Selasa, 11 Mei 2021

 

Mengapa Orang Modern Masih Percaya Mitos?

Yohanes Mega Hendarto ;  Litbang Kompas

KOMPAS, 2 Mei 2021

 

 

                                                           

Kemunculan makhluk ”babi ngepet” di Kota Depok, Jawa Barat, sempat menghebohkan media massa, walau ternyata hanyalah tindakan usil semata. Dalam konsepnya, mitos terlalu sakral bila ditempelkan pada kisah ”babi ngepet”. Sementara itu, narasi yang dibungkus unsur mistis itu rupanya tetap mampu menjadi daya tarik orang modern.

 

Berita penangkapan ”babi ngepet” di Bedahan, Sawangan, Depok, beberapa hari lalu, cukup menyita perhatian masyarakat, khususnya di media sosial. Selang tiga hari sesudahnya, publik tergocek karena penangkapan ”babi ngepet” tersebut hanyalah skenario belaka. Tersangka, Adam Ibrahim, telah merencanakan semua ini, mulai dari narasi kemunculan, penangkapan, hingga akhirnya ”babi ngepet” itu dikuburkan.

 

Herannya, narasi kemunculan ”babi ngepet” ini tetap menyita perhatian meski disebarkan di era industri 4.0 ini. Orang yang mendengar berita ini setidaknya mencari tahu wujud ”babi ngepet” yang ditangkap, kemudian jika masih berminat, menelusuri sebab kemunculan hingga aksi penangkapan. Di akhir, antiklimaks terjadi ketika fakta empiris menunjukkan bahwa semua ini hanyalah rekayasa.

 

Ada banyak hal yang dapat diulas dari fenomena singkat ini. Hal paling mendasar yang dapat dikupas adalah penyebutan kisah ”babi ngepet” sebagai mitos. Sebab, pemberitaan media massa baik daring dan luring, ditambah pula di media sosial, dituliskan ”mitos babi ngepet”. Untuk membahasnya ditempuh pendekatan yang paling logis di antara semua cabang ilmu, yakni filsafat.

 

Para awak media tersebut sering kali mencatut nama Clifford James Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat. Disebut-sebut, Geertz menuliskan dalam buku The Religion of Java (1960) menuliskan bahwa mitos ”babi ngepet” adalah cerita pesugihan yang tersebar di tanah Jawa. Padahal, dalam buku tersebut Geertz tidak menulis ”mitos babi ngepet”, melainkan hanya menyebut adanya sihir yang dipercaya masyarakat untuk memperoleh kekayaan dengan perantaraan ritus dan wujud binatang.

 

Menurut Geertz, pembahasan ”babi ngepet” dimasukkan dalam pengertian mengenai sihir yang di dalamnya termasuk praktik tenung, santet, dan jengges. Ritual ”babi ngepet” dilakukan oleh seorang pria dengan bantuan istri yang menjaga lilin menyala dan seorang dukun yang memberi mantra. Ketika sudah berubah menjadi wujud babi hutan, pelaku pergi halaman rumah seseorang, lalu mencium air kotoran yang keluar dari dalam rumah, dan seketika uang terkumpul di tempat sang istri.

 

Kalau babi hutan itu kebetulan menjumpai bahaya, seperti penduduk desa yang mengejarnya, maka api (cahaya) di lilin tersebut akan berkedip-kedip. Di saat itulah sang istri harus meniup api lilin tersebut. Ketika api padam, seketika babi hutan menghilang dan roh sang suami kembali ke tubuhnya di tempat sang istri.

 

Menariknya, Geertz memberikan catatan cukup panjang mengenai tindakan penduduk desa yang mencurigai seseorang yang memiliki kekayaan, tapi tidak jelas pekerjaannya. Penduduk desa biasanya membicarakan orang tersebut dengan menyebarkan desas-desus sehingga sering kali menyudutkan keluarga yang dicurigai.

 

Geertz menyoroti bahwa sikap penduduk semacam itu justru memberikan tekanan psikologis yang akhirnya berujung pada runtuhnya rumah tangga pihak yang dicurigai. Seiring dengan itulah, abstraksi atau teori sambung-menyambung digunakan untuk membenarkan praktik mistik pesugihan. Memang, Geertz tidak menyatakan praktik ”babi ngepet” tersebut benar terjadi atau tidak, melainkan diposisikan sebagai sebuah fenomena yang diyakini oleh penduduk desa.

 

Maka, dari penjelasan Geertz dapat dilihat bahwa kebenaran ”babi ngepet” tetap belum dapat dibuktikan secara empiris. Perlu digarisbawahi, tampaknya terlalu mereduksi makna dari mitos bila dilekatkan pada kisah ”babi ngepet” yang sebatas kisah belaka. Tanpa bermaksud mengerdilkan kisah ”babi ngepet” yang masih dipercaya masyarakat lokal, maka perlu diperjelas dahulu mengenai kedalaman mitos.

 

Mitos

 

Istilah mitos berasal dari kata ”muthos” (bahasa Yunani), yang dapat diartikan sebagai cerita lisan, suatu pernyataan, atau alur suatu drama.  Mitos merupakan unsur penting dalam masyarakat primitif atau arkais terkait kepercayaan yang dianut bersama kelompok. Melalui mitos, keyakinan komunal diturunkan dari masa ke masa.

 

Akan tetapi, mitos berbeda dengan legenda, dongeng, atau kisah-kisah tutur lainnya. Dalam mitos termuat unsur suci atau suatu kebenaran yang lebih tinggi dibandingkan dongeng atau legenda yang umumnya memuat suatu pesan moral atau nilai-nilai komunal. Untuk mendapat penjelasan lanjut mengenai mitos, pandangan dari Susanne Katherina Langer, filsuf asal Amerika dan Mircea Eliade, filsuf sekaligus sejarawan, dapat dijadikan rujukan yang kredibel.

 

Mitos pada dasarnya mirip dengan mimpi karena tidak memperhatikan (kebenaran) koherensi, konsistensi tindakan, atau bahkan akal sehat. Meski memiliki kemiripan dalam hal kebenaran, mitos tidak sama dengan mimpi yang seringkali dapat muncul dari tingkat imajinasi manusia yang sangat rendah. Bagaimanapun juga, mitos memiliki simbol-simbol subyektif yang dimunculkan oleh seseorang atau agen ”pencipta” mitos.

 

Terlepas dipercaya atau tidak, mitos memuat suatu keseriusan religius (religious seriousness), baik sebagai fakta sejarah maupun sebagai kebenaran mistik. Menariknya, Langer memberikan penjelasan tentang relasi mitos dengan kondisi geografis. Panggung dari mitos adalah dunia yang sebenarnya dan bahkan disebut secara spesifik, misalnya Gunung Olympus di Yunani atau Gunung Tangkubanparahu di Jawa Barat, bukan negeri dongeng yang tidak ada secara geografis atau perkampungan yang tidak jelas secara geografis.

 

Mitos juga mengandung unsur kekuatan sosial (antara orang dengan adat istiadat, hukum, atau tradisi) dan kekuatan alam semesta (cosmic forces) yang melingkupi manusia. Dengan begitu, di dalam mitos sudah pasti ada pesan moral yang disampaikan. Mitos bertujuan untuk menurunkan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat, bukan menakut-nakuti.

Sementara itu, Mircea Eliade memperkaya konsep mitos melalui keterkaitan mitos dengan alam semesta (Cosmos and History: The Myth of the Eternal Return, 1949). Melalui mitos, manusia primitif mencoba memahami asal mula terbentuknya gunung, laut, sungai, dan sebagainya. Konteksnya, manusia primitif kala itu belum mengenal agama atau kepercayaan teisme.

 

Mitos kosmogini, sebutan dari Eliade, sejatinya sakral karena melibatkan mahkluk supernatural, seperti dewa-dewa dan iblis. Menurut dia, mitos memengaruhi terjadinya ritual-ritual dalam kehidupan masyarakat primitif. Melalui ritual, simbol-simbol dalam mitos diperluas bentuknya menjadi sebuah praktik komunal yang diteruskan turun-temurun.

 

Dalam Myth and Reality (1963), Eliade menuliskan hubungan antara mitos dan manusia modern yang rupanya tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan pada mitos. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak serta merta membuat manusia modern melupakan peradaban sebelumnya.

 

Jika sebelumnya manusia arkais berpikir bahwa keberadaan dirinya ini berasal dari peristiwa dalam mitos kosmologis, manusia modern memiliki konsep berpikir yang sudah berkembang berkat ilmu pengetahuan dan penghayatan agama.

 

Manusia modern bukan hanya bersikap rasional, tetapi juga mengembangkan imajinasi dan daya kreativitasnya, misalnya melalui seni.  Melalui seni, mitos dan ritual pada zaman Yunani Klasik pun dapat dibawakan kembali oleh manusia modern. Dengan kata lain, baik mitos beserta simbol dan ritual di dalamnya tidak akan hilang begitu saja.

 

Indonesia

 

Keyakinan Eliade bahwa mitos beserta unsur-unsur di dalamnya tidak dapat hilang begitu saja meski zaman telah berubah, tampaknya benar. Manusia saat ini, baik secara personal maupun komunal, beragama atau tidak, masih memegang kepercayaan pada mitos dalam kesehariannya. Hal ini dapat dilihat dari mitos sakral yang masih dipercaya kuat di Indonesia, yakni Nyi Roro Kidul.

 

Seperti yang dikatakan oleh Katherina Langer, mitos pada masyarakat yang satu dapat berbeda dengan masyarakat lainnya, begitu pula yang terjadi dengan mitos Nyi Roro Kidul. Ada beberapa versi sejarah. Menurut Robert Wessing, antropolog asal Belanda, Nyi Roro Kidul diceritakan sebagai putri penguasa Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.

 

Kisah transformasi Nyi Roro Kidul dari seorang putri menjadi Dewi Samudera juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang putri cantik yang—karena sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu—terjangkit penyakit kulit.

 

Sakit kulit itu membawa bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang mendalam putri itu lalu bermeditasi dan moksha (bebas dari samsara atau keterikatan dengan keduniawian).

 

Ada juga yang mengisahkan bahwa Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan.

 

Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa. Ratu Pantai Selatan ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan.

 

Konon, ketekunannya membuat Laut Selatan bergolak. Istana Ratu Pantai Selatan yang berada di dasarnya porak-poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati. Ratu Kidul pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang pemuda gagah tengah bersemedi, lalu langsung jatuh hati, dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati.

 

Setelah bertemu tiga hari tiga malam di istana Laut Selatan, Ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan. Panembahan Senapati pun bergegas menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan sehingga akhirnya menang.

 

Meski demikian, mitos dan kisah Nyi Roro Kidul bukan hanya muncul dari Pulau Jawa, melainkan juga di beberapa daerah lainnya dan menjadi cerita rakyat (folklore). Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, mencoba meluaskan khasanah mitos Nyi Roro Kidul di Indonesia.

 

Masyarakat etnis Sasak di Pulau Lombok lebih familiar dengan mitos Putri Mandalika, putri laut yang mengorbankan dirinya dan menjadi santapan penduduk setempat. Sementara dalam masyarakat Sumatera Utara dan Aceh, dikenal mitos Putri Hijau yang dikenal sangat rupawan ini menjadi penghuni sebuah negeri di dasar laut dan konon lokasinya di sekitar Pulau Berhala.

 

Menurut Yapi Taum, mitos ini memiliki pesan tertentu sehingga keberlangsungannya masih terjaga hingga saat ini. Laut memberikan pandangan dunia tersendiri, yakni pengenangan akan sejarah kejayaan dan kedigdayaan Indonesia sebagai bangsa bahari.  Selain itu, dalam imajinasi bangsa Indonesia, laut pun merupakan ”ibu” dengan segala kelembutan, kasih sayang, dan pemberi kehidupan.

 

Mitos Nyi Roro Kidul juga memuat makna relasi antara manusia dan masyarakat dan masyarakat dengan alam. Misalnya hingga kini, larangan untuk tidak menggunakan baju berwarna hijau atau membuang sampah di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, masih dipercayai oleh para wisatawan dan penduduk setempat. Laut yang menjadi kediaman Nyi Roro Kidul, menjadi locus mitos ini yang dianggap sakral dan keramat.

 

Hingga kini, mitos Nyi Roro Kidul masih dilestarikan dengan ritual upacara. Keraton Kesultanan Yogyakarta setahun sekali melaksanakan Upacara Labuhan. Begitu juga dengan ritus Sedekah Laut yang bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton, namun juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Dengan demikian, mitos dilestarikan karena memuat unsur sakral yang terus dilestarikan.

 

Manusia modern

 

Masih merujuk pada mitos Nyi Roro Kidul, manusia modern yang khas dengan rasionalitasnya, mencoba menghadapi mitos ini dengan alur logika. Larangan menggunakan baju berwarna hijau memiliki alasan agar tidak menyulitkan pencarian bila orang tersebut hanyut atau tenggelam di laut yang dikenal memiliki arus yang deras. Begitu juga dengan larangan membuang sampah demi menjaga kelestarian alam dan objek wisata, bukan mengotori kediaman Nyi Roro Kidul.

 

Pramoedya Ananta Toer juga pernah melontarkan kritik rasional atas mitos Nyi Roro Kidul dalam pidato tertulis saat menerima Penghargaan Ramon Magsaysay Award di Filipina (1995). Menurut dia, mitos Nyi Roro Kidul hanyalah sarana agar mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Kritik Pramoedya terhadap mitos Nyi Roro Kidul memang kritis dan sinis.

 

Kelemahannya, kalaupun Pramoedya dapat menuding mitos Nyi Roro Kidul sekadar narasi atas memori kejayaan bangsa di masa lalu, tudingannya ini tidak berlaku di mitos-mitos lainnya yang berhubungan dengan laut di Indonesia. Barangkali pendapat Eliade benar dalam hal ini bahwa mitos mengandung sistem simbolik yang esensial, sakral, dan transenden (Ilahi). Dengan begitu, mitos tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan rasionalitas manusia.

 

Mitos bukanlah sekadar kisah imajinatif seperti legenda, fabel, atau dongeng. Kekayaan mitos terletak pada penghayatan manusia terhadap yang transenden (Ilahi). Pada akhirnya, di zaman industri 4.0 ini, manusia modern tetap tidak bisa terlepas dari mitos yang ada di masyarakat.

 

Kisah tentang mitos Nyi Roro Kidul yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa menjadi bukti nyata atas kelanggengan mitos. Maka, layaknya bagian dari budaya, mitos akan tetap ada selama masih ada masyarakat yang memercayainya.

 

Lagipula, ada benarnya pandangan Mochtar Lubis dalam mendefinisikan kekhasan orang Indonesia. Dalam Pidato Kebudayaan berjudul Manusia Indonesia (1977), Lubis menyebutkan bahwa salah satu sifat orang Indonesia adalah percaya takhayul. Menurut dia, pendidikan menjadi salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak logis tersebut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar