Financial
Deepening di Tengah Harapan Baru
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 07 Mei 2015
Saya yakin kita semua
masih ingat persis dengan pesta rakyat menyambut pelantikan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden RI, Senin (20/10), tahun
lalu. Meski panas terik menyengat Jakarta, rakyat tetap tumpah ruah di
sepanjang jalan yang dilintasi keduanya. Dengan meriah mereka mengelu-elukan
pasangan tersebut. Kita tentu bisa dengan mudah membaca di balik kemeriahan
tersebut. Bukan tentang pestanya, tetapi soal harapannya. Kemeriahan itu
adalah cermin melambungnya harapan yang rakyat titipkan kepada pasangan
tersebut.
Mereka ingin cepat
menyaksikan terjadinya perubahan di negara ini. Perubahan untuk menuju ke
arah yang lebih baik. Tapi, tak banyak orang yang mengerti bahwa perubahan
ini membutuhkan pengorbanan besar. Kalau digambarkan ke dalam sigmoid curve, untuk melonjak ke kurva
kedua, kita terpaksa harus melewati kurva alamiah yang meluncur ke bawah
sebelum naik ke atas. Mudah-mudahan begitulah adanya. Itu teorinya dan itu
pulalah yang biasa dijalani para change leader.
Perubahan Itu Pahit
Masalahnya, mau tidak
kita menjalani masa-masa pahit seperti itu? Apalagi ketika perubahan diambil,
kita akan melewati masa-masa penuh ketidakpastian dan ini dilakukan di
tengah-tengah perlambatan ekonomi Asia. Apalagi kalau koordinasi belum
efektif, orang terbaik belum bisa didapat, resistensi begitu kuat, dan stakeholders-nya begitu “bermain”.
Dan yang namanya
perubahan bisa berarti mengubahkebiasaan, cara berpikir, dan bertindak. Tak
kurang pula akan terjadi penghancuran-penghancuran terhadap institusi yang
sudah bertahun-tahun menguasai lapangan. Ketika kita berani saja mengatakan
“kini lebih baik”, kita pun akan menghadapi reaksi besar dari pihak yang
berkuasa di masa lalu. Ketika kenikmatan-kenikmatan yang biasa kita dapatkan dengan
mudah saja kini dialihkan, kita pun akan bereaksi sangat keras.
Nah, gabungannya
itulah yang kita rasakan hari-hari ini. Sudah banyak kenikmatannya diambil,
kerusakannya begitu cepat kita rasakan, ditambah ketidakpastian dan
kemunduran besar. Respons sektor keuangan begitu kencang. Hargaharga
melambung. Sementara hal-hal baru belum begitu cepat bisa kita rasakan. Jadi,
agaknya kita mesti panjang sabar.
Bahkan mengoreksi
ekspektasi kita yang sudah begitu tinggi kalau tak mau terperangkap dalam
rasa frustrasi, bahkan puyeng menghadapi informasi yang dikendalikan para
haters. Begitulah, sekarang kita saksikan kinerja pemerintahan kita sepanjang
kuartal I 2015, terutama dari sisi perekonomian, ternyata kurang begitu
menggembirakan. Selama kuartal I 2015, perekonomian kita hanya tumbuh 4,71%
atau di bawah target yang 5,7%.
Produk Terbatas
Saya kira ada banyak
faktor yang menjadi pemicu rendahnya pertumbuhan ekonomi kita. Kita bisa
memotretnya dari banyak sisi. Tapi, kali ini saya ingin memakai pendekatan
yang lebih simpel saja, yakni dengan melihatnya dari sektor finansial.
Mengapa? Sederhana saja. Kinerja di sektor finansial adalah potret dari yang
terjadi di sektor riil. Ini ibarat cermin.
Kalau kucuran kredit
dari industri perbankan menurun, itu pertanda bahwa sektor riil kita juga
sedang lesu. Di sektor finansial, salah satu isunya adalah soal financial
deepening atau kedalaman sektor finansial kita. Maksudnya, sektor finansial
kita ternyata terlalu dangkal sehingga manuver kita untuk melompat agak
terbatas. Saya bisa menunjukkan kepada Anda sejumlah potretnya. Misalnya,
instrumen pendanaan yang tersedia di pasar modal kita ternyata masih sangat
terbatas.
Kalau tidak saham, ya
obligasi. Atau, right, waran, dan reksadana. Begitu pula produk derivatifnya
masih sangat terbatas. Di bursa luar negeri, produk-produk semacam secondary mortgage sudah sangat
berkembang dan pasarnya lumayan besar. Di Indonesia, produk-produk derivatif
semacam ini masih sangat terbatas sehingga pasarnya pun kurang berkembang.
Akibatnya, mereka yang membutuhkan di sini pun harus berbelanja di negeri
seberang yang menguntungkan tetangga.
Malaysia, misalnya,
sudah sejak lama memiliki produk Real
Estate Invesment Trust (REIT). Di negara kita, produk REIT baru masuk
pasar pada akhir tahun 2012. Perusahaan yang menawarkan produk REIT juga
masih sangat terbatas sehingga tak mengherankan kalau pasarnya juga masih
sangat kecil. Begitulah, dengan jumlah produk yang sangat terbatas, tak
mengherankan bila rasio market
capitalization pasar modal kita terhadap produk domestik bruto (PDB) juga
menjadi sangat kecil, yakni hanya 46%.
Rasio kita ini jauh
tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 152%, Singapura 139%,
Thailand dan Filipina masing-masing 99% dan 97%. Investor individual di pasar
modal juga masih sedikit. Hanya 0,25% dari seluruh penduduk kita yang menjadi
investor. Kalah jauh dengan Malaysia yang 13% atau Singapura dan Australia yang
samasama mencapai 30%. Kita juga tidak punya merchant bank.
Di banyak negara,
kalau perusahaan Anda sudah menang tender pengadaan barang/ jasa atau
mengantongi surat DO (delivery order),
Anda bisa menjaminkan surat keterangannya ke merchant bank untuk mendapatkan
kredit modal kerja. Di sini? Mungkin Anda harus berhadapan dengan rentenir
yang hanya mau memberikan kredit modal kerja kalau imbalannya suku bunga yang
selangit. Kita ternyata juga tidak punya investment
bank lokal yang cukup tangguh. Adanya investment
bank dari luar yang beroperasi di
sini seperti JP Morgan Chase atau Bank DBS Indonesia.
Bergantung Bank
Dengan produk pasar
modal yang masih terbatas (“masih dangkal”), akhirnya banyak perusahaan kita
yang terpaksa mengandalkan bank sebagai sumber pendanaan. Namun, di lain
pihak, produk yang ditawarkan pun kurang bervariasi. Kalau Anda pergi ke
daerah, Anda akan semakin menyaksikan keragaman produk perbankan dari
bank-bank milik pemerintahan daerah yang amat terbatas.
Pegawainya masih
terbelenggu dalam zona nyaman dengan funding
dan market yang captive, yaitu pemerintah dan
pegawai-pegawainya. Kalau Anda berhubungan dengan perbankan syariah, Anda
akan menemukan pengembangan produk yang tersendat. Apalagi bila dibandingkan
dengan perbankan syariah di negeri seberang. Alhasil biaya beperbankan kita
pun menjadi sangat mahal. Ada interest
cost opportunity yang hilang.
Maksudnya, karena
perusahaan mesti membayar dengan harga yang lebih mahal, dia kehilangan
peluang untuk memanfaatkan dananya. Masih ada lagi opportunity yang hilang. Pada banyak perusahaan, mereka bisa
memakai kolateralnya untuk me-leverage
dana dari pihak ketiga. Nilainya mungkin bisa tiga sampai empat kali lipat
dari nilai kolateralnya tersebut. Itu tak bisa dilakukan perusahaan kalau
kolateralnya dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit bank.
Begitulah akhirnya
kita menjadi begitu tergantung kepada bank. Alhasil ketika bank kita lesu,
perekonomian kita pun lesu. Itulah yang sekarang sedang kita alami. Ini
datanya. Penyaluran kredit perbankan selama kuartal I 2015, misalnya, turun
1,71% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lalu, jumlah dana
masyarakat yang dihimpun perbankan (dana pihak ketiga/ DPK) selama periode
itu juga turun 1,18%.
Itu kondisi makro.
Kita juga bisa menariknya ke sisi yang lebih mikro. Akibat lesunya
perekonomian, laba bersih 10 bank terbesar kita selama kuartal I 2015 hanya
mampu tumbuh tipis 0,36%. Itu yang terjadi di sektor finansial. Bagaimana di
sektor riil? Emiten terbesar di Bursa Efek Indonesia adalah PT Astra
International Tbk. Kinerja Astra selama kuartal I 2015 ternyata juga melemah.
Pendapatannya turun
9,3%. Lalu, laba bersihnya juga turun sampai 15,59%. Di lapangan, kita bisa
melihat banyak perusahaan automotif kesulitan menjual mobilnya. Padahal
mereka sudah habis-habisan melakukan promosi, menggelar pameran, mengobral
diskon, dan meluncurkan produk-produk terbaru. Tapi tetap saja pasarnya
kurang bergairah.
Selama kuartal I 2015,
menurut data Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo), penjualan
mobil turun sampai 16%. Akibatnya untuk tahun ini Gaikindo terpaksa merevisi
penjualan mobilnya dari semula 1,2 juta menjadi 1 juta unit. Bukan hanya
mobil, penjualan sepeda motor pun selama kuartal I 2015 mengalami koreksi.
Volume penjualan
sepeda motor bahkan turun sampai 19,1%. Padahal tahun lalu masih bisa tumbuh
tipis, 1%. Potret yang sama terjadi di sektor-sektor yang lain. Penjualan
properti, misalnya, anjlok sampai 34%. Para pengembang makin sulit menjual
rumah, apartemen, dan perkantoran. Anda tahu belakangan ini pemerintah tengah
menggenjot pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Tapi itu pun ternyata tak
mampu mengangkat volume penjualan semen.
Selama kuartal I 2015,
penjualan semen turun 3,2%. Industri yang katanya kebal krisis, makanan dan
minuman pun menurun kinerjanya dibandingkan tahun lalu. Kalau selama kuartal
I 2014 masih bisa tumbuh 9%, untuk tahun ini hanya tinggal 5%. Ini tentu
mendebarkan. Sebab industri makanan dan minuman termasuk rokok sumbangannya
terhadap PDB lumayan besar. Selama tahun lalu bisa mencapai 35%.
Begitulah kita melihat
potret penurunanyangterjadidimanamana, di antaranya akibat dangkalnya sektor
finansial kita. Kini, apa boleh buat, kita terpaksa bergantung kepada
pemerintah. Hanya pemerintah, dengan kebijakan-kebijakannya, yang bisa
membuat sektor finansial kita menjadi lebih dalam. Dan mengelola harapan
adalah tugas seorang pemimpin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar