Setahun
Didi Kempot, Mencipta Bunyi, Melintas Waktu Aris Setiawan ; Etnomusikolog,
Pengajar di ISI Surakarta |
KOMPAS, 6 Mei 2021
Ia pergi di puncak kariernya sebagai
penyanyi setahun yang lalu (5/5/2020). Didi Kempot yang lebih dikenal sebagai
The Godfather of Broken Heart atau ”Bapak Patah Hati” itu mampu mencipta gaya
baru dalam dunia musik pop. Karyanya menemukan momentum yang pas saat musik
pop arus utama mengalami kemandulan kreativitas, monoton, dan tak memiliki
kebaruan dari sisi musikalitas. Tiba-tiba letupan itu muncul. Ada semacam
upaya mendaur ulang masa lalu untuk dihadirkan dengan penuh kesegaran di masa
ini. Hampir semua karya Didi Kempot adalah
tembang lawas yang ”dihangatkan” kembali dengan bumbu corak musikal yang
lebih progresif. Tiba-tiba dalam konstruksi tema karya mendayu, mellow,
melankolis, dan penuh ratapan, kita melihat entakan musikal yang membuat
tubuh harus bergoyang (simak: cendol dawet). Kesedihan itu niscaya menjadi
ekstase yang bukan saja harus ditangisi, melainkan juga harus dirayakan. Didi dibesarkan dalam kultur musik
campursari Jawa. Sebuah jenis musik yang oleh sebagian akademisi seni
dianggap sebagai ”musik sampah” karena menampung berbagai gaya musikal tanpa
proses selektif selayaknya gending-gending karawitan. Terlebih
benturan-benturan nada terkesan dipaksakan antara gamelan (pentatonik) dan
musik Barat (diatonik). Hal tersebut merusak citra keagungan musik
Jawa yang dikenal adiluhung itu. Tapi, apa mau dikata, campursari justru
diterima publik secara terbuka. Hampir di setiap pelosok kampung bermunculan
kelompok campursari yang laris manis menghiasi hajatan-hajatan desa. Tidak
sedikit dalang wayang kulit yang awalnya menolak keras kehadiran musik
campursari mulai berbalik arah. Dengan menghadirkan pemain instrumen musik
Barat (gitar, kibor, bass), lagu-lagu campursari dibawakan. Pertunjukan
wayang itu dengan seketika menjadi meriah. Penuh sesak dengan penonton yang
berhasrat melihat biduan campursari dengan kebaya dan sanggulnya yang anggun
itu. Sesaat setelah campursari dibawakan, mereka
pulang, wayang kembali sepi penonton. Aduh! Didi hadir dengan karya yang mendobrak
kebekuan. Lagu campursari berlirik santun, berlagak priayi, dengan gaya bahasa
yang halus selayaknya langgam Jawa (baca Manthous), diubah menjadi lebih
membumi oleh Didi Kempot. Ia menggunakan bahasa Jawa ngoko, bahasa keseharian
yang lebih mudah dimengerti dan dipahami orang kebanyakan. Tiba-tiba muncullah judul-judul yang tak lagi
puitik Jawa, selayaknya ”Kutut Manggung”, ”Ngidam Sari”, ”Yen Ing Tawang Ana
Lintang”, ”Caping Gunung”, tetapi menjelma menjadi ”Stasiun Balapan”, ”Parang
Tritis”, ”Terminal Tirtonadi”, ”Pamer Bojo”, bahkan ”Suket Teki”. Dari judul
itu, Didi Kempot berupaya membuat tanda bahwa segala kenangan tentang asmara
tak harus didapat ”dari bawah sinar rembulan yang tertusuk daun ilalang”.
Tetapi, dari hal-hal remeh-temeh ataupun tempat-tempat yang jamak, seperti
stasiun, terminal, pantai, dan pelabuhan. Didi Kempot mendekonstruksi kewibawaan
laki-laki Jawa yang melembaga penuh kehormatan. Bagaimana mungkin laki-laki
Jawa yang dikenal halus, tenang, dengan sikap terkontrol dan terjaga,
kemudian harus menunjukkan diri menangis tersedu hanya karena ditinggal kekasih.
Didi Kempot tanpa malu menguraikan secara gamblang lewat lirik-liriknya. Sementara itu, pada lagu-lagu campursari
lawas senantiasa menunjukkan citra laki-laki Jawa yang penuh kewibawaan.
Rindu dan putus cinta tentu boleh, tapi sewajarnya saja. Dengan kata lain,
jangan malu-maluin sebagai laki-laki Jawa tulen. Tetapi, bagi Didi
sebaliknya, putus cinta adalah sebuah peristiwa yang berbuah tragedi jika
hanya dipendam sendiri. Didi menunjukkan satu hal bahwa dalam
kesendirian ada kebersamaan. Patah hati adalah ikatan yang mempersatukan.
Lahirlah apa yang disebut sebagai ”sobat ambyar”, sekumpulan para pejuang
cinta yang tak pernah menemukan kata akhir. Kegagalan mendapat kekasih idaman
harus diwujudkan lewat dendang nyanyian dan sebentuk goyangan. Karya Didi
kemudian melintas batas. Musik campursari yang awalnya hanya
digandrungi di tanah Jawa itu melenggang menembus sekat-sekat kewilayahan.
Menjadi semacam ”bom musikal” yang dampak getarannya dapat dirasakan oleh
siapa pun. Tidak peduli apakah dari Jawa atau bukan,
mengerti bahasa Jawa atau tidak. Mendengarkan lagu-lagu Didi menjadi ajang
pemersatu. Mampu melepas ikatan beban-beban kebudayaan (suku, ras, dan
golongan) yang selama ini membelenggu dan memisahkan. Lagu-lagu lawas digarap ulang, dinyanyikan dengan
penuh penjiwaan. Ia menjadi bintang. Satu-satunya musisi Jawa yang penuh
percaya diri tampil di panggung-panggung megah Ibu Kota tanpa kikuk dan malu.
Didi Kempot menjadi ikon baru bagi sebuah generasi yang sering kali lebih
mengedepankan rasionalitas dibandingkan dengan perasaan. Lewat lagu Didi kita mengetahui dan
sekaligus menemukan katarsis bahwa seberapa pun teknologi telah membuat
ukuran-ukuran ideal tentang kehidupan, lewat berbagai terobosan agar manusia
menemukan formula melawan sepi dan kesendirian, tetapi tidak untuk urusan
patah hati. Bukankah tidak ada yang mampu mengakomodasi sakitnya patah hati
selain lagu-lagu Didi? Kita beruntung memiliki Didi Kempot,
menunjukkan bahwa diskursus masalah generasi kiwari ternyata tidak saja
menyangkut persoalan perut lewat beban hidup—ekonomi—yang semakin berat,
tetapi juga menyangkut asmara dan cinta. Lagu Didi menemani narasi sebuah
generasi agar lebih manusiawi, tak malu menangis tersedu ditinggal kekasih.
Sekaligus mengembalikan kodrat sebagai manusia sesungguhnya, kala hidup
serasa robotik alias monoton. Didi Kempot dibesarkan pada sebuah zaman di
mana ikhtiar menjadi orang sukses, terkenal, dan kaya hanya menjadi mimpi
yang tak lekas terwujud bagi penyanyi campursari desa yang lugu dan wagu.
Namun, Didi mampu membuktikan, dari kesederhanaan pemuda desa mengalahkan
pongahnya industri musik Ibu Kota. Dari musik akar rumput menjadi musik arus
utama baru yang genuine. Karya-karyanya dipuja dan dinanti. Setahun Didi
Kempot pergi, meninggalkan warisan penting berupa semangat dan musik yang
melintas waktu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar