MASYARAKAT Nahdlatul
Ulama (NU) yang diakui begitu rela menerima kearifan-kearifan lokal Jawa
dalam kehidupannya tentu mengerti bahwa harimau atau macan adalah binatang
lambang kekuasaan. Maka, bila seseorang mimpi bertemu seekor macan, dia
percaya akan berhadapan dengan penguasa atau malah bakal memperoleh jatah
kekuasaan. Dan dalam sebuah tembang dandanggula berusia ratusan tahun, ada
kosakata macan dalam sebuah pupuh yang bernada sindiran amat tajam:
Semut ireng
anak-anak sapi (Semut hitam beranak sapi)
Kebo bongkang anyabrang bengawan (Kecoak menyeberang sungai)
Keyong gondhang dawa sungute (Siput gondhang bermisai panjang)
Timun wungkuk ginotong wolu (Timun bungkuk digotong berdelapan)
Surabaya geger kepati (Surabaya geger bertaruh nyawa)
Gegere wong ngoyak macan (Geger orang mengejar macan)
Den wadhahi bumbung (Diwadahi seruas bambu)
Gajah meta cinancang wit sidaguri (Gajah besar terikat di pohon sidaguri)
Matine cinakar ayam (Matinya dicakar ayam)
Pupuh dandanggula di atas diciptakan pujangga zaman dulu
agaknya untuk menyindir munculnya gejala yang aeng-aeng, aneh dan menyimpang.
Maka, sang pujangga menggunakan susunan kalimah yang logikanya juga aneh:
semut hitam beranak sapi, kecoak menyeberangi sungai, siput berkumis panjang,
dan seterusnya. Dan di mata sang pujangga, munculnya gejala yang aeng-aeng
dan menyimpang itu disebabkan nafsu yang berkecamuk ketika banyak manusia
berusaha mengejar macan lambang kekuasaan. Celakanya, setelah ada di tangan,
lambang kekuasaan itu hanya ditempatkan di ruang sempit, sesempit lubang
seruas bambu. Tentu sang pujangga sudah waskita bahwa para pengejar macan akan
menggunakan kekuasaan yang berhasil diraih hanya untuk memenuhi kepentingan
yang sempit atau bahkan pribadi.
***
Ketika sedang kuliah di Universitas Hokkaido, Jepang, anak
saya mengirim e-mail untuk mengajukan pertanyaan, ”Pak, apakah NU punya masa
depan?” Entah mengapa anak itu bertanya demikian. Mungkin karena anak saya
sudah berkenalan dengan Prof Maksum, orang NU yang mengabdikan diri kepada
kaum tani miskin. Ahli pertanian pangan tersebut menyadari, kebanyakan petani
miskin itu adalah kaum nahdliyin. Prof Maksum dan anak saya sama-sama dosen
di UGM.
Karena merasa sulit menjawab, maka di lain waktu pertanyaan
tersebut saya teruskan ke saudara saya Masdar Farid Mas’udi, cendekiawan di
PB NU. Jawaban Masdar F.M. cukup mengesankan. Katanya, dari sekian banyak
organisasi sosial, malah NU yang paling punya masa depan. Menurut dia, karena
massa NU besar jumlahnya dan mudah dikumpulkan, jaringan organisasi NU sampai
ke semua pelosok, serta warganya punya kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin.
”Saat ini NU tidak tertandingi oleh organisasi mana pun dalam hal kemampuan
mengumpulkan warganya,” kata Masdar.
Jawaban itu benar, tapi terlalu sederhana, tentu karena
diberikan hanya secara lisan dalam pembicaraan yang singkat. Bila Masdar
menjawabnya dalam bentuk sebuah artikel, tentu akan lebih lengkap dan
mendasar sehingga inti jawabannya bisa bernuansa lain. Saya sendiri
berpendapat, dalam keadaan seperti saat ini, sulit mengatakan bahwa NU punya
masa depan yang baik. Pendapat saya tersebut senada dengan pikiran seorang
tokoh NU yang mengatakan bahwa kondisi NU itu ajek, tidak kunjung hidup
meskipun juga tak kunjung mati.
Tokoh itu juga sering mengatakan, seharusnya NU sejak awal
berkembang menjadi suatu jamiyah (jam’iyyah) karena NU adalah sebuah badan
organik yang lengkap dengan AD dan ART. Dengan demikian, yang namanya NU
adalah organisasi struktural dan tidak bisa diberi sebutan kultural. Lahirnya
istilah NU kultural mengakibatkan dualisme kepemimpinan yang amat merugikan.
Karena istilah itu, peran seorang tokoh ”kultural” yang sesungguhnya hanya
berstatus simpatisan (bila punya KTA statusnya anggota) sering melampaui
struktural sehingga kepengurusan resmi NU bisa lumpuh. Saya kira hal tersebut
menjadi salah satu penyebab mengapa NU yang seharusnya maujud hanya sebagai
jam’iyyah malah lebih hadir sebagai jamaah (jama’ah), dan entah sampai kapan.
Lalu apa yang dimaksudkan secara salah kaprah dengan ”NU
kultural”? Itu adalah basis, simpatisan, dan pendukung NU, yakni masyarakat
yang berkultur aswaja. Maka, sebenarnya ada dua entitas yang harus dibedakan,
yakni NU dan aswaja. NU itu terstruktur, jam’iyyah, dan aswaja adalah kultur
yang tidak berstruktur, jama’ah. Pengurus NU terstruktur dan tentu pengikut
aswaja. Di luar struktur seharusnya disebut anggota atau simpatisan NU.
Mereka juga berkultur aswaja dan sebaiknya tidak disebut NU kultural. Karena
sekali disebut NU, dia bersifat struktural saja.
Saya sendiri menambahkan, dan ini merupakan pendapat umum,
sebuah organisasi modern yang sehat harus punya program yang terarah,
istiqamah, dan rasional-aplikatif. Selain itu harus mampu menghimpun dan
mengelola keuangan secara profesional dan amanah. Nah, sepertinya NU belum
mampu menciptakan kondisi seperti itu. Keputusan-keputusan muktamar terasa
kurang efektif, bahkan sering dipelintir di tingkat bawah. Misalnya, ada
pengurus anak cabang yang bilang, ”Itu kan keputusan di muktamar. Di sini ya
saya sesuaikan.” Selain itu, di semua tingkat, keuangan organisasi NU,
dananya ada atau tidak, mungkin tak pernah diaudit. Sering terjadi keuangan
organisasi berada dalam rekening atau saku pribadi ketua pengurusnya. Kondisi
seperti itu jelas tidak akan menjadikan NU punya masa depan.
NU Berubah Arah?
Akhirnya, kepada
anak yang sedang menempuh studi S-3 bidang konstruksi baja di Hokkaido tadi,
saya memberikan jawaban dengan sedih. ”Nak, masa depan NU suram.” Selain
hal-hal tidak menguntungkan yang sudah disebut, bahkan ada masalah yang lebih
mendasar, yaitu arah gerak dan perkhidmatan atau orientasi NU. Mau ke mana
NU?
Pada awal berdirinya, NU sangat jelas berorientasi keumatan,
populis. Dengan sarana organisasi struktural NU, para pemimpin bertekad
membangun masyarakat aswaja agar menjadi kaum yang berkembang pemikirannya,
maju perdagangan dan ekonominya, serta menjadi patriot Indonesia. Saya yakin
para pemimpin NU masa lalu amat menyadari bahwa orientasi keumatan adalah
bentuk perkhidmatan di jalan Ilahi. Dan sekaligus merupakan amanat atas
kepentingan umat yang harus ditunaikan dengan ikhlas. Ya, karena faktor
keikhlasan itu, banyak terdengar cerita bahwa tokoh dan ulama masa itu saling
menghindar dari jabatan struktural, apalagi untuk posisi rais am yang
merupakan amanat tertinggi dan pada hakikatnya amat berat. ”Amanat jangan
dicari-cari. Tetapi, bila dia benar-benar datang, jangan menghindar.”
Demikian nalar para pendahulu NU.
Orientasi keumatan mereka sangat kukuh. Namun, sejak
meningkatnya dinamika politik dan merasuknya kekuatan kepentingan ekonomi
beberapa dekade terakhir, NU seperti perahu besar yang terombang-ambing dan
kehilangan mercusuar. Orientasi keumatan yang merupakan roh utamanya
tertinggal di buritan. Kekuatan tak tampak yang mewakili kepentingan politik
dan ekonomi selalu berusaha merebut kendali dan menjadi nakhoda perahu besar
NU. Maka, senyatanya saat ini NU telah beralih ke orientasi kekuasaan.
Kebanyakan pengurus NU di semua tingkat sudah punya hobi bermain politik
dalam arti ingin ikut menjadi agen kekuasaan.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu ”bisa dimaklumi”
lahirnya ungkapan Surabaya geger
kepati, gegere wong ngoyak macan. Di dalam tubuh NU terjadi euforia
persaingan berebut jadi pengurus karena posisi itu mudah mendatangkan jatah
kekuasaan. Sedangkan kepengurusan yang hakikatnya adalah amanat keumatan
banyak diabaikan. Syahdan, apabila sebuah perahu besar telah galau dengan
arah sejatinya, penumpang mau dibawa ke mana? Dan seperti apakah masa depan
NU? Jawabnya bergantung apakah para pengurus NU hasil muktamar nanti bisa
mengarahkan organisasi tersebut kembali ke orientasi keumatan atau tetap
ingin menjadi pengejar-pengejar kekuasaan. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar