Mengapa
Orang Modern Masih Percaya Mitos? Yohanes Mega Hendarto ; Litbang Kompas |
KOMPAS, 2 Mei 2021
Kemunculan makhluk ”babi
ngepet” di Kota Depok, Jawa Barat, sempat menghebohkan media massa, walau
ternyata hanyalah tindakan usil semata. Dalam konsepnya, mitos terlalu sakral
bila ditempelkan pada kisah ”babi ngepet”. Sementara itu, narasi yang
dibungkus unsur mistis itu rupanya tetap mampu menjadi daya tarik orang
modern. Berita penangkapan ”babi
ngepet” di Bedahan, Sawangan, Depok, beberapa hari lalu, cukup menyita
perhatian masyarakat, khususnya di media sosial. Selang tiga hari sesudahnya,
publik tergocek karena penangkapan ”babi ngepet” tersebut hanyalah skenario
belaka. Tersangka, Adam Ibrahim, telah merencanakan semua ini, mulai dari
narasi kemunculan, penangkapan, hingga akhirnya ”babi ngepet” itu dikuburkan. Herannya, narasi
kemunculan ”babi ngepet” ini tetap menyita perhatian meski disebarkan di era
industri 4.0 ini. Orang yang mendengar berita ini setidaknya mencari tahu
wujud ”babi ngepet” yang ditangkap, kemudian jika masih berminat, menelusuri
sebab kemunculan hingga aksi penangkapan. Di akhir, antiklimaks terjadi
ketika fakta empiris menunjukkan bahwa semua ini hanyalah rekayasa. Ada banyak hal yang dapat
diulas dari fenomena singkat ini. Hal paling mendasar yang dapat dikupas
adalah penyebutan kisah ”babi ngepet” sebagai mitos. Sebab, pemberitaan media
massa baik daring dan luring, ditambah pula di media sosial, dituliskan
”mitos babi ngepet”. Untuk membahasnya ditempuh pendekatan yang paling logis
di antara semua cabang ilmu, yakni filsafat. Para awak media tersebut
sering kali mencatut nama Clifford James Geertz, seorang ahli antropologi
asal Amerika Serikat. Disebut-sebut, Geertz menuliskan dalam buku The
Religion of Java (1960) menuliskan bahwa mitos ”babi ngepet” adalah cerita
pesugihan yang tersebar di tanah Jawa. Padahal, dalam buku tersebut Geertz
tidak menulis ”mitos babi ngepet”, melainkan hanya menyebut adanya sihir yang
dipercaya masyarakat untuk memperoleh kekayaan dengan perantaraan ritus dan
wujud binatang. Menurut Geertz, pembahasan
”babi ngepet” dimasukkan dalam pengertian mengenai sihir yang di dalamnya
termasuk praktik tenung, santet, dan jengges. Ritual ”babi ngepet” dilakukan
oleh seorang pria dengan bantuan istri yang menjaga lilin menyala dan seorang
dukun yang memberi mantra. Ketika sudah berubah menjadi wujud babi hutan,
pelaku pergi halaman rumah seseorang, lalu mencium air kotoran yang keluar dari
dalam rumah, dan seketika uang terkumpul di tempat sang istri. Kalau babi hutan itu
kebetulan menjumpai bahaya, seperti penduduk desa yang mengejarnya, maka api
(cahaya) di lilin tersebut akan berkedip-kedip. Di saat itulah sang istri
harus meniup api lilin tersebut. Ketika api padam, seketika babi hutan
menghilang dan roh sang suami kembali ke tubuhnya di tempat sang istri. Menariknya, Geertz
memberikan catatan cukup panjang mengenai tindakan penduduk desa yang
mencurigai seseorang yang memiliki kekayaan, tapi tidak jelas pekerjaannya.
Penduduk desa biasanya membicarakan orang tersebut dengan menyebarkan
desas-desus sehingga sering kali menyudutkan keluarga yang dicurigai. Geertz menyoroti bahwa
sikap penduduk semacam itu justru memberikan tekanan psikologis yang akhirnya
berujung pada runtuhnya rumah tangga pihak yang dicurigai. Seiring dengan
itulah, abstraksi atau teori sambung-menyambung digunakan untuk membenarkan
praktik mistik pesugihan. Memang, Geertz tidak menyatakan praktik ”babi ngepet”
tersebut benar terjadi atau tidak, melainkan diposisikan sebagai sebuah
fenomena yang diyakini oleh penduduk desa. Maka, dari penjelasan
Geertz dapat dilihat bahwa kebenaran ”babi ngepet” tetap belum dapat
dibuktikan secara empiris. Perlu digarisbawahi, tampaknya terlalu mereduksi
makna dari mitos bila dilekatkan pada kisah ”babi ngepet” yang sebatas kisah
belaka. Tanpa bermaksud mengerdilkan kisah ”babi ngepet” yang masih dipercaya
masyarakat lokal, maka perlu diperjelas dahulu mengenai kedalaman mitos. Mitos Istilah mitos berasal dari
kata ”muthos” (bahasa Yunani), yang dapat diartikan sebagai cerita lisan,
suatu pernyataan, atau alur suatu drama.
Mitos merupakan unsur penting dalam masyarakat primitif atau arkais
terkait kepercayaan yang dianut bersama kelompok. Melalui mitos, keyakinan
komunal diturunkan dari masa ke masa. Akan tetapi, mitos berbeda
dengan legenda, dongeng, atau kisah-kisah tutur lainnya. Dalam mitos termuat
unsur suci atau suatu kebenaran yang lebih tinggi dibandingkan dongeng atau
legenda yang umumnya memuat suatu pesan moral atau nilai-nilai komunal. Untuk
mendapat penjelasan lanjut mengenai mitos, pandangan dari Susanne Katherina
Langer, filsuf asal Amerika dan Mircea Eliade, filsuf sekaligus sejarawan,
dapat dijadikan rujukan yang kredibel. Mitos pada dasarnya mirip
dengan mimpi karena tidak memperhatikan (kebenaran) koherensi, konsistensi
tindakan, atau bahkan akal sehat. Meski memiliki kemiripan dalam hal
kebenaran, mitos tidak sama dengan mimpi yang seringkali dapat muncul dari
tingkat imajinasi manusia yang sangat rendah. Bagaimanapun juga, mitos
memiliki simbol-simbol subyektif yang dimunculkan oleh seseorang atau agen
”pencipta” mitos. Terlepas dipercaya atau
tidak, mitos memuat suatu keseriusan religius (religious seriousness), baik
sebagai fakta sejarah maupun sebagai kebenaran mistik. Menariknya, Langer
memberikan penjelasan tentang relasi mitos dengan kondisi geografis. Panggung
dari mitos adalah dunia yang sebenarnya dan bahkan disebut secara spesifik,
misalnya Gunung Olympus di Yunani atau Gunung Tangkubanparahu di Jawa Barat,
bukan negeri dongeng yang tidak ada secara geografis atau perkampungan yang
tidak jelas secara geografis. Mitos juga mengandung
unsur kekuatan sosial (antara orang dengan adat istiadat, hukum, atau
tradisi) dan kekuatan alam semesta (cosmic forces) yang melingkupi manusia.
Dengan begitu, di dalam mitos sudah pasti ada pesan moral yang disampaikan.
Mitos bertujuan untuk menurunkan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat,
bukan menakut-nakuti. Sementara itu, Mircea
Eliade memperkaya konsep mitos melalui keterkaitan mitos dengan alam semesta
(Cosmos and History: The Myth of the Eternal Return, 1949). Melalui mitos,
manusia primitif mencoba memahami asal mula terbentuknya gunung, laut,
sungai, dan sebagainya. Konteksnya, manusia primitif kala itu belum mengenal
agama atau kepercayaan teisme. Mitos kosmogini, sebutan
dari Eliade, sejatinya sakral karena melibatkan mahkluk supernatural, seperti
dewa-dewa dan iblis. Menurut dia, mitos memengaruhi terjadinya ritual-ritual
dalam kehidupan masyarakat primitif. Melalui ritual, simbol-simbol dalam
mitos diperluas bentuknya menjadi sebuah praktik komunal yang diteruskan
turun-temurun. Dalam Myth and Reality
(1963), Eliade menuliskan hubungan antara mitos dan manusia modern yang
rupanya tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan pada mitos. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta membuat manusia modern
melupakan peradaban sebelumnya. Jika sebelumnya manusia
arkais berpikir bahwa keberadaan dirinya ini berasal dari peristiwa dalam
mitos kosmologis, manusia modern memiliki konsep berpikir yang sudah
berkembang berkat ilmu pengetahuan dan penghayatan agama. Manusia modern bukan hanya
bersikap rasional, tetapi juga mengembangkan imajinasi dan daya
kreativitasnya, misalnya melalui seni.
Melalui seni, mitos dan ritual pada zaman Yunani Klasik pun dapat
dibawakan kembali oleh manusia modern. Dengan kata lain, baik mitos beserta
simbol dan ritual di dalamnya tidak akan hilang begitu saja. Indonesia Keyakinan Eliade bahwa
mitos beserta unsur-unsur di dalamnya tidak dapat hilang begitu saja meski
zaman telah berubah, tampaknya benar. Manusia saat ini, baik secara personal
maupun komunal, beragama atau tidak, masih memegang kepercayaan pada mitos
dalam kesehariannya. Hal ini dapat dilihat dari mitos sakral yang masih
dipercaya kuat di Indonesia, yakni Nyi Roro Kidul. Seperti yang dikatakan
oleh Katherina Langer, mitos pada masyarakat yang satu dapat berbeda dengan
masyarakat lainnya, begitu pula yang terjadi dengan mitos Nyi Roro Kidul. Ada
beberapa versi sejarah. Menurut Robert Wessing, antropolog asal Belanda, Nyi
Roro Kidul diceritakan sebagai putri penguasa Kerajaan Pajajaran di Jawa
Barat. Kisah transformasi Nyi
Roro Kidul dari seorang putri menjadi Dewi Samudera juga muncul banyak versi.
Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang putri cantik yang—karena
sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu—terjangkit penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa
bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi
mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang
mendalam putri itu lalu bermeditasi dan moksha (bebas dari samsara atau
keterikatan dengan keduniawian). Ada juga yang mengisahkan
bahwa Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul,
bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua
lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh
Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak
akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak
adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa. Ratu Pantai Selatan
ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati pergi ke
Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan
melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon, ketekunannya
membuat Laut Selatan bergolak. Istana Ratu Pantai Selatan yang berada di
dasarnya porak-poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati. Ratu Kidul
pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang
pemuda gagah tengah bersemedi, lalu langsung jatuh hati, dan bersimpuh di
kaki Panembahan Senapati. Setelah bertemu tiga hari
tiga malam di istana Laut Selatan, Ratu Pantai Selatan pun berjanji akan
membantu Senapati memenangkan peperangan. Panembahan Senapati pun bergegas
menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan
sehingga akhirnya menang. Meski demikian, mitos dan
kisah Nyi Roro Kidul bukan hanya muncul dari Pulau Jawa, melainkan juga di
beberapa daerah lainnya dan menjadi cerita rakyat (folklore). Yoseph Yapi
Taum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, mencoba meluaskan
khasanah mitos Nyi Roro Kidul di Indonesia. Masyarakat etnis Sasak di
Pulau Lombok lebih familiar dengan mitos Putri Mandalika, putri laut yang
mengorbankan dirinya dan menjadi santapan penduduk setempat. Sementara dalam
masyarakat Sumatera Utara dan Aceh, dikenal mitos Putri Hijau yang dikenal
sangat rupawan ini menjadi penghuni sebuah negeri di dasar laut dan konon
lokasinya di sekitar Pulau Berhala. Menurut Yapi Taum, mitos
ini memiliki pesan tertentu sehingga keberlangsungannya masih terjaga hingga
saat ini. Laut memberikan pandangan dunia tersendiri, yakni pengenangan akan
sejarah kejayaan dan kedigdayaan Indonesia sebagai bangsa bahari. Selain itu, dalam imajinasi bangsa
Indonesia, laut pun merupakan ”ibu” dengan segala kelembutan, kasih sayang,
dan pemberi kehidupan. Mitos Nyi Roro Kidul juga
memuat makna relasi antara manusia dan masyarakat dan masyarakat dengan alam.
Misalnya hingga kini, larangan untuk tidak menggunakan baju berwarna hijau
atau membuang sampah di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, masih dipercayai
oleh para wisatawan dan penduduk setempat. Laut yang menjadi kediaman Nyi
Roro Kidul, menjadi locus mitos ini yang dianggap sakral dan keramat. Hingga kini, mitos Nyi
Roro Kidul masih dilestarikan dengan ritual upacara. Keraton Kesultanan
Yogyakarta setahun sekali melaksanakan Upacara Labuhan. Begitu juga dengan
ritus Sedekah Laut yang bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton, namun
juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan
Pulau Jawa. Dengan demikian, mitos dilestarikan karena memuat unsur sakral
yang terus dilestarikan. Manusia
modern Masih merujuk pada mitos
Nyi Roro Kidul, manusia modern yang khas dengan rasionalitasnya, mencoba
menghadapi mitos ini dengan alur logika. Larangan menggunakan baju berwarna
hijau memiliki alasan agar tidak menyulitkan pencarian bila orang tersebut
hanyut atau tenggelam di laut yang dikenal memiliki arus yang deras. Begitu
juga dengan larangan membuang sampah demi menjaga kelestarian alam dan objek
wisata, bukan mengotori kediaman Nyi Roro Kidul. Pramoedya Ananta Toer juga
pernah melontarkan kritik rasional atas mitos Nyi Roro Kidul dalam pidato
tertulis saat menerima Penghargaan Ramon Magsaysay Award di Filipina (1995).
Menurut dia, mitos Nyi Roro Kidul hanyalah sarana agar mengukuhkan kekuasaan
para raja Mataram atas rakyatnya. Kritik Pramoedya terhadap mitos Nyi Roro
Kidul memang kritis dan sinis. Kelemahannya, kalaupun
Pramoedya dapat menuding mitos Nyi Roro Kidul sekadar narasi atas memori
kejayaan bangsa di masa lalu, tudingannya ini tidak berlaku di mitos-mitos
lainnya yang berhubungan dengan laut di Indonesia. Barangkali pendapat Eliade
benar dalam hal ini bahwa mitos mengandung sistem simbolik yang esensial,
sakral, dan transenden (Ilahi). Dengan begitu, mitos tidak dapat dihilangkan
begitu saja dengan rasionalitas manusia. Mitos bukanlah sekadar
kisah imajinatif seperti legenda, fabel, atau dongeng. Kekayaan mitos
terletak pada penghayatan manusia terhadap yang transenden (Ilahi). Pada
akhirnya, di zaman industri 4.0 ini, manusia modern tetap tidak bisa terlepas
dari mitos yang ada di masyarakat. Kisah tentang mitos Nyi
Roro Kidul yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa menjadi bukti nyata
atas kelanggengan mitos. Maka, layaknya bagian dari budaya, mitos akan tetap
ada selama masih ada masyarakat yang memercayainya. Lagipula, ada benarnya pandangan Mochtar
Lubis dalam mendefinisikan kekhasan orang Indonesia. Dalam Pidato Kebudayaan
berjudul Manusia Indonesia (1977), Lubis menyebutkan bahwa salah satu sifat
orang Indonesia adalah percaya takhayul. Menurut dia, pendidikan menjadi
salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak
logis tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar