Terbunuhnya
Gerakan Perempuan
Firliana Purwanti ; Penulis buku Perdagangan Perempuan dan
Pengedaran Narkotika
|
KORAN TEMPO, 30 April 2015
Pada Oktober 2014,
gerakan perempuan di Indonesia bersorak ketika Presiden Joko Widodo
mengumumkan bahwa delapan dari 34 menteri dalam kabinetnya adalah perempuan.
Selain komposisi perempuan dalam kabinet, alat ukur lain untuk menakar
kepedulian suatu rezim pemerintahan kepada perempuan adalah kebijakan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), karena lebih dari 50 persen TKI
adalah perempuan.
Kegelisahan bangsa
akan persoalan TKI pun
menjadi prioritas pertama dari sembilan agenda prioritas Jokowi yang disebut
Nawa Cita, yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi seluruh warga
negara Indonesia di luar negeri, khususnya pekerja migran. Prioritas yang
diajukan Jokowi ini memberi harapan tinggi dalam meningkatkan kondisi pekerja
migran Indonesia di luar negeri.
Itu sebabnya, ketika
Jokowi menolak permohonan grasi dari 64 terpidana hukuman mati, pembela hak
asasi manusia, terutama masyarakat sipil pembela hak buruh migran, adalah
kelompok yang paling keras mengkritik putusan ini. Karena menghapus hukuman
mati di dalam negeri adalah salah satu cara penting bagi diplomasi
internasional Indonesia dalam menyelamatkan 229 WNI yang terancam hukuman
mati di Malaysia, Arab Saudi, dan Cina.
Upaya negara
melaksanakan prioritas pertama dari Nawa Cita adalah menyelamatkan pekerja
migran di luar negeri tidak akan optimal ketika Indonesia tidak bisa
menerapkan asas resiprositas dalam diplomasi luar negerinya. Asas
resiprositas atau prinsip timbal balik dalam hukum internasional adalah, ketika suatu negara menginginkan suatu perlakuan yang
baik dari negara lain, negara tersebut juga harus memberi perlakuan yang baik
terhadap negara yang bersangkutan. Dalam konteks hukuman mati, jika Indonesia
mengharapkan negara lain memberi pengampunan atas sanksi hukuman mati terhadap
warga-negaranya, harus ada jaminan yang seimbang bahwa negara kita akan
memberi pengampunan ketika diminta untuk memberi pengampunan dari eksekusi
hukuman mati menurut hukum negara tersebut.
Pada 13 Februari 2015, Presiden
Joko Widodo menyatakan, "Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi.
Saya pastikan semuanya saya tolak, tidak akan."
Implikasi penolakan
grasi Presiden Jokowi atas grasi menempatkan Indonesia di posisi sulit untuk
melindungi warga negaranya di luar negeri. Ketika Jokowi menolak permohonan
grasi para terpidana mati, termasuk warga negara asing, Indonesia tidak
berhak menerapkan asas resiprositas dalam diplomasi perlindungan warga
negaranya di luar negeri. Hal ini berkontribusi pada gagalnya pemerintah
Indonesia menyelamatkan Siti Zaenab dan Karni yang dihukum pancung di Arab
Saudi pada pertengahan April 2015.
Dampak yang lebih luas
dari pelaksanaan hukuman mati adalah pelanggaran hak asasi manusia perempuan.
Mengapa? Karena ketika Presiden Jokowi memutuskan menolak grasi 64 terpidana
secara langsung tanpa membaca dan memeriksa kasusnya satu persatu (blanket decision), pengalaman
perempuan terpidana mati yang seharusnya bisa dijadikan dasar pemaaf atau
peringan luput dari perhatiannya untuk menjadi bahan pertimbangan.
Lihat saja kasus Rani
Andriani dan Mary Jane. Pengalaman apa yang diabaikan oleh Presiden Jokowi?
Rani Andriani, 28
tahun, perempuan Indonesia, dikenakan pidana hukuman mati akibat tertangkap
tangan membawa narkotik sebanyak 6,5 kilogram. Akibat jeratan utang keluarga,
ia terpaksa mengambil pekerjaan sebagai kurir dan tidak sepenuhnya mengetahui
bahwa isi kopernya adalah obat-obatan terlarang. Ia dieksekusi mati saat
berumur 38 di Nusakambangan pada 18 Januari 2015.
Mary Jane, 30 tahun, perempuan
Filipina—diiming-imingi
pekerjaan di Indonesia, uang sebesar US$ 500, tiket pesawat, dan dibekali
koper, tanpa mengetahui isinya—memutuskan terbang ke Yogyakarta. Di bandara,
ia tertangkap tangan membawa 2,6 kilogram heroin di dalam kopernya.
Berdasarkan cerita
pengalaman hidup itu, keduanya bisa dikategorikan sebagai korban perdagangan
perempuan terselubung dalam pengiriman buruh migran atau diperdaya oleh
jaringan perdagangan narkotik. Mengabaikan fakta hukum ini dalam menolak
permohonan grasi mereka adalah pelanggaran hak asasi.
Dampak lain dari
keputusan Presiden Jokowi yang gagal memperhatikan aspek diskriminasi dan
pelanggaran hak asasi perempuan dalam kasus hukuman mati Rani dan Mary Jane
adalah penghancuran argumentasi yang selama ini diusung gerakan perempuan,
bahwa lebih banyak jumlah perempuan di arena pembuat keputusan maka
probabilitas kebijakan adil gender akan lebih tinggi.
Pada rezim Jokowi
inilah publik dipertontonkan bahwa jumlah perempuan di kabinet yang tinggi
tidak serta-merta dibarengi dengan kualitas kebijakan yang adil bagi
perempuan. Ternyata
mengangkat delapan perempuan sebagai menteri—termasuk Menteri Luar Negeri—di
kabinet hanyalah sogokan untuk gerakan sosial dan tidak membawa kebaikan
untuk hak asasi manusia perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar