Menutupi
Puncak Gunung Es Ikhsan Yosarie ; Peneliti HAM dan
Sektor Keamanan SETARA Institute |
KOMPAS, 17 Mei 2021
Publik sempat dibuat
terkejut melalui terbitnya surat telegram dengan nomor
ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan
kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran
jurnalistik. Terdapat 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya
berupa larangan media untuk menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan
arogansi dan kekerasan. Media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang
tegas, tapi humanis. Surat telegram itu memang
tidak berumur panjang. Selang beberapa waktu, Polri mencabutnya melalui Surat
Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 bertanggal 6 April 2021. Pencabutan ini
memang sudah selayaknya dilakukan, mengingat beberapa muatannya yang
berpotensi menghambat pemajuan demokrasi, terutama kebebasan pers dan
reformasi Polri. Gagal
paham Ada dua hal yang membuat
saya gagal paham terhadap respon Polri mengenai surat telegram ini. Pertama,
Polri menyatakan bahwa surat telegram yang diterbitkan untuk kalangan
internal itu agar kinerja polisi semakin baik, serta mengatur agar jajaran
kepolisian tidak bertindak arogan atau menjalankan tugas sesuai standar
prosedur operasional yang berlaku. Sementara, salah satu poin pengaturan
dalam surat telegram tersebut malah melarang media menyiarkan upaya/tindakan
kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Media diimbau untuk
menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis. Pertanyaan sederhananya,
di mana letak korelasi antara tujuan yang dimaksudkan dengan pengaturannya?
Jika dilihat secara sepintas pun keduanya tidak ada keterkaitan. Bagaimana
mungkin tujuan agar kinerja Polisi semakin baik dilakukan dengan cara
melarang media menyiarkan arogansi dan kekerasan oleh kepolisian? Justru
liputan media tersebut, terlepas media internal kepolisian atau eksternal,
menjadi bagian dari kontrol publik terhadap Polri. Polri seharusnya mendukung
liputan tersebut agar setiap anggota Polri bekerja sesuai prosedur sehingga
kinerja anggotanya menjadi baik. Pada persoalan ini,
kepolisian justru terlihat sekadar ingin membangun citra ketimbang melakukan
perbaikan secara internal terhadap pelbagai persoalan di internal kepolisian,
spesifik soal kultur kekerasan. Pelbagai laporan yang disusun organisasi
masyarakat sipil telah menunjukkan dugaan praktik penyiksaan dan kekerasan
yang dilakukan atau diduga dilakukan oknum anggota kepolisian terhadap warga
sipil menjadi persoalan serius yang berada pada institusi Polri.
Praktik-praktik tersebut mencerminkan tumbuh suburnya kultur kekerasan dan
kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam melakukan proses hukum. Misalnya Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mencatat Polri diduga
terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang
luka-luka dan 304 orang tewas. Bahkan tidak semua dugaan kasus itu berujung
pada penyelidikan tuntas dan memberikan sanksi pada polisi. Liputan-liputan media
terkait kekerasan atau dugaan kekerasan oleh oknum Polri tentu secara
kuantitatif juga belum menggambarkan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan
oknum-oknum anggota Polri. Ibarat puncak gunung es. Namun, secara kualitatif
menjadi gambaran bagaimana kasus-kasus tersebut terjadi. Sehingga, melalui
laporan KontraS tersebut, terlihat jika surat telegram ini diteruskan, Polri
ibarat berupaya menutupi puncak gunung es serangkaian kasus kekerasan yang
dilakukan oleh oknum-oknum anggotanya melalui pencitraan. Respon kedua yang membuat
saya gagal paham adalah perihal timbulnya penafsiran yang beragam. Saat
mencabut surat telegram itu, Kapolri kemudian juga meminta maaf lantaran
surat telegram tersebut menimbulkan penafsiran yang beragam. Jika melihat
poin pengaturan yang menjadi sorotan, yakni melarang media menyiarkan
upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan,
substansinya justru terang dan jelas. Tidak terdapat tafsir lain. Konteks media tentu tidak
begitu penting. Terlepas media internal Polri ataupun eksternal, larangan
menyiarkan arogansi kepolisian justru seakan menyembunyikan realitas tindakan-tindakan
oknum aparat yang melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum dan HAM. Polri
harusnya transparan, karena publik harus tau bagaimana setiap institusi
negara bekerja, termasuk kepolisian. Tegas dan humanis tentu bukan sekadar
lisan atau di atas kertas. Sorotan
lainnya Selain poin larangan media
menyiarkan arogansi dan kekerasan yang dilakukan oknum atau anggota
kepolisian, pada dasarnya juga terdapat satu poin lainnya yang patut disorot,
yakni larangan untuk tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian
dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana. Pada beberapa kasus, bagian
ini justru juga menjadi tempat terjadinya kekerasan tersebut. Misalnya pada kasus
kekerasan di Mapolsek Percut Sei Tuan, Kota Medan, Juli 2020. Dalam kasus
ini, salah seorang warga, Sarpan, menjadi korban penyiksaan saat berada di
sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan. Sarpan dipaksa mengakui bila dirinya
adalah pelaku dalam suatu kasus pembunuhan. Padahal, Sarpan justru merupakan
saksi dari pembunuhan tersebut. Akibat insiden penyiksaan oleh polisi itu,
Sarpan menderita luka di sekujur tubuh dan wajahnya. Kemudian kasus Lutfi
Alfiandi yang mengaku disetrum dan dianiaya polisi saat dirinya dimintai
keterangan di Mapolres Jakarta Barat. Ketika itu oknum penyidik terus menerus
meminta Lutfi mengaku telah melempar batu ke arah polisi saat demo September
2019. Lutfi akhirnya terpaksa menuruti permintaan polisi karena berada di
bawah tekanan. Keterangan penyiksaan tersebut disampaikan Lutfi dalam
persidangan kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari 2020 di
hadapan majelis hakim. Pemolisian
demokratik Selain tegas dan humanis,
aspek transparan dan akuntabilitas juga perlu ditegakkan oleh Polri. Pimpinan
institusi Polri harus menjamin tidak ada upaya melindungi jika pelaku-pelaku
kekerasan merupakan oknum Polri. Bukan hanya sekadar teguran, penempatan
khusus, atau mutasi, tetapi juga sampai kepada pemecatan hingga tuntutan
pidana. Dalam setiap penanganan
perkara, kepolisian harus memastikan menerapkan prinsip-prinsip dalam
Democrating Policing (Pemolisian Demokratik) yang pada dasarnya telah
diakomodir dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Polri. Penghormatan terhadap
martabat dan HAM, serta transparan adalah bagian yang harus digarisbawahi
oleh Polri jika ingin mengarah kepada Democrating Policing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar