Sabtu, 15 Mei 2021

 

Menjadi Saudara dalam Kemanusiaan

Steph Tupeng Witin SVD ;  Penulis, Rohaniwan Katolik

KOMPAS, 13 Mei 2021

 

 

                                                           

Hari ini umat Islam merayakan Idul Fitri dan umat Kristiani merayakan Kenaikan Yesus Kristus atau Isa Almasih ke Surga. Perayaan hari besar keagamaan dalam waktu bersamaan amat jarang terjadi. Maka momen perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih menghadirkan refleksi makna yang memperkaya khazanah peradaban bangsa di tengah pandemi Covid-19 dan bencana alam yang menelan ribuan nyawa, juga memorakporandakan bangunan kehidupan berbangsa.

 

Lebaran sesungguhnya momen kemenangan batin setelah berpuasa sebulan penuh saat Ramadhan. Kemenangan nurani ini merupakan proses pemurnian spiritualis personal yang akan menggerakkan umat Islam semakin menjadi manusia beriman yang Rahmatan lil Alamin. Rahmat artinya kelembutan atau kasih sayang.

 

Diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia dan alam semesta termasuk hewan dan tumbuhan. Islam datang ke tengah dunia membawa ketenangan, kedamaian, keamanan dan perlindungan bagi umat manusia.

 

Kemenangan batin umat Islam juga terungkap dalam perayaan tahun ini yang berlangsung sederhana, tidak ada silaturahim tatap muka secara langsung, pelarangan mudik, juga takbir keliling yang selalu mewarnai Idul Fitri.

 

Kesederhanaan perayaan Idul Fitri sekaligus menjadi kemenangan solidaritas kemanusiaan umat Islam terhadap kondisi bangsa yang masih diliputi wabah pandemi Covid-19 dan bencana alam di berbagai daerah khususnya di Nusa Tenggara Timur yang dihantam badai siklon tropis seroja awal April 2021.

 

Kenaikan Yesus Kristus ke Surga juga peristiwa sederhana, yang terjadi 40 hari setelah kebangkitan. Yesus membutuhkan waktu 40 hari untuk membuka kesadaran para rasul memahami rahasia kasih Allah melalui kehadiran, penderitaan, wafat dan kebangkitan-Nya.

 

Kenaikan Yesus adalah tanda kemenangan Kristus atas kuasa maut dan dosa. Para rasul menyaksikan peristiwa itu dengan penuh sukacita. Mereka kembali ke Yerusalem dengan pesan menjadi saksi kasih Allah yang mengasihi manusia melalui Yesus.

 

Kenaikan Yesus menyadarkan manusia agar memiliki iman dan semangat militan untuk mengasihi dan mencintai Yesus melalui tugas perutusan. Kita perlu memiliki semangat Kristus yang hidup dalam kebenaran dan kasih secara konsekuen. Berani dan tidak perlu ragu tetapi konsisten mengekspresikan iman mulai dengan tindakan paling sederhana.

 

Kita diajak berani keluar dari diri sendiri, dari zona nyaman untuk menjadi misionaris-misionaris zaman ini ke tengah dunia. Kita melanjutkan karya-karya kemanusiaanNya dengan membangun Kerajaan Allah agar semua orang, terlebih kaum miskin dan tertindas dapat mengalami keselamatan.

 

Tanggung jawab ini tidak mudah. Kita diutus bagaikan domba ke tengah serigala. Penuh tantangan, kesulitan, penolakan, penderitaan. Jaminan kita satu-satunya adalah Kristus sendiri. Ia menyertai kita senantiasa sampai akhir zaman sebagaimana yang Ia janjikan kepada para rasul.

 

Solider dengan sesama

 

Narasi makna dua hari besar keagamaan ini menegaskan bahwa Allah yang kita imani solider dengan manusia. Ia tidak pernah tinggal diam dalam zona nyaman kuasaNya. Melalui utusanNya, Ia turun ke dunia, berproses dalam sejarah, menyampaikan ajaran, membebaskan manusia dari kuasa kegelapan dan serentak menyucikan dunia agar menjadi komunitas hidup yang bermartabat.

 

Solidaritas inilah yang menjadi energi rohani bagi segenap manusia agar melanjutkan kerja kemanusiaan ini menuju hadirnya sejarah hidup baru yang lebih manusiawi.

 

Idealisme ini menuntut dialog kemanusiaan lintas batas. Tembok-tembok primordial atas nama agama, suku, ras dan antargolongan mesti diruntuhkan. Rasa curiga, cemburu dan prasangka mesti dihentikan. Agama mesti membuat setiap pengikutnya menjadi beriman agar mengantar manusia untuk bertemu, berbicara, berdiskusi dan saling berbagi tanpa pamrih.

 

Orang yang beriman akan melihat sesamanya sebagai saudara yang mesti dirawat dan dikasihi. Persaudaraan yang melampaui sekat primordial sarat kecurigaan inilah yang membuka ruang dialog untuk belajar mendewasakan diri, mematangkan intelektualisme dan menyemai harapan masa depan.

 

Agama kemanusiaan

 

Fakta persaudaraan inilah yang telah dirajut Soekarno saat diasingkan Belanda di Ende, Flores, NTT dari 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938. Ia bergaul sangat akrab dengan para misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD), membaca buku-buku dan majalah di perpustakaan biara St Yosef, berdiskusi dengan para pastor SVD asal Belanda di antaranya Pater Johanes Bouma SVD, Pater Gerardus Hujitink SVD, yang sesungguhnya menjadi “musuh” politiknya.

 

Ide brilian dasar negara Pancasila justru tersemai dari dialog kemanusiaan di Ende ini. Persahabatan dan dialog kemanusiaan Bung Karno dengan para misionaris asal Belanda ini membuatnya mendirikan “Klub Tonil Kelimutu” dimana anak-anak muda Ende dilatih mementaskan toneel (sandiwara).

 

Bung Karno menjadikan toneel sebagai medium untuk mengadvokasi kesadaran rakyat dan membangkitkan semangat perjuangan kemerdekaan dan gerakan melawan kolonialisme. Soekarno merasa sangat nyaman dalam ruang persahabatan dengan para misionaris tanpa kecurigaan dari pihak penjajah yang membuangnya (Mukese:2013).

 

Semangat dialog kemanusiaan itu terekam dalam keseharian hidup rakyat Flores khususnya Ende dimana umat Islam dan Katolik hidup rukun penuh persaudaraan selama berabad-abad. Kaum muslim menghuni pesisir pantai, merawat laut, menyorong sampan dan perahu ke laut, menarik pukat dan membuang ikan-ikan ke atas pasir pantai.

 

Orang-orang Katolik menghuni wilayah pegunungan dan pedalaman yang subur, menanam jagung, padi, sayur dan buah. Keduanya bertemu dalam nuansa persaudaraan dan kekeluargaan di pasar tradisional. Perempuan dari pantai menukar hasi laut dengan jagung, ubi, sayur dan buah-buahan yang dibawa perempuan pedalaman.

 

Proses barter disertai canda, cerita, tawa dan saling menanyakan kabar sederhana. Hidup terasa indah dan persaudaraan begitu memesona nurani. Namun suasana persaudaraan sederhana ini semakin tersingkir oleh kehadiran pusat perbelanjaan yang menarasikan penetrasi kekuatan kapital ke jantung perekonomian rakyat jelata.

 

Pasar tradisional yang menjadi ruang perjumpaan dalam suasana persaudaraan dan dialog kemanusiaan selama berabad-abad kini mulai terancam oleh kehadiran kekuatan ekonomi global yang berdaya mematikan denyut kehidupan ekonomi lokal.

 

Benih persaudaraan lintas batas itu juga terbaca dalam solidaritas kemanusiaan ketika rakyat Adonara, Kabupaten Flores Timur dan Ile Ape Kabupaten Lembata menerima sentuhan kasih dari Presiden Joko Widodo dan sekian banyak relawan kemanusiaan yang hadir memberi bantuan.

 

Mereka mengusung agama kemanusiaan yang membangkitkan harapan ketika hidup yang dirajut bertahun-tahun hendak dihentikan oleh keganasan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang dahsyat. Ratusan nyawa melayang, jalani perawatan dan puluhan korban belum ditemukan hingga hari ini.

 

Warga yang selamat mengungsi mandiri ke pondok-pondok di tengah ladang. Mereka kekurangan air minum bersih, makanan, pakaian, obat-obatan, sanitasi kesehatan dan sebagainya. Solidaritas kemanusiaan kepada korban bencana alam di Adonara dan Lembata, NTT mengalir dari seluruh dunia benar-benar membuktikan bahwa kita semua bersaudara atas nama kemanusiaan.

 

Di tengah pandemi Covid-19, solidaritas kemanusiaan lebih dashyat membandang. Semua orang dari pelbagai lapisan dan golongan menghidupkan semangat persaudaraan karena “kita semua bersaudara” kata Paus Fransiskus dalam ensiklik "Fratelli Tutti"  (2020).

 

Memenangkan persaudaraan

 

Di tengah gempuran wabah Covid-19 dan bencana alam, kemanusiaan dan persaudaraan tidak pernah boleh mati. Perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih mesti mendorong kita memenangkan persaudaraan. Ketakutan akan wabah Covid-19 tidak boleh mengubur substansi eksistensial kemanusiaan.

 

Hakikat kemanusiaan harus menjadi satu-satunya “kompas” setiap tindakan politis dan kemasyarakatan. Ketika suatu bangsa meretas langkah dengan bertumpu pada kemanusiaan maka ia membawa biduk bangsa menuju ke arah yang benar.

 

Menurut Paus Fransiskus, kebenaran itu terungkap dalam perjumpaan manusia yang otentik. Pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia Mei 2021, Ia mengajak kita semua, tidak hanya pekerja media, untuk “menghabiskan sol sepatu” dengan turun ke tengah realitas, keluar dari zona nyaman rasa puas diri yang dangkal, berjumpa secara pribadi, mendengarkan kisah yang bisa mengejutkan, karena “kita tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata tapi dengan mata, dengan nada suara dan dengan gerakan.”

 

Khusus bagi jurnalis, inilah metode mengenal realitas yang sangat sederhana dan verifikasi paling jujur untuk mengangkat peristiwa ke atas panggung reportase dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata, bersenyum dan berpengharapan (Sindhunata, 1997).

 

Perjumpaan kemanusiaan ini membuat kita bisa hidup bersama dan bertenggang rasa dengan semua orang yang berbeda. Kita menjadi manusia terbuka yang menghayati misi lintas tapal batas keberagaman dan setia membangun persaudaraan dalam semangat dialog kemanusiaan.

 

Selamat Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar