpung kita diberi kesempatan
mewujudkan istana yang berkepribadian Indonesia dari tangan sendiri itu,
mengapa tidak sekalian. Jangan suka tanggung-tanggung,” ujar seniman
perancang Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali itu. Keinginan Nuarta yang
menggebu-gebu ini mungkin bisa dipahami. Ia sedang berada pada titik usia
paling krusial dalam hidupnya. Sebagai seniman yang dikaruniai bakat apa yang
disebutnya sebagai arch-sculpture, sinergi antara arsitektur dan patung, ia
ingin memberi kontribusi terbaik bagi bangsanya. Apalagi, bangsa Indonesia
dihadapkan pada kenyataan pahit di masa lalu. Istana-istana yang kini
dipergunakan sebagai pusat pemerintahan serta rumah kediaman salah satu
negara kepulauan terbesar di dunia ini berupa peninggalan masa-masa
kolonialisme. Padahal kolonialisme telah
lama menjadi hantu, yang menebar ”ketakutan” berlebihan bagi segenap bangsa,
sehingga ”menjelma” menjadi bangsa yang lemah, munafik, dan terjerat dalam
arus feodalisme. Barangkali salah satu cara melepaskan hantu kolonialisme
itu, dengan memindahkan Istana Presiden yang mewarisi karakter kolonialis,
menuju Istana Garuda yang mewakili kepribadian bangsa Indonesia. Niscaya, di
situ ada transformasi masa lalu yang kelam dan kejam menuju kecerahan masa
depan yang lebih menjanjikan. Pilihannya, swadesi, berdikari, mandiri atau
tetap berdesakan dengan ketakutan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar