Minggu, 24 Mei 2015

Kontroversi Perempuan Pansel KPK

Kontroversi Perempuan Pansel KPK

Samsul Wahidin  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
JAWA POS, 23 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEPERTI tiada henti, kontroversi dibuat dalam mengelola negeri ini. Kali ini, seluruh anggota Panitia Seleksi (Pansel) KPK adalah perempuan. Meski alasan pemilihan seluruh anggota perempuan itu tidak disebutkan, setidaknya penunjukan tersebut menyulut kontroversi yang justru sebenarnya bak kebalikan moto pegadaian: Menyelesaikan masalah dengan masalah. Semua dengan argumentasi yang kualitatif dan relatif.

Kebijakan itu seolah ’’menelanjurkan’’ bahwa lelaki tidak sesuai untuk duduk di posisi tersebut. Para agamawan yang reputasi moralitasnya tidak diragukan belum memenuhi syarat untuk duduk di pansel. Kebijakan itu juga bermakna percobaan. Bagaimana kalau seluruh anggota pansel adalah perempuan, tanpa laki-laki? Bukankah itu sejarah yang sangat penting sebagai buah kemenangan perempuan sebagai perwujudan kesetaraan gender?

Aspek Kewenangan

Dari segi kewenangan, kita semua yang membenci korupsi bercita-cita sekurangnya menginginkan terwujudnya tanah air yang bebas korupsi. Korupsi yang tidak semata dipandang sebagai penyimpangan administrasi, tetapi merupakan extraordinary crime. Kejahatan yang bisa membangkrutkan negara. Koruptor tidak semata merugikan keuangan, namun juga pelanggaran berat terhadap prinsip moralitas kehidupan bersama. Karena itu, koruptor layak dijatuhi hukuman mati.

Kesepakatan yang merupakan komitmen tersebut harus terefleksi dalam kinerja konkret, terutama dengan tampilnya orang-orang yang bersih melawan korupsi. Merekalah yang layak menduduki posisi pimpinan KPK. Kejahatan itu umumnya lebih banyak dilakukan kaum lelaki. Sebab, sebagian besar tempat strategis sebagai sumber perilaku korupsi diduduki lelaki. Jadi, keliru jika pansel yang akan memilih tokoh-tokoh itu bukan laki-laki.

Jika dirunut, seharusnya refleksi kewenangan untuk memberantas harus diduduki kaum lelaki. Pansel yang membentuk kepemimpinan KPK seharusnya terdiri atas kaum lelaki. Agak ganjil jika lelaki yang nanti menjalani seleksi berhadapan dengan perempuan yang kewenangan –yang bersumber pada biologis– dan geraknya lebih terbatas jika dibandingkan dengan lelaki. Bahasa wayangnya, seharusnya Arjuna, Werkudara, atau Gatotkaca, bukan Srikandi, apalagi Limbuk atau Cangik.

Pada aspek kewenangan, penunjukan anggota pansel itu merupakan hak prerogatif presiden. Namun, hak tersebut seharusnya diimplementasikan tidak semata dalam makna administratif. Aspek sosiokultural, termasuk agama, seharusnya dijadikan pertimbangan utama. Pada konsep agama, pansel itu adalah pemimpin. Orang yang akan menjadi pimpinan KPK harus tunduk pada aturan pansel yang semua perempuan. Jadi, itu bertentangan dengan khitah agama dan moralitas sosial.

Pemilihan tersebut tentu berdasar mekanisme yang terukur serta terbuka dan dilakukan tokoh yang memang punya kredibilitas untuk mendudukkan para tokoh yang layak jadi pionir pemberantasan korupsi, dalam hal ini adalah pimpinan KPK. Tetapi, harus dipahami pula, pansel tidak sedang menyeleksi malaikat dan anggota pansel sendiri bukan malaikat. Semua adalah manusia yang tidak luput dari cela dan cacat. Namun, dengan memilih seluruh anggota pansel perempuan, itu sudah merupakan cacat bawaan.

Dari standar normatif yang menjadi acuan seleksi, di samping yang sudah tertulis, ada keharusan bersifat terukur dalam arti kinerja pansel yang dibentuk itu menggunakan standar yang akuntabel. Akuntabilitas yang tecermin dari profil yang secara sosial bisa diterima. Dan itu ada pada lelaki, bukan perempuan.

Dengan keharusan kinerja bersifat terbuka, tidak ada kasak-kusuk yang memandang perspektif pemberantasan korupsi dari dimensi yang objektif. Tidak pandang tempat atau asal dari mana pimpinan KPK nanti dipilih. Yang paling mengetahui implementasi hal itu adalah lelaki. Mengartikulasikan hal tersebut bagi seorang perempuan cenderung menjadi fitnah.

Penyimpangan Administrasi

Tidak bermaksud prejudice, seharusnya tokoh pansel adalah orang yang mempunyai relasi terhadap permasalahan korupsi. Ibarat mengangkat mandor atau pengawas keamanan, hendaknya sosok itu diambil dari tokoh yang dekat dengan masalah keamanan atau orang yang punya hubungan atau relasi yang kuat dengan apa yang seharusnya dijaga. Jadi, ada hubungan emosional yang kuat antara pekerjaan dan personnya. Kalau tidak, mereka akan kehilangan jiwa dari pekerjaan yang dimaksud.

Kali ini begitu aneh. Entah bermaksud vevire pericoloso atau ada motivasi lain menunjuk anggota pansel perempuan semua. Cenderung aneh pula, tidak ada seorang pun di antara sembilan peson itu yang laki-laki. Pada satu sisi, itu menjadi kemajuan penting dalam kaitan dengan bias gender. Tetapi, tentu itu bukan masalah dasar yang harus dijadikan pertimbangan. Objektif, bagaimanapun, akses dan orientasi perempuan tidak akan lebih kuat daripada laki-laki. Apalagi ketika yang dihadapi adalah permasalahan yang berkaitan dengan extraordinary crime.

Harapan besar untuk memberantas korupsi, formalnya, ditujukan kepada kepolisian, KPK, dan kejaksaan. Namun, apakah bisa dijamin para tokoh perempuan yang kendati ’’hanya’’ menjadi pansel itu bisa memilih pimpinan KPK yang benar-benar teruji? Dari perspektif ini, pandangan terhadap korupsi tampak lebih pada penyimpangan administratif daripada bersifat extraordinary crime.

Keharusan atau harapan agar KPK menjadi lembaga yang berwibawa juga sulit terpenuhi jika diisi tokoh yang diseleksi kaum perempuan, yang tentu perspektif kinerjanya akan lebih sempit, tidak sebagaimana lelaki. Kecuali jika nanti dari hasil kinerja itu yang terpilih juga sama-sama perempuan. Pansel perempuan menghasilkan pimpinan KPK perempuan? Oh... God...

Panitia seleksi itu sudah lengkap dalam arti keahliannya. Namun, keahlian yang dimaksud tentu tidak berorientasi pada penanganan permasalahan hukum yang memadai. Ketika nanti harus dijabarkan dalam peraturan yang menjadi syarat, hal itu tidak akan bisa terakomodasi secara maksimal, apalagi memperkuat KPK. Ketuanya adalah ekonom, ahli keuangan, dan moneter. Dalam perspektif ini, yang menjadi masalah adalah pemberantasan korupsi yang memandang sebagai permasalahan ekonomi. Padahal, permasalahan korupsi merupakan dimensi hukum serta perilaku menyimpang secara psikologis.

Hal yang juga seharusnya dipertimbangkan, pansel itu mencerminkan aspek sosiokultural. Dalam filosofi Jawa, ada petitih bahwa rusaknya dunia itu karena tiga ta: harta, takhta, dan wanita. Itu memang relatif, tetapi sampai sekarang belum terpatahkan. Jadi, bagaimana mungkin mengangkat perempuan sebagai key person dalam membentuk kepemimpinan KPK yang kuat, sedangkan wanita dalam perspektif ini menjadi sumber kerusakan?

Meski presiden berharap pansel segera bekerja, di sana juga terselip harapan, pansel yang kontroversial itu menjadi catatan yang dengan penuh harap dipertimbangkan kembali untuk mewujudkan harapan presiden tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar