Jumat, 08 Mei 2015

Financial Deepening di Tengah Harapan Baru

Financial Deepening di Tengah Harapan Baru

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 07 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya yakin kita semua masih ingat persis dengan pesta rakyat menyambut pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden RI, Senin (20/10), tahun lalu. Meski panas terik menyengat Jakarta, rakyat tetap tumpah ruah di sepanjang jalan yang dilintasi keduanya. Dengan meriah mereka mengelu-elukan pasangan tersebut. Kita tentu bisa dengan mudah membaca di balik kemeriahan tersebut. Bukan tentang pestanya, tetapi soal harapannya. Kemeriahan itu adalah cermin melambungnya harapan yang rakyat titipkan kepada pasangan tersebut.

Mereka ingin cepat menyaksikan terjadinya perubahan di negara ini. Perubahan untuk menuju ke arah yang lebih baik. Tapi, tak banyak orang yang mengerti bahwa perubahan ini membutuhkan pengorbanan besar. Kalau digambarkan ke dalam sigmoid curve, untuk melonjak ke kurva kedua, kita terpaksa harus melewati kurva alamiah yang meluncur ke bawah sebelum naik ke atas. Mudah-mudahan begitulah adanya. Itu teorinya dan itu pulalah yang biasa dijalani para change leader.

Perubahan Itu Pahit

Masalahnya, mau tidak kita menjalani masa-masa pahit seperti itu? Apalagi ketika perubahan diambil, kita akan melewati masa-masa penuh ketidakpastian dan ini dilakukan di tengah-tengah perlambatan ekonomi Asia. Apalagi kalau koordinasi belum efektif, orang terbaik belum bisa didapat, resistensi begitu kuat, dan stakeholders-nya begitu “bermain”.

Dan yang namanya perubahan bisa berarti mengubahkebiasaan, cara berpikir, dan bertindak. Tak kurang pula akan terjadi penghancuran-penghancuran terhadap institusi yang sudah bertahun-tahun menguasai lapangan. Ketika kita berani saja mengatakan “kini lebih baik”, kita pun akan menghadapi reaksi besar dari pihak yang berkuasa di masa lalu. Ketika kenikmatan-kenikmatan yang biasa kita dapatkan dengan mudah saja kini dialihkan, kita pun akan bereaksi sangat keras.

Nah, gabungannya itulah yang kita rasakan hari-hari ini. Sudah banyak kenikmatannya diambil, kerusakannya begitu cepat kita rasakan, ditambah ketidakpastian dan kemunduran besar. Respons sektor keuangan begitu kencang. Hargaharga melambung. Sementara hal-hal baru belum begitu cepat bisa kita rasakan. Jadi, agaknya kita mesti panjang sabar.

Bahkan mengoreksi ekspektasi kita yang sudah begitu tinggi kalau tak mau terperangkap dalam rasa frustrasi, bahkan puyeng menghadapi informasi yang dikendalikan para haters. Begitulah, sekarang kita saksikan kinerja pemerintahan kita sepanjang kuartal I 2015, terutama dari sisi perekonomian, ternyata kurang begitu menggembirakan. Selama kuartal I 2015, perekonomian kita hanya tumbuh 4,71% atau di bawah target yang 5,7%.

Produk Terbatas

Saya kira ada banyak faktor yang menjadi pemicu rendahnya pertumbuhan ekonomi kita. Kita bisa memotretnya dari banyak sisi. Tapi, kali ini saya ingin memakai pendekatan yang lebih simpel saja, yakni dengan melihatnya dari sektor finansial. Mengapa? Sederhana saja. Kinerja di sektor finansial adalah potret dari yang terjadi di sektor riil. Ini ibarat cermin.

Kalau kucuran kredit dari industri perbankan menurun, itu pertanda bahwa sektor riil kita juga sedang lesu. Di sektor finansial, salah satu isunya adalah soal financial deepening atau kedalaman sektor finansial kita. Maksudnya, sektor finansial kita ternyata terlalu dangkal sehingga manuver kita untuk melompat agak terbatas. Saya bisa menunjukkan kepada Anda sejumlah potretnya. Misalnya, instrumen pendanaan yang tersedia di pasar modal kita ternyata masih sangat terbatas.

Kalau tidak saham, ya obligasi. Atau, right, waran, dan reksadana. Begitu pula produk derivatifnya masih sangat terbatas. Di bursa luar negeri, produk-produk semacam secondary mortgage sudah sangat berkembang dan pasarnya lumayan besar. Di Indonesia, produk-produk derivatif semacam ini masih sangat terbatas sehingga pasarnya pun kurang berkembang. Akibatnya, mereka yang membutuhkan di sini pun harus berbelanja di negeri seberang yang menguntungkan tetangga.

Malaysia, misalnya, sudah sejak lama memiliki produk Real Estate Invesment Trust (REIT). Di negara kita, produk REIT baru masuk pasar pada akhir tahun 2012. Perusahaan yang menawarkan produk REIT juga masih sangat terbatas sehingga tak mengherankan kalau pasarnya juga masih sangat kecil. Begitulah, dengan jumlah produk yang sangat terbatas, tak mengherankan bila rasio market capitalization pasar modal kita terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menjadi sangat kecil, yakni hanya 46%.

Rasio kita ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 152%, Singapura 139%, Thailand dan Filipina masing-masing 99% dan 97%. Investor individual di pasar modal juga masih sedikit. Hanya 0,25% dari seluruh penduduk kita yang menjadi investor. Kalah jauh dengan Malaysia yang 13% atau Singapura dan Australia yang samasama mencapai 30%. Kita juga tidak punya merchant bank.

Di banyak negara, kalau perusahaan Anda sudah menang tender pengadaan barang/ jasa atau mengantongi surat DO (delivery order), Anda bisa menjaminkan surat keterangannya ke merchant bank untuk mendapatkan kredit modal kerja. Di sini? Mungkin Anda harus berhadapan dengan rentenir yang hanya mau memberikan kredit modal kerja kalau imbalannya suku bunga yang selangit. Kita ternyata juga tidak punya investment bank lokal yang cukup tangguh. Adanya investment bank dari luar yang beroperasi di sini seperti JP Morgan Chase atau Bank DBS Indonesia.

Bergantung Bank

Dengan produk pasar modal yang masih terbatas (“masih dangkal”), akhirnya banyak perusahaan kita yang terpaksa mengandalkan bank sebagai sumber pendanaan. Namun, di lain pihak, produk yang ditawarkan pun kurang bervariasi. Kalau Anda pergi ke daerah, Anda akan semakin menyaksikan keragaman produk perbankan dari bank-bank milik pemerintahan daerah yang amat terbatas.

Pegawainya masih terbelenggu dalam zona nyaman dengan funding dan market yang captive, yaitu pemerintah dan pegawai-pegawainya. Kalau Anda berhubungan dengan perbankan syariah, Anda akan menemukan pengembangan produk yang tersendat. Apalagi bila dibandingkan dengan perbankan syariah di negeri seberang. Alhasil biaya beperbankan kita pun menjadi sangat mahal. Ada interest cost opportunity yang hilang.

Maksudnya, karena perusahaan mesti membayar dengan harga yang lebih mahal, dia kehilangan peluang untuk memanfaatkan dananya. Masih ada lagi opportunity yang hilang. Pada banyak perusahaan, mereka bisa memakai kolateralnya untuk me-leverage dana dari pihak ketiga. Nilainya mungkin bisa tiga sampai empat kali lipat dari nilai kolateralnya tersebut. Itu tak bisa dilakukan perusahaan kalau kolateralnya dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit bank.

Begitulah akhirnya kita menjadi begitu tergantung kepada bank. Alhasil ketika bank kita lesu, perekonomian kita pun lesu. Itulah yang sekarang sedang kita alami. Ini datanya. Penyaluran kredit perbankan selama kuartal I 2015, misalnya, turun 1,71% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lalu, jumlah dana masyarakat yang dihimpun perbankan (dana pihak ketiga/ DPK) selama periode itu juga turun 1,18%.

Itu kondisi makro. Kita juga bisa menariknya ke sisi yang lebih mikro. Akibat lesunya perekonomian, laba bersih 10 bank terbesar kita selama kuartal I 2015 hanya mampu tumbuh tipis 0,36%. Itu yang terjadi di sektor finansial. Bagaimana di sektor riil? Emiten terbesar di Bursa Efek Indonesia adalah PT Astra International Tbk. Kinerja Astra selama kuartal I 2015 ternyata juga melemah.

Pendapatannya turun 9,3%. Lalu, laba bersihnya juga turun sampai 15,59%. Di lapangan, kita bisa melihat banyak perusahaan automotif kesulitan menjual mobilnya. Padahal mereka sudah habis-habisan melakukan promosi, menggelar pameran, mengobral diskon, dan meluncurkan produk-produk terbaru. Tapi tetap saja pasarnya kurang bergairah.

Selama kuartal I 2015, menurut data Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil turun sampai 16%. Akibatnya untuk tahun ini Gaikindo terpaksa merevisi penjualan mobilnya dari semula 1,2 juta menjadi 1 juta unit. Bukan hanya mobil, penjualan sepeda motor pun selama kuartal I 2015 mengalami koreksi.

Volume penjualan sepeda motor bahkan turun sampai 19,1%. Padahal tahun lalu masih bisa tumbuh tipis, 1%. Potret yang sama terjadi di sektor-sektor yang lain. Penjualan properti, misalnya, anjlok sampai 34%. Para pengembang makin sulit menjual rumah, apartemen, dan perkantoran. Anda tahu belakangan ini pemerintah tengah menggenjot pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Tapi itu pun ternyata tak mampu mengangkat volume penjualan semen.

Selama kuartal I 2015, penjualan semen turun 3,2%. Industri yang katanya kebal krisis, makanan dan minuman pun menurun kinerjanya dibandingkan tahun lalu. Kalau selama kuartal I 2014 masih bisa tumbuh 9%, untuk tahun ini hanya tinggal 5%. Ini tentu mendebarkan. Sebab industri makanan dan minuman termasuk rokok sumbangannya terhadap PDB lumayan besar. Selama tahun lalu bisa mencapai 35%.

Begitulah kita melihat potret penurunanyangterjadidimanamana, di antaranya akibat dangkalnya sektor finansial kita. Kini, apa boleh buat, kita terpaksa bergantung kepada pemerintah. Hanya pemerintah, dengan kebijakan-kebijakannya, yang bisa membuat sektor finansial kita menjadi lebih dalam. Dan mengelola harapan adalah tugas seorang pemimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar