Kultur
Mudik Virtual Samsul Bahri ; Alumnus Pascasarjana
Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta |
KOMPAS, 12 Mei 2021
Hantaman virus Covid-19
mengubah banyak hal dari kebiasaan sehari-hari kita. Termasuk kebiasaan ritus
tahunan berlebaran, kegiatan yang ditandai dengan pergerakan dan mobilisasi
manusia dalam jumlah sangat besar, dari satu tempat ke tempat lain. Ongkos
materi yang dikeluarkan untuk kegiatan berlebaran ini tidak sedikit. Namun,
orang tetap rela mengeluarkan ongkos besar itu demi dapat berlebaran.
Berkumpul bersama sanak famili. Menumpahkan kerinduan yang lama pada kampung
halaman. Kita telah lewati dua
tahun masa pandemi. Dua Ramadhan dan dua Lebaran di masa pandemi. Keadaan
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Keadaan ini memaksa kita harus
mengurungkan niat, mencegah keinginan pulang kampung. Mengikhlaskan diri
tidak berkumpul bersama untuk sementara waktu di hari-hari Lebaran, hari-hari
penuh kegembiraan yang kerap membawa kita memutar kenangan-kenangan lama. Momen perjumpaan fisik
itulah inti dari tradisi berlebaran di Indonesia. Orang merasa belum
berlebaran jika belum bertemu, bersitatap, bersalaman, bermaaf-maafan, saling
berbagi kesan, cerita dan pengalaman dengan orang-orang yang lama tidak
dijumpai. Namun, di masa pandemi,
perjumpaan fisik itu sesuatu yang mengandung risiko. Dalam pandangan medis,
virus itu hanya akan menular dari hasil perjumpaan fisik (kontak langsung).
Itulah mengapa lalu dibuat aturan untuk ”menjaga jarak” fisik demi
menghindari kemungkinan penularan virus. Dari sinilah ”ketegangan”
keadaan itu bermula. Satu sisi, berlebaran mendorong setiap orang melakukan
perjumpaan fisik. Di sisi lain, pandemi mencegahnya. Alhasil, lahir cara
baru, jika boleh disebut, kultur baru, bagaimana menjembatani ketegangan
keadaan semacam itu. Yakni, bagaimana kegiatan berlebaran itu tetap jalan,
tanpa harus melakukan perjumpaan fisik. Perentangan
jarak Abad ini pemenuhan
kebutuhan manusia telah dilengkapi dengan kemajuan teknologi digital yang
memungkinkan makin mengurangi kegiatan jumpa fisik. Orang yang hendak
berbelanja kebutuhan Lebaran, misalnya, kini tak perlu datang langsung ke
mal, gerai-gerai, supermarket, dan pasar. Belanja on-line (daring) tengah
jadi tren. Orang dapat memenuhi keperluan Lebaran tanpa harus mendatangi
tempat-tempat yang menjadi pusat kerumunan. Cukup hanya memainkan gawai, dari
layar telepon pintar (smartphone), transaksi guna memenuhi kebutuhan itu dapat
tercapai. Kita telah betul-betul
memasuki fase keadaan ”perentangan jarak” dan ”pemadatan waktu” dalam arti
yang sebenarnya. Jauh hari, di Inggris, sewaktu Giddens mengemukakan tentang
”perentangan jarak ruang” dan ”pemadatan waktu” sebagai ciri modernitas (B
Herry Priyono, 2002), kita belum sepenuhnya mengalami keadaan itu. Pengguna
alat komunikasi masih terbatas. Kini, saat hampir setiap
orang memegang gawai, kenyataan akan ”perentangan jarak ruang” dan ”pemadatan
waktu” sangat terasa. ”Perentangan jarak ruang”
itu artinya seseorang dapat melakukan interaksi, jual beli, misalnya, tanpa
harus bertemu fisik antara penjual dan pembeli. Sementara ”pemadatan waktu”
berarti transaksi itu dapat dilakukan seketika, melalui alat komunikasi,
gawai. Tak perlu berjam-jam berjalan, berpindah dari satu tempat belanja ke
tempat belanja lain untuk mendapatkan barang yang kita inginkan. Semua bisa
dilakukan seketika melalui gawai. Lebaran
virtual Setiap orang mungkin
merasa berlebaran terasa belum berlebaran jika tanpa perjumpaan fisik. Hal
ini wajar saja. Sebab, tradisi berlebaran mensyaratkan perjumpaan fisik. Dari
sudut pandang agama sendiri, perjumpaan fisik dengan orang-orang yang kita
kenal (kerabat) atau yang disebut ”silaturrahim” (bukan silaturrahmi) adalah
kegiatan bermuatan pahala, bernilai kebaikan di dalamnya. Bahkan, di dalam
satu riwayat hadits disebutkan bahwa ”salah satu yang dapat memperpanjang
keberkahan usia seseorang adalah dengan bersilaturrahim” yang dalam sisi
bahasanya berarti ”menyambung tali kasih sayang”. Betapa pun besar hikmah
dan kandungan pahala dari kegiatan perjumpaan fisik (silaturrahim) itu, dalam
situasi saat ini, perlu dipertimbangkan ulang bahwa bersilaturrahim dengan
bertemu fisik rentan menjadi jalan persebaran virus Covid-19. Ini adalah satu
maslahat lain yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan jiwa. Jika ada dua hal yang
tampak sama-sama besar nilai kebaikannya, perlu mempertimbangkan mengambil
salah satu dari keduanya yang lebih sedikit kemungkinan risikonya. Berlebaran,
bersilaturrahim dengan bertemu fisik itu penting. Tetapi, menjaga kemungkinan
penularan virus dengan menjauhi pertemuan fisik, juga satu hal yang jauh
lebih penting lagi, demi menyelamatkan jiwa (hifzunnafs). Karena itu, tepatlah
aturan pemerintah yang melarang mudik pada 6-17 Mei tahun ini. Keputusan ini
tentu didasarkan atas pertimbangan mencegah kemungkinan penularan virus,
bertujuan menyelamatkan jiwa, yang juga menjadi salah satu tujuan dari hukum
syara’ (maqasid al-syari’ah) itu sendiri, yaitu hifzunnafs. Tersisa cara lain untuk tetap bisa
menggelar kegiatan berlebaran bersama keluarga. Berbekal gawai dengan segenap
fasilitas canggihnya, video conference misalnya, kita tetap bisa berlebaran
bersama, dengan ”merentangkan jarak ruang” dan ”memadatkan waktu”. Inilah
kultur baru kita, berlebaran virtual. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar