Jumat, 22 Mei 2015

Revolusi di Kebun Anggur

Revolusi di Kebun Anggur

Y Ari Nurcahyo  ;   Direktur Eksekutif PARA Syndicate
KOMPAS, 22 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dramaturgi politik Presiden Joko Widodo yang lebih banyak menampilkan pencitraan di ”depan” panggung, tetapi lambat menjalankan konsolidasi di ”belakang” panggung, terbukti menggerus tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahannya.

Dalam enam bulan pertama percaya diri politik turun dengan tajam. Untuk mengembalikan harapan publik, saat ini mendesak bagi Jokowi merevolusi kebun anggur kekuasaannya: segera melakukan terobosan signifikan menunaikan revolusi mental dan segera mengganti pembantunya yang tak cakap bekerja.

Tim transisi bermasalah

Kesalahan kecil dalam mengeksekusi kebijakan politik di awal telah membuka kotak persoalan yang mengatasinya berlarut-larut. Berawal dari keberadaan tim transisi yang problematik, antiklimaks pembentukan kabinet balas jasa yang oleh Daoed Joesoef disebut sebagai the longest week that ever exist menemukan aktualitasnya pada kebijakan prematur, seperti Kartu Indonesia Sehat, pergantian pemimpin Polri yang menyeret kemelut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu meluruskan kebijakan politik yang bengkok lebih sulit daripada membetulkan kebijakan ekonomi yang melenceng. Sejak awal beberapa kebijakan politik Jokowi berkesan tidak tepat.

Ketika pemilu presiden, banyak orang mengapresiasi Jokowi mencanangkan revolusi mental. Jokowi menulis ”Revolusi Mental” di Kompas (10/5/2014) melihat reformasi yang telah bergulir 16 tahun baru sebatas kelembagaan, belum menyentuh paradigma, cara pikir, mental— apalagi membudaya—akibat salah kaprah dan salah kelola pembangunan yang belum menggerakkan manusia sebagai subyek. Ia menawarkan terobosan budaya politik untuk membangun Indonesia baru yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya sesuai dengan gagasan Trisakti Bung Karno.

Setahun kemudian, revolusi mental sebagai gagasan sentral Jokowi dalam menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasi permasalahan bangsa jauh panggang dari api dan surut ke belakang karena belum ada realisasi konsep yang membumi di ranah kebijakan.

Dari awal Jokowi tampak tak paham bahwa pusat gravitasi revolusi mental adalah pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kebudayaan. Penulis sependapat dengan Daoed Joesoef (Kompas, 7/11/2014) bahwa kebijakan Jokowi memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sungguh merisaukan dan bisa berakibat fatal karena pendidikan adalah satu keseluruhan meski dibuat berjenjang dan merupakan bagian dari kebudayaan. Karena sejak awal Jokowi keliru memahami pendidikan dan kebudayaan, orbit realisasi revolusi mental lembam di aras kebijakan.

Revolusi mental seharusnya menjadi gerakan menanam mimpi Indonesia jaya di kebun anggur kebudayaan. Indonesia punya modal membangun kejayaan: 67 juta anak muda berumur 10-24 tahun sebagai berkah demografi. Merekalah calon pemimpin dan penggerak pembangunan Indonesia 30 tahun mendatang. Namun, prasyarat yang kita miliki meraih bonus demografi itu masih jauh dari harapan. Pemerintah hanya punya waktu kurang dari 15 tahun untuk serius melakukan terobosan strategis dan berkelanjutan sehingga bisa meraih kesempatan emas di puncak bonus demografi pada 2028-2031 (Kompas, 28/4).

Kita punya tak hanya kesempatan besar menggerakkan pembangunan dan kemajuan bangsa, tetapi juga menentukan masa depan, seperti yang mau kita ciptakan mulai dari hari ini. Apakah bangsa ini akan terus menguras semua sumber dayanya sekadar membunuh waktu, ataukah kita mau bergerak menggunakan segala sumber daya yang masih ada untuk menghidupkan waktu sehingga roda pembangunan berputar kencang. Kuncinya ada pada keseriusan kita menyingkirkan kebebalan logika untuk memahami Indonesia.

Gagasan besar revolusi mental, Trisakti, Nawacita, dan poros maritim harus mampu menggerakkan mimpi bangsa di orbit kebudayaan sehingga mampu melahirkan perubahan budaya masyarakat baru yang menghargai kebaikan dan keutamaan hidup, seperti kejujuran, rendah hati, kerja keras, tangguh, sederhana, hormat dan menghargai, serta antikorupsi. Ikhtiar membangun paradigma dan mental baru itu butuh stamina dan kesabaran melakukan gerakan pembudayaan aktif. Nilai dan keutamaan seperti itu yang harus segera ditanam di kebun anggur kebudayaan kita yang kian hari kian gersang dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jalan bahasa

Meminjam filsafat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia mengajar dirinya sendiri, manusia adalah sang pembelajar hidup di kebun kebudayaannya. Kebudayaan semacam sekolah tempat manusia belajar sekaligus mengajar; menyekolahkan manusia bertumbuh semakin berbudaya, seraya di saat yang sama ia menambah- kan suatu nilai.

Jalan kebudayaan menegaskan arti kebudayaan sebagai kata kerja, bukan kata benda yang diam atau sudah jadi. Seperti uraiannya yang menyebut gejala kebudayaan berlangsung dalam suatu tegangan antara imanensi (yang melingkupi) dan transendensi (yang mengatasi), CA van Peursen (1976) melihat kebudayaan sebagai rencana tertentu. Maka, jalan kebudayaan harus dimulai dari kerja menyiapkan suatu strategi kebudayaan.

Gagasan revolusi mental akan efektif menciptakan terobosan budaya baru jika dan hanya jika ia menjadi kerja bersama di jalan kebudayaan. Persis karena mental adalah gerak kesadaran manusia yang sedang menanami kebun anggur kebudayaannya. Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan nilai. Mewujudkan revolusi mental adalah kerja kebudayaan. Kita harus segera menyusun suatu kebijakan mengenai kebudayaan: menerobos dinamika kebudayaan dengan intensi habitus mental baru.

Johann Gottfried Herder (1744-1803) menyatakan bahasa sangat penting membentuk kesadaran diri suatu bangsa. Suatu bangsa ditempa oleh semangat nasionalnya (Volksgeist) yang muncul dari bahasa dan mencerminkan karakter tanah airnya. Bahasa nasional adalah roh penopang dan perawat identitas budaya dan kesadaran nasional suatu bangsa. Karena itu, strategi kebudayaan diwujudkan dengan mendaraskan revitalisasi bahasa Indonesia. Menguatnya arus globalisme memerlukan bahasa nasional sebagai penopang semangat nasional. Bahasa Indonesia, warisan par excellence Sumpah Pemuda 1928, sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan harus dikembalikan ke arus utama strategi kebudayaan Indonesia.

Ahli linguistik Universitas Gadjah Mada, Sudaryanto, mengidentifikasi dua fungsi bahasa yang khas dan hakiki: mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama (Kompas, 23/11/2014). Terdapat hubungan erat dan esensial antara keduanya. Revolusi mental dimungkinkan bila bangsa ini kembali menyadari fungsi hakiki bahasa itu. Bangsa ini diharapkan bisa mengembalikan fungsi bahasa Indonesia menjadi energi kreatif membangun kebudayaan, sebagai medium intelektual menelurkan nilai kebaikan dan keutamaan publik seluas-luasnya di masyarakat.

Seperti janji kampanye Jokowi, jalan perubahan untuk Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian dimulai dengan menghadirkan negara yang bekerja. Kini rakyat menunggu revolusi di kebun anggur Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar