Kontroversi
Perempuan Pansel KPK
Samsul Wahidin ; Guru Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
|
JAWA POS, 23 Mei 2015
SEPERTI
tiada henti, kontroversi dibuat dalam mengelola negeri ini. Kali ini, seluruh
anggota Panitia Seleksi (Pansel) KPK adalah perempuan. Meski alasan pemilihan
seluruh anggota perempuan itu tidak disebutkan, setidaknya penunjukan
tersebut menyulut kontroversi yang justru sebenarnya bak kebalikan moto
pegadaian: Menyelesaikan masalah dengan masalah. Semua dengan argumentasi
yang kualitatif dan relatif.
Kebijakan
itu seolah ’’menelanjurkan’’ bahwa lelaki tidak sesuai untuk duduk di posisi
tersebut. Para agamawan yang reputasi moralitasnya tidak diragukan belum
memenuhi syarat untuk duduk di pansel. Kebijakan itu juga bermakna percobaan.
Bagaimana kalau seluruh anggota pansel adalah perempuan, tanpa laki-laki?
Bukankah itu sejarah yang sangat penting sebagai buah kemenangan perempuan
sebagai perwujudan kesetaraan gender?
Aspek Kewenangan
Dari
segi kewenangan, kita semua yang membenci korupsi bercita-cita sekurangnya
menginginkan terwujudnya tanah air yang bebas korupsi. Korupsi yang tidak
semata dipandang sebagai penyimpangan administrasi, tetapi merupakan extraordinary crime. Kejahatan yang
bisa membangkrutkan negara. Koruptor tidak semata merugikan keuangan, namun
juga pelanggaran berat terhadap prinsip moralitas kehidupan bersama. Karena
itu, koruptor layak dijatuhi hukuman mati.
Kesepakatan
yang merupakan komitmen tersebut harus terefleksi dalam kinerja konkret,
terutama dengan tampilnya orang-orang yang bersih melawan korupsi. Merekalah
yang layak menduduki posisi pimpinan KPK. Kejahatan itu umumnya lebih banyak
dilakukan kaum lelaki. Sebab, sebagian besar tempat strategis sebagai sumber
perilaku korupsi diduduki lelaki. Jadi, keliru jika pansel yang akan memilih
tokoh-tokoh itu bukan laki-laki.
Jika
dirunut, seharusnya refleksi kewenangan untuk memberantas harus diduduki kaum
lelaki. Pansel yang membentuk kepemimpinan KPK seharusnya terdiri atas kaum
lelaki. Agak ganjil jika lelaki yang nanti menjalani seleksi berhadapan
dengan perempuan yang kewenangan –yang bersumber pada biologis– dan geraknya
lebih terbatas jika dibandingkan dengan lelaki. Bahasa wayangnya, seharusnya
Arjuna, Werkudara, atau Gatotkaca, bukan Srikandi, apalagi Limbuk atau
Cangik.
Pada
aspek kewenangan, penunjukan anggota pansel itu merupakan hak prerogatif
presiden. Namun, hak tersebut seharusnya diimplementasikan tidak semata dalam
makna administratif. Aspek sosiokultural, termasuk agama, seharusnya dijadikan
pertimbangan utama. Pada konsep agama, pansel itu adalah pemimpin. Orang yang
akan menjadi pimpinan KPK harus tunduk pada aturan pansel yang semua
perempuan. Jadi, itu bertentangan dengan khitah agama dan moralitas sosial.
Pemilihan
tersebut tentu berdasar mekanisme yang terukur serta terbuka dan dilakukan
tokoh yang memang punya kredibilitas untuk mendudukkan para tokoh yang layak
jadi pionir pemberantasan korupsi, dalam hal ini adalah pimpinan KPK. Tetapi,
harus dipahami pula, pansel tidak sedang menyeleksi malaikat dan anggota
pansel sendiri bukan malaikat. Semua adalah manusia yang tidak luput dari
cela dan cacat. Namun, dengan memilih seluruh anggota pansel perempuan, itu
sudah merupakan cacat bawaan.
Dari
standar normatif yang menjadi acuan seleksi, di samping yang sudah tertulis,
ada keharusan bersifat terukur dalam arti kinerja pansel yang dibentuk itu
menggunakan standar yang akuntabel. Akuntabilitas yang tecermin dari profil
yang secara sosial bisa diterima. Dan itu ada pada lelaki, bukan perempuan.
Dengan
keharusan kinerja bersifat terbuka, tidak ada kasak-kusuk yang memandang
perspektif pemberantasan korupsi dari dimensi yang objektif. Tidak pandang
tempat atau asal dari mana pimpinan KPK nanti dipilih. Yang paling mengetahui
implementasi hal itu adalah lelaki. Mengartikulasikan hal tersebut bagi
seorang perempuan cenderung menjadi fitnah.
Penyimpangan Administrasi
Tidak
bermaksud prejudice, seharusnya
tokoh pansel adalah orang yang mempunyai relasi terhadap permasalahan
korupsi. Ibarat mengangkat mandor atau pengawas keamanan, hendaknya sosok itu
diambil dari tokoh yang dekat dengan masalah keamanan atau orang yang punya
hubungan atau relasi yang kuat dengan apa yang seharusnya dijaga. Jadi, ada
hubungan emosional yang kuat antara pekerjaan dan personnya.
Kalau tidak, mereka akan kehilangan jiwa dari pekerjaan yang dimaksud.
Kali ini
begitu aneh. Entah bermaksud vevire
pericoloso atau ada motivasi lain menunjuk anggota pansel perempuan
semua. Cenderung aneh pula, tidak ada seorang pun di antara sembilan peson itu yang laki-laki. Pada satu sisi, itu
menjadi kemajuan penting dalam kaitan dengan bias gender. Tetapi, tentu itu
bukan masalah dasar yang harus dijadikan pertimbangan. Objektif,
bagaimanapun, akses dan orientasi perempuan tidak akan lebih kuat daripada
laki-laki. Apalagi ketika yang dihadapi adalah permasalahan yang berkaitan
dengan extraordinary crime.
Harapan
besar untuk memberantas korupsi, formalnya, ditujukan kepada kepolisian, KPK,
dan kejaksaan. Namun, apakah bisa dijamin para tokoh perempuan yang kendati
’’hanya’’ menjadi pansel itu bisa memilih pimpinan KPK yang benar-benar
teruji? Dari perspektif ini, pandangan terhadap korupsi tampak lebih pada
penyimpangan administratif daripada bersifat extraordinary crime.
Keharusan
atau harapan agar KPK menjadi lembaga yang berwibawa juga sulit terpenuhi
jika diisi tokoh yang diseleksi kaum perempuan, yang tentu perspektif kinerjanya
akan lebih sempit, tidak sebagaimana lelaki. Kecuali jika nanti dari hasil
kinerja itu yang terpilih juga sama-sama perempuan. Pansel perempuan
menghasilkan pimpinan KPK perempuan? Oh...
God...
Panitia
seleksi itu sudah lengkap dalam arti keahliannya. Namun, keahlian yang
dimaksud tentu tidak berorientasi pada penanganan permasalahan hukum yang
memadai. Ketika nanti harus dijabarkan dalam peraturan yang menjadi syarat,
hal itu tidak akan bisa terakomodasi secara maksimal, apalagi memperkuat KPK.
Ketuanya adalah ekonom, ahli keuangan, dan moneter. Dalam perspektif ini,
yang menjadi masalah adalah pemberantasan korupsi yang memandang sebagai
permasalahan ekonomi. Padahal, permasalahan korupsi merupakan dimensi hukum
serta perilaku menyimpang secara psikologis.
Hal yang
juga seharusnya dipertimbangkan, pansel itu mencerminkan aspek sosiokultural.
Dalam filosofi Jawa, ada petitih bahwa rusaknya dunia itu karena tiga ta: harta, takhta, dan wanita. Itu memang relatif, tetapi
sampai sekarang belum terpatahkan. Jadi, bagaimana mungkin mengangkat
perempuan sebagai key person dalam
membentuk kepemimpinan KPK yang kuat, sedangkan wanita dalam perspektif ini
menjadi sumber kerusakan?
Meski
presiden berharap pansel segera bekerja, di sana juga terselip harapan,
pansel yang kontroversial itu menjadi catatan yang dengan penuh harap
dipertimbangkan kembali untuk mewujudkan harapan presiden tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar