Sabtu, 15 Mei 2021

 

Religiositas Makna dan Narasi Kultural Mudik

Purnawan Andra ;  Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek

KOMPAS, 12 Mei 2021

 

 

                                                           

Pemerintah telah resmi melarang mudik Lebaran demi menuntaskan pandemi. Banyak pro kontra tentangnya, semua mempunyai perspektif dari bermacam sisi. Akan tetapi, keputusan telah dibuat: tidak ada mudik Lebaran tahun ini.

 

Mudik memang telah menjadi bagian dari masyarakat kita sejak lama. Umar Kayam (2002) menyebutnya sebagai tradisi primordial masyarakat petani Jawa dari kota-kota besar kembali ke desa pada waktu sekitar Lebaran. Hal ini muncul terutama terkait dengan perkembangan sosial ekonomi pascakemerdekaan.

 

Seperti kita ketahui, pembangunan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi di perkotaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Pembangunan yang cenderung sentralistik berakibat membuat banyak orang meninggalkan kampung halamannya di desa menuju kota yang lengkap dengan berbagai fasilitas dan impiannya.

 

Namun, kenyataannya, yang dihadapi begitu berbeda: irama hidup yang serba cepat, kerasnya persaingan, tuntutan pekerjaan, serta kacaunya kehidupan. Pada titik tertentu hal ini memberikan perasaan teralienasi dari kehidupan mereka di desa. Mereka merindukan imajinasi kampung halaman setelah lelah bekerja dalam kerasnya dinamika kota. Kampung menyimpan memori personal yang membangkitkan otentisitas nilai-nilai kemanusiaan dalam diri.

 

Hal ini sesuai pemikiran Herbert Marcuse (dalam Ahmad Fauzi, 2014) bahwa salah satu paradoks manusia modern berporos pada kealpaan manusia menemukan kembali hakikat dirinya. Sebagai mikrokosmos, manusia kerap teralienasi oleh industrialisasi dan penguasaan teknologi sehingga lorong waktu yang dilalui mereka ”tidak hidup” dalam makna manusiawi, tetapi hanya hidup sebagai bagian dari mesin.

 

Kondisi semacam ini tentu saja berbeda dengan situasi di kampung yang guyub, akrab, solider, dan penuh kebersamaan. Di kampung pula identitas personal dibentuk, tumbuh dan berkembang untuk kemudian mengembara dalam pergaulan dengan berbagai macam entitas nilai dan budaya termasuk modernitas. Itu sebabnya, sejauh burung terbang, ia akan kembali ke sarang; sejauh orang pergi berkelana, nalurinya yang paling dalam cenderung mendorongnya kembali ke kampung halamannya.

 

Dengan demikian, mudik bukan sekadar fenomena fisik di mana banyak orang melakukan perjalanan pulang ke kampung, tetapi representasi dunia rasa yang pada dasarnya utuh tanpa terikat oleh mesin/industri. Mudik berlaku bagi siapa saja, tidak hanya umat Islam yang hendak merayakan Lebaran di desa. Orang lain yang berbeda agama juga menantikan dan memanfaatkan momen mudik sebagai bagian dari tradisi rutinnya. Mudik menjadi simbol keagamaan universal yang menjadi spirit religiositas.

 

Dengan demikian, makna esoteris mudik tidak sekadar berkonotasi fisik. Mudik dalam rangka Lebaran, selain bermakna religus, juga mengandung semacam ”prosesi kultural” yang memengaruhi setiap aktivitas pemudik.

 

Dalam mudik, seseorang akan kembali ke latar belakang sosial budaya dan asal muasalnya, keluarga dan sanak saudara. Untuk itu, ia berani berkorban waktu, tenaga, dan materi, membebaskan diri dari rutinitas kehidupan di kota-kota besar yang begitu kompleks supaya bisa mudik. Seseorang berani berkorban untuk menanggalkan masalah yang bernuansa rasionalitas, pertimbangan ekonomis, hingga mengabaikan regulasi untuk membebaskan dirinya mencapai kebahagiaan bersama keluarga di kampung halaman.

 

Kepuasan ketercapaiannya tidak lagi menjadi tuntutan yang terus berulang setiap tahun, tetapi telah menjadi kesadaran yang mentradisi, bahkan menjadi bagian dari gerak aktivitas dan tujuan keseharian dan kehidupan itu sendiri. Tradisi mudik menjadi fenomena kultural yang menjadi bagian integral masyarakat, terlebih ketika ia bersinggungan dengan nilai-nilai religiositas.

 

Secara sosiologis, fenomena mudik dapat menjadi salah satu variabel untuk mengukur tingkat religiositas seseorang. Glock dan Stark (1989) menyebut adanya keterlibatan ritual (ritual involvement), yaitu tingkat sejauh mana seseorang terlibat mengerjakan ritual-ritual tradisi keagamaan mereka, dan juga keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan tradisi ajaran agamanya. Hal ini sesuai premis Rousseau bahwa sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama akan sanggup bertahan dan mengakar kuat dalam sanubari masyarakat.

 

Pada akhirnya, mudik menyimbolkan fenomena ”metafisik”, dalam arti sejauh-jauhnya orang melakukan pengembaraan, pada akhirnya akan kembali ke habitatnya sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan (Nu’ad, 2009). Mudik bermuara pada Lebaran, sebuah kata yang bermakna keluasan dan peleburan. Makna lebar dan lebur di sini berarti orang saling mengucap selamat dan memaafkan satu sama lain sehingga melebur seluruh masyarakat dalam kesucian dan kesatuan.

 

Maka, wajar jika mudik selalu dilekatkan dengan Idul Fitri karena maknanya kembali kepada kesucian (jiwa). Benih prasangka yang menyita inklusivitas pergaulan membuka peluang untuk saling bertoleransi. Sebagai perayaan kemenangan bagi yang telah berpuasa sebulan penuh menahan gejolak nafsu, mudik ditafsirkan sebagai kesadaran kembalinya pengembaraan spiritual umat manusia kepada Tuhan.

 

Mudik bukan hanya masalah migrasi geografis dan fenomena sosio-kultural. Mudik secara ideal harus menjadi perjumpaan jiwa antarmanusia yang paling dasar dalam kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan di muka bumi. Mudik yang sesungguhnya di masa pandemi ini adalah perjalanan makna dan aktivitas kembali pada batin yang suci sebagai refleksi terhadap apa yang tengah dialami, untuk bisa hadir kembali sebagai bagian dari alam semesta—lingkungan dan seisinya—yang diciptakan Tuhan ini dengan lebih baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar