Jumat, 15 Mei 2015

Geger Orang Mengejar Macan

Geger Orang Mengejar Macan

Ahmad Tohari  ;  Budayawan,
pernah ditunjuk sebagai anggota Komite Sastra Lesbumi Pusat
JAWA POS, 14 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASYARAKAT Nahdlatul Ulama (NU) yang diakui begitu rela menerima kearifan-kearifan lokal Jawa dalam kehidupannya tentu mengerti bahwa harimau atau macan adalah binatang lambang kekuasaan. Maka, bila seseorang mimpi bertemu seekor macan, dia percaya akan berhadapan dengan penguasa atau malah bakal memperoleh jatah kekuasaan. Dan dalam sebuah tembang dandanggula berusia ratusan tahun, ada kosakata macan dalam sebuah pupuh yang bernada sindiran amat tajam:

Semut ireng anak-anak sapi (Semut hitam beranak sapi)
Kebo bongkang anyabrang bengawan (Kecoak menyeberang sungai)
Keyong gondhang dawa sungute (Siput gondhang bermisai panjang)
Timun wungkuk ginotong wolu (Timun bungkuk digotong berdelapan)
Surabaya geger kepati (Surabaya geger bertaruh nyawa)
Gegere wong ngoyak macan (Geger orang mengejar macan)
Den wadhahi bumbung (Diwadahi seruas bambu)
Gajah meta cinancang wit sidaguri (Gajah besar terikat di pohon sidaguri)
Matine cinakar ayam (Matinya dicakar ayam)

Pupuh dandanggula di atas diciptakan pujangga zaman dulu agaknya untuk menyindir munculnya gejala yang aeng-aeng, aneh dan menyimpang. Maka, sang pujangga menggunakan susunan kalimah yang logikanya juga aneh: semut hitam beranak sapi, kecoak menyeberangi sungai, siput berkumis panjang, dan seterusnya. Dan di mata sang pujangga, munculnya gejala yang aeng-aeng dan menyimpang itu disebabkan nafsu yang berkecamuk ketika banyak manusia berusaha mengejar macan lambang kekuasaan. Celakanya, setelah ada di tangan, lambang kekuasaan itu hanya ditempatkan di ruang sempit, sesempit lubang seruas bambu. Tentu sang pujangga sudah waskita bahwa para pengejar macan akan menggunakan kekuasaan yang berhasil diraih hanya untuk memenuhi kepentingan yang sempit atau bahkan pribadi.
***
Ketika sedang kuliah di Universitas Hokkaido, Jepang, anak saya mengirim e-mail untuk mengajukan pertanyaan, ”Pak, apakah NU punya masa depan?” Entah mengapa anak itu bertanya demikian. Mungkin karena anak saya sudah berkenalan dengan Prof Maksum, orang NU yang mengabdikan diri kepada kaum tani miskin. Ahli pertanian pangan tersebut menyadari, kebanyakan petani miskin itu adalah kaum nahdliyin. Prof Maksum dan anak saya sama-sama dosen di UGM.
Karena merasa sulit menjawab, maka di lain waktu pertanyaan tersebut saya teruskan ke saudara saya Masdar Farid Mas’udi, cendekiawan di PB NU. Jawaban Masdar F.M. cukup mengesankan. Katanya, dari sekian banyak organisasi sosial, malah NU yang paling punya masa depan. Menurut dia, karena massa NU besar jumlahnya dan mudah dikumpulkan, jaringan organisasi NU sampai ke semua pelosok, serta warganya punya kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin. ”Saat ini NU tidak tertandingi oleh organisasi mana pun dalam hal kemampuan mengumpulkan warganya,” kata Masdar.
Jawaban itu benar, tapi terlalu sederhana, tentu karena diberikan hanya secara lisan dalam pembicaraan yang singkat. Bila Masdar menjawabnya dalam bentuk sebuah artikel, tentu akan lebih lengkap dan mendasar sehingga inti jawabannya bisa bernuansa lain. Saya sendiri berpendapat, dalam keadaan seperti saat ini, sulit mengatakan bahwa NU punya masa depan yang baik. Pendapat saya tersebut senada dengan pikiran seorang tokoh NU yang mengatakan bahwa kondisi NU itu ajek, tidak kunjung hidup meskipun juga tak kunjung mati.
Tokoh itu juga sering mengatakan, seharusnya NU sejak awal berkembang menjadi suatu jamiyah (jam’iyyah) karena NU adalah sebuah badan organik yang lengkap dengan AD dan ART. Dengan demikian, yang namanya NU adalah organisasi struktural dan tidak bisa diberi sebutan kultural. Lahirnya istilah NU kultural mengakibatkan dualisme kepemimpinan yang amat merugikan. Karena istilah itu, peran seorang tokoh ”kultural” yang sesungguhnya hanya berstatus simpatisan (bila punya KTA statusnya anggota) sering melampaui struktural sehingga kepengurusan resmi NU bisa lumpuh. Saya kira hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa NU yang seharusnya maujud hanya sebagai jam’iyyah malah lebih hadir sebagai jamaah (jama’ah), dan entah sampai kapan.
Lalu apa yang dimaksudkan secara salah kaprah dengan ”NU kultural”? Itu adalah basis, simpatisan, dan pendukung NU, yakni masyarakat yang berkultur aswaja. Maka, sebenarnya ada dua entitas yang harus dibedakan, yakni NU dan aswaja. NU itu terstruktur, jam’iyyah, dan aswaja adalah kultur yang tidak berstruktur, jama’ah. Pengurus NU terstruktur dan tentu pengikut aswaja. Di luar struktur seharusnya disebut anggota atau simpatisan NU. Mereka juga berkultur aswaja dan sebaiknya tidak disebut NU kultural. Karena sekali disebut NU, dia bersifat struktural saja.
Saya sendiri menambahkan, dan ini merupakan pendapat umum, sebuah organisasi modern yang sehat harus punya program yang terarah, istiqamah, dan rasional-aplikatif. Selain itu harus mampu menghimpun dan mengelola keuangan secara profesional dan amanah. Nah, sepertinya NU belum mampu menciptakan kondisi seperti itu. Keputusan-keputusan muktamar terasa kurang efektif, bahkan sering dipelintir di tingkat bawah. Misalnya, ada pengurus anak cabang yang bilang, ”Itu kan keputusan di muktamar. Di sini ya saya sesuaikan.” Selain itu, di semua tingkat, keuangan organisasi NU, dananya ada atau tidak, mungkin tak pernah diaudit. Sering terjadi keuangan organisasi berada dalam rekening atau saku pribadi ketua pengurusnya. Kondisi seperti itu jelas tidak akan menjadikan NU punya masa depan.
NU Berubah Arah?

Akhirnya, kepada anak yang sedang menempuh studi S-3 bidang konstruksi baja di Hokkaido tadi, saya memberikan jawaban dengan sedih. ”Nak, masa depan NU suram.” Selain hal-hal tidak menguntungkan yang sudah disebut, bahkan ada masalah yang lebih mendasar, yaitu arah gerak dan perkhidmatan atau orientasi NU. Mau ke mana NU?

Pada awal berdirinya, NU sangat jelas berorientasi keumatan, populis. Dengan sarana organisasi struktural NU, para pemimpin bertekad membangun masyarakat aswaja agar menjadi kaum yang berkembang pemikirannya, maju perdagangan dan ekonominya, serta menjadi patriot Indonesia. Saya yakin para pemimpin NU masa lalu amat menyadari bahwa orientasi keumatan adalah bentuk perkhidmatan di jalan Ilahi. Dan sekaligus merupakan amanat atas kepentingan umat yang harus ditunaikan dengan ikhlas. Ya, karena faktor keikhlasan itu, banyak terdengar cerita bahwa tokoh dan ulama masa itu saling menghindar dari jabatan struktural, apalagi untuk posisi rais am yang merupakan amanat tertinggi dan pada hakikatnya amat berat. ”Amanat jangan dicari-cari. Tetapi, bila dia benar-benar datang, jangan menghindar.” Demikian nalar para pendahulu NU.
Orientasi keumatan mereka sangat kukuh. Namun, sejak meningkatnya dinamika politik dan merasuknya kekuatan kepentingan ekonomi beberapa dekade terakhir, NU seperti perahu besar yang terombang-ambing dan kehilangan mercusuar. Orientasi keumatan yang merupakan roh utamanya tertinggal di buritan. Kekuatan tak tampak yang mewakili kepentingan politik dan ekonomi selalu berusaha merebut kendali dan menjadi nakhoda perahu besar NU. Maka, senyatanya saat ini NU telah beralih ke orientasi kekuasaan. Kebanyakan pengurus NU di semua tingkat sudah punya hobi bermain politik dalam arti ingin ikut menjadi agen kekuasaan.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu ”bisa dimaklumi” lahirnya ungkapan Surabaya geger kepati, gegere wong ngoyak macan. Di dalam tubuh NU terjadi euforia persaingan berebut jadi pengurus karena posisi itu mudah mendatangkan jatah kekuasaan. Sedangkan kepengurusan yang hakikatnya adalah amanat keumatan banyak diabaikan. Syahdan, apabila sebuah perahu besar telah galau dengan arah sejatinya, penumpang mau dibawa ke mana? Dan seperti apakah masa depan NU? Jawabnya bergantung apakah para pengurus NU hasil muktamar nanti bisa mengarahkan organisasi tersebut kembali ke orientasi keumatan atau tetap ingin menjadi pengejar-pengejar kekuasaan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar