Religiositas
Makna dan Narasi Kultural Mudik Purnawan Andra ; Bekerja di Direktorat
Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek |
KOMPAS, 12 Mei 2021
Pemerintah telah resmi
melarang mudik Lebaran demi menuntaskan pandemi. Banyak pro kontra
tentangnya, semua mempunyai perspektif dari bermacam sisi. Akan tetapi,
keputusan telah dibuat: tidak ada mudik Lebaran tahun ini. Mudik memang telah menjadi
bagian dari masyarakat kita sejak lama. Umar Kayam (2002) menyebutnya sebagai
tradisi primordial masyarakat petani Jawa dari kota-kota besar kembali ke
desa pada waktu sekitar Lebaran. Hal ini muncul terutama terkait dengan
perkembangan sosial ekonomi pascakemerdekaan. Seperti kita ketahui,
pembangunan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi di perkotaan yang membutuhkan
banyak tenaga kerja. Pembangunan yang cenderung sentralistik berakibat
membuat banyak orang meninggalkan kampung halamannya di desa menuju kota yang
lengkap dengan berbagai fasilitas dan impiannya. Namun, kenyataannya, yang
dihadapi begitu berbeda: irama hidup yang serba cepat, kerasnya persaingan,
tuntutan pekerjaan, serta kacaunya kehidupan. Pada titik tertentu hal ini
memberikan perasaan teralienasi dari kehidupan mereka di desa. Mereka
merindukan imajinasi kampung halaman setelah lelah bekerja dalam kerasnya
dinamika kota. Kampung menyimpan memori personal yang membangkitkan
otentisitas nilai-nilai kemanusiaan dalam diri. Hal ini sesuai pemikiran
Herbert Marcuse (dalam Ahmad Fauzi, 2014) bahwa salah satu paradoks manusia
modern berporos pada kealpaan manusia menemukan kembali hakikat dirinya.
Sebagai mikrokosmos, manusia kerap teralienasi oleh industrialisasi dan
penguasaan teknologi sehingga lorong waktu yang dilalui mereka ”tidak hidup”
dalam makna manusiawi, tetapi hanya hidup sebagai bagian dari mesin. Kondisi semacam ini tentu
saja berbeda dengan situasi di kampung yang guyub, akrab, solider, dan penuh
kebersamaan. Di kampung pula identitas personal dibentuk, tumbuh dan
berkembang untuk kemudian mengembara dalam pergaulan dengan berbagai macam
entitas nilai dan budaya termasuk modernitas. Itu sebabnya, sejauh burung
terbang, ia akan kembali ke sarang; sejauh orang pergi berkelana, nalurinya
yang paling dalam cenderung mendorongnya kembali ke kampung halamannya. Dengan demikian, mudik
bukan sekadar fenomena fisik di mana banyak orang melakukan perjalanan pulang
ke kampung, tetapi representasi dunia rasa yang pada dasarnya utuh tanpa
terikat oleh mesin/industri. Mudik berlaku bagi siapa saja, tidak hanya umat
Islam yang hendak merayakan Lebaran di desa. Orang lain yang berbeda agama
juga menantikan dan memanfaatkan momen mudik sebagai bagian dari tradisi
rutinnya. Mudik menjadi simbol keagamaan universal yang menjadi spirit
religiositas. Dengan demikian, makna
esoteris mudik tidak sekadar berkonotasi fisik. Mudik dalam rangka Lebaran,
selain bermakna religus, juga mengandung semacam ”prosesi kultural” yang
memengaruhi setiap aktivitas pemudik. Dalam mudik, seseorang
akan kembali ke latar belakang sosial budaya dan asal muasalnya, keluarga dan
sanak saudara. Untuk itu, ia berani berkorban waktu, tenaga, dan materi,
membebaskan diri dari rutinitas kehidupan di kota-kota besar yang begitu
kompleks supaya bisa mudik. Seseorang berani berkorban untuk menanggalkan
masalah yang bernuansa rasionalitas, pertimbangan ekonomis, hingga
mengabaikan regulasi untuk membebaskan dirinya mencapai kebahagiaan bersama
keluarga di kampung halaman. Kepuasan ketercapaiannya
tidak lagi menjadi tuntutan yang terus berulang setiap tahun, tetapi telah
menjadi kesadaran yang mentradisi, bahkan menjadi bagian dari gerak aktivitas
dan tujuan keseharian dan kehidupan itu sendiri. Tradisi mudik menjadi
fenomena kultural yang menjadi bagian integral masyarakat, terlebih ketika ia
bersinggungan dengan nilai-nilai religiositas. Secara sosiologis,
fenomena mudik dapat menjadi salah satu variabel untuk mengukur tingkat
religiositas seseorang. Glock dan Stark (1989) menyebut adanya keterlibatan ritual
(ritual involvement), yaitu tingkat sejauh mana seseorang terlibat
mengerjakan ritual-ritual tradisi keagamaan mereka, dan juga keterlibatan
secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana
perilaku seseorang konsekuen dengan tradisi ajaran agamanya. Hal ini sesuai
premis Rousseau bahwa sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama akan
sanggup bertahan dan mengakar kuat dalam sanubari masyarakat. Pada akhirnya, mudik
menyimbolkan fenomena ”metafisik”, dalam arti sejauh-jauhnya orang melakukan
pengembaraan, pada akhirnya akan kembali ke habitatnya sebagai manusia
makhluk ciptaan Tuhan (Nu’ad, 2009). Mudik bermuara pada Lebaran, sebuah kata
yang bermakna keluasan dan peleburan. Makna lebar dan lebur di sini berarti
orang saling mengucap selamat dan memaafkan satu sama lain sehingga melebur
seluruh masyarakat dalam kesucian dan kesatuan. Maka, wajar jika mudik
selalu dilekatkan dengan Idul Fitri karena maknanya kembali kepada kesucian
(jiwa). Benih prasangka yang menyita inklusivitas pergaulan membuka peluang
untuk saling bertoleransi. Sebagai perayaan kemenangan bagi yang telah
berpuasa sebulan penuh menahan gejolak nafsu, mudik ditafsirkan sebagai
kesadaran kembalinya pengembaraan spiritual umat manusia kepada Tuhan. Mudik bukan hanya masalah migrasi geografis
dan fenomena sosio-kultural. Mudik secara ideal harus menjadi perjumpaan jiwa
antarmanusia yang paling dasar dalam kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan di
muka bumi. Mudik yang sesungguhnya di masa pandemi ini adalah perjalanan
makna dan aktivitas kembali pada batin yang suci sebagai refleksi terhadap
apa yang tengah dialami, untuk bisa hadir kembali sebagai bagian dari alam
semesta—lingkungan dan seisinya—yang diciptakan Tuhan ini dengan lebih baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar