Jender
dan Seksualitas, dari ”Feminist Scholarship” ke Tradisi Kritis-Akademis Farid Muttaqin ; Kandidat PhD Feminist
Anthropology, Binghamton University (State University of New York), AS;
Pendiri LETSS Talk |
KOMPAS, 21 Mei 2021
Polemik hebat yang
menyangkut atlet transpuan sedang terjadi di Amerika. Apakah mereka harus
menjadi atlet mandiri atau eksklusif, mengikuti jenis kelamin ”aslinya”, atau
bisa berkompetisi secara inklusif dalam bidang olahraga yang diikuti atlet
perempuan. Beberapa negara bagian
Merah atau Republik, seperti Arkansas, Missouri, Tennessee, South Dakota, dan
lebih dari 20 negara bagian lain, sedang memproses atau sudah menerapkan
aturan sangat keras melarang atlet transpuan mengikuti kompetisi olahraga
dengan atlet perempuan. Alasannya, sangat tidak fair bagi atlet perempuan
untuk berkompetisi dengan atlet transpuan yang ”aslinya” adalah seorang
laki-laki. Meski politisi mendominasi
polemik, isu ini juga mengundang perhatian kalangan akademik. Tidak seperti
politisi yang terlibat polemik lebih didorong kepentingan pada suara atau
dukungan pemilih, para akademisi memilih melakukan kajian dan analisis demi
membangun pengetahuan dan argumen tentang perkembangan jender yang
akhir-akhir ini semakin fleksibel dan menunjukkan fluiditas hingga menuntut
adaptasi atau adjustment di banyak bidang. Dari deskripsi di atas,
saya ingin menegaskan pentingnya upaya dan proses intensif dalam kajian
jender dan seksualitas. Bukan saja karena perkembangan terkait dua hal
tersebut yang semakin menunjukkan fleksibilitas dan fluiditas, melainkan juga
karena efek perkembangan ini pada berbagai praktik dan institusi
sosial-budaya dalam masyarakat. Kasus atlet transpuan di
Amerika adalah contoh ”kecil”. Pekerjaan-pekerjaan lain, termasuk layanan
publik, termasuk institusi militer dan kepolisian yang mensyaratkan dualisme
identitas jender secara kaku juga mulai mendapatkan tantangan karena
perkembangan jender yang semakin fleksibel dan fluid. Apakah
institusi-institusi layanan publik harus bertahan menerapkan jender dan
seksualitas dualistik yang kaku atau perlu melakukan perubahan agar lebih
terbuka bagi segala bentuk jender dan seksualitas yang beragam? Selain penting untuk
membangun pengetahuan dan menyediakan argumen akademik dalam merespons
perkembangan tersebut, mengkaji perkembangan jender dan seksualitas secara
intensif juga dibutuhkan agar politisi yang sering kali lebih dimotivasi oleh
kepentingan kekuasaan dan jabatan tidak mendominasi wacana publik. Saat
kepentingan politik mendominasi, kita bukan saja kehilangan kesempatan
mengembangkan pengetahuan tentang isu-isu jender dan seksualitas kontemporer,
tetapi juga memungkinkan pada pengabaian tujuan pemenuhan hak warga negara dengan
pengalaman dan ekspresi jender dan seksualitas fluid yang tidak normatif.
Kepentingan politik mengabaikan segala pengetahuan dan argumen akademik
tentang konstruksi sosial jender dan seksualitas memilih mengabsolutkan
perspektif biologisasi peran dan identitas jender. Kajian intensif oleh para
feminist scholar dibutuhkan untuk menandingi reaksi, respons, dan sikap
(attitude) politisi atau pemegang kekuasaan yang lebih mendahulukan
pendekatan kekuasaan dan otoritas demi menjaga kepentingan politik. Tahun
2016, kita disuguhi kasus yang menggambarkan attitude kekuasaan terhadap
perkembangan jender dan seksualitas dalam masyarakat. Menteri Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi waktu itu, M Nasir, lebih memilih membuat
pernyataan yang melarang ”LGBT masuk kampus”, melarang mereka yang memiliki
orientasi non-heteroseksual dan memiliki identitas jender non-normatif
menjadi bagian civitas akademika sebuah insitutsi pendidikan tinggi; melarang
tema-tema LGBT menjadi bahan diskusi di ruang-ruang belajar di perguruan
tinggi. Institusi pendidikan
tinggi seharusnya menjadi penyangga tradisi akademik dengan kegiatan riset
dan berbagai bentuk produksi dan sosialisasi pengetahuan, termasuk
pengetahuan tentang jender dan seksualitas, dilakukan atas dasar prinsip kebebasan
berpikir dan berekspresi. Melarang atau membatasi produksi dan sosialisasi
pengetahuan jender dan seksualitas di kampus merupakan pelanggaran terhadap
kebebasan akademik dan, lebih jauh, terhadap kebebasan berpikir dan
berekspresi. Tradisi feminist
scholarship, kajian tentang jender dan seksualitas berdasarkan pendekatan dan
analisis feminisme, perlu terus dibangun dan dikembangkan di institusi
pendidikan tinggi kita. Gerakan keadilan jender dan keragaman seksual di
Indonesia membutuhkan kontribusi kalangan akademisi kampus, para feminist
scholar pengkaji isu jender dan seksualitas dalam menyediakan berbagai
pengetahuan dan argumen akademik, seperti dalam kasus atlet transpuan di
Amerika. Peran dan kontribusi feminist scholar akan menjadi penting terbangunnya
ruang publik yang lebih dipenuhi tradisi akademik daripada kontestasi atas
nama kepentingan politik, jalan yang lebih banyak ditawarkan polikus dan
pemegang kekuasaan. Realitasnya, sejak lama,
masyarakat Indonesia diisi tradisi dan praktik lokal yang menggambarkan
dinamika keragaman jender dan seksual. Salah satunya, masyarakat Bugis dengan
temuan lima jender, yang dialami dan dijalani warga masyarakat secara
fleksibel dan fluid, tanpa memunculkan konflik sosial yang mengancam
keteraturan (social order). Keragaman jender justru
menjadi bagian dari keteraturan sosial, hingga infiltrasi gerakan islamisme
mulai mempengaruhi cara pandang dan perilaku anggota masyarakat terhadap
identitas jender non-binari. Pemahaman dan pengetahuan secara luas tentang
keragaman jender ini merupakan hasil proses feminist scholarship, demi
menguatkan argumen tentang keberadaan jender yang beragam, bukan dualistis. Antroplog feminis, Sharyn
Graham-Davies, yang saat ini menjadi Direktur the Herb Feith Indonesia Engagement
Centre, Monash University, menjadi salah satu pionir pengkaji keragaman
jender dan seksualitas ini. Studinya berkontribusi pada terbangunnya
pemahaman tentang jender yang beragam dan kebutuhan untuk menghormati
keragaman tersebut. Sebab, hal tersebut merupakan realitas dalam kehidupan
masyarakat, bagian dari social order di tingkat lokal. Banyak isu jender dan
seksualitas menunggu sentuhan akademik para feminist scholar kita. Tradisi
dan praktik perkawinan anak yang tidak bisa dilepaskan dari norma dan politik
jender dan seksualitas di beberapa masyarakat membutuhkan eksplorasi dan
analisis persoalan secara mendalam terkait hubungannya dengan tradisi,
struktur sosial, situasi ekonomi, insitutus perkawinan, aksesibilitas
terhadap layanan publik, termasuk pendampingan kasus, hingga aspek lain dalam
realitas sosial yang kompleks di mana praktik perkawinan anak berlangsung
sebagai kebiasaan. Bagaimana konsolidasi
politik dibangun dengan menerapkan politik jender dan seksualitas dalam
berbagai bentuk masih berlangsung hingga rezim pasca-reformasi juga menjadi
bahan kajian sangat penting terkait isu jender dan seksualitas kontemporer.
Partisipasi dan representasi politik perempuan yang tidak linear dengan
agenda keadilan jender dan seksual secara substantif juga perlu menjadi bahan
analisis tersendiri. Kajian jender dan
seksualitas dalam tradisi feminist scholarship tidak hanya penting dari segi
produksi pengetahuan; kajian-kajian itu juga akan menjadi bagian penting
pembangunan ruang publik yang dipenuhi tradisi akademik kritis, reflektif,
dan analitis. Tradisi kajian dan riset juga akan membuat ilmu pengetahuan dan
pemikiran tentang jender dan seksualitas dalam konteks Indonesia semakin
berkembang, melahirkan banyak konsep dan teori, tanpa harus menunggu perubahan
di level praktik sosial. Perguruan tinggi kita
sudah memiliki banyak akademisi dengan fokus riset (academic interest) pada
isu jender dan seksualitas. Kita perlu mendorong agar feminist scholar
tersebut lebih aktif dan intensif melakukan kajian dan riset, merespons
setiap perkembangan jender dan seksualitas dengan pendekatan akademik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar