Rabu, 12 Mei 2021

 

Berkomunikasi secara Tulus

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 11 Mei 2021

 

 

                                                           

Dalam buku Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus (2004), Jakob Oetama menuliskan, komunikasi itu diwarnai beragam perbedaan.

 

Pendiri Kompas itu menyebutkan, melalui komunikasi yang serba berbeda, berbeda latar belakang, berbeda pengalaman, berbeda pemahaman, berbeda sudut pandang dan kepentingan, justru seoptimal mungkin akan dibuat kesepemahaman bersama. Diusahakan tercapainya pengertian bersama atau sekurang-kurangnya saling pengertian. Komunikasi merupakan pembawaan makhluk sosial dan masyarakat manusia. Tidak tulus bisa diartikan sebagai tak menyampaikan apa yang hidup dalam hati dan pikirannya. Sekadar basa-basi.

 

Pesan dalam buku terbitan Penerbit Buku Kompas itu kini terasa tepat untuk dimunculkan kembali saat masyarakat kita, terutama melalui media sosial, gaduh menyikapi pidato Presiden Joko Widodo dalam rangka Hari Bangga Buatan Indonesia yang diresmikan pada Rabu (5/5/2021), satu pekan menjelang Lebaran. Presiden mengingatkan lagi keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran karena ingin menjaga keselamatan masyarakat. Masyarakat yang merindukan kuliner khas daerah bisa memesan secara daring, seperti gudeg dari Yogyakarta, bandeng Semarang, siomai Bandung, empek-empek Palembang, dan bipang Ambawang dari Kalimantan.

 

Penyebutan bipang Ambawang menimbulkan kegaduhan. Presiden dianggap tidak peka karena menjelang Lebaran, mudik sudah dilarang, tetapi justru menyebut bipang atau babi panggang, makanan haram bagi Muslim. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan, pernyataan Presiden tentang bipang Ambawang harus dilihat dalam konteks keseluruhan, yakni mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai dan membeli produk lokal (Kompas.id, 8-10/5/2021).

 

Dalam masyarakat Jawa, untuk berkomunikasi dibutuhkan formulasi bener, yang diartikan benar, dan pener, yang berarti lebih tepat pada sasaran dan suasana. Informasi dan data harus benar, tetapi tidak semua hal yang benar bisa diterima orang lain dengan baik kalau dianggap kurang pener.

 

Bagi sebagian orang, pidato Presiden bisa saja dinilai belum pener, tidak sesuai konteks menyambut Idul Fitri, apalagi warga dilarang mudik. Namun, kalau masyarakat berkomunikasi secara tulus, kekurangan dari pesan Presiden bisa saja diterima dan tak perlu menimbulkan kegaduhan di khalayak. Bahkan, ada pula yang menuntut pejabat yang menyiapkan pidato Presiden itu perlu dijatuhi sanksi, diberhentikan.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mudik, antara lain, sebagai pulang ke kampung halaman. Mudik menjadi tradisi warga Indonesia, baik saat Lebaran maupun terkait dengan peristiwa keagamaan lain dan peristiwa budaya. Seperti tradisi bersih desa di masyarakat Jawa, juga diikuti dengan mudik bagi warga desa itu dari perantauan. Tradisi mudik sudah dikenal sejak zaman Majapahit.

 

Dalam masyarakat yang tulus, kekurangan dalam berkomunikasi oleh pemimpin tentu bisa dilengkapi oleh rakyat dan siapa pun dalam kebersamaan. Saling asih, asuh, dan asah, serta ngemong rasa (saling menjaga) demi pengertian bersama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar