Penghancuran
Pencapaian Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 6 Mei 2021
Tibalah kita pada momen sejarah yang
memilukan: menghancurkan kembali apa yang telah susah payah diperjuangkan.
Betapa cepat kita mendaur ulang kekeliruan masa lalu. Kita perjuangkan
reformasi dengan misi besar membasmi korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN. Sekarang, begitu tega kita lumpuhkan
kembali Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dengan berbagai modus dan kita
hidupkan kembali watak negara patrimonial, dengan tendensi kolusi dan
nepotisme yang pekat, hingga kemunculan arogansi politik yang menempatkan
negara seolah milik orang per orang yang bisa diatur dan dikuasai sesuka
hati. Kepada siapa rakyat percaya kala politik
berhenti sebagai pariwara. Janji-janji dijulurkan lidah sedepa, tetapi
realisasi terhenti sebatas rencana. Para pemimpin datang dengan niat mulia,
tetapi berakhir dengan membuat kecewa; mulai mengemudi dengan menyalakan
lampu sein ke kiri, tetapi di persimpangan berbelok ke kanan. Penguasa silih
berganti, tetapi politik di negeri ini hanya punya satu rencana: rencana
berkhianat. Segala cara dilakukan asal dapat merebut
dan mempertahankan kuasa. Elite politik tak pernah mau belajar. Mereka boleh
berdusta sekali waktu bagi sebagian orang, tetapi tak bisa sepanjang waktu
bagi semua orang. Akan selalu ada arus balik gelombang pasang karena tidak
semua orang mau bersekutu dengan kejahatan. Ada banyak sebab para pemimpin berkhianat.
Politik pemerintahan boleh jadi diperbudak kekuatan adidaya hingga negara tak
mampu mengambil kebijakan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri.
Tingginya biaya politik bisa juga membuat para pemimpin terpilih lebih
melayani kepentingan pemodal dengan mengorbankan kepentingan umum. Tekanan pada popularitas, ketimbang
kualitas, melahirkan pemimpin yang miskin visi dan kompetensi. Masalah
ditutupi dengan manipulasi pencitraan bukan dengan jawaban nyata. Kesulitan,
ketidakmelekan, dan kejenuhan rakyat berpolitik membuat partisipasi demokrasi
berhenti sebatas transaksi menuju bilik pencoblosan. Setelah itu para
pemimpin dibiarkan bertindak sesuka hati tanpa pengawasan. Sudah cukup lama demokrasi reformasi
berlangsung di tempat kita, tentang kita, tetapi tanpa kita. Kata demokrasi
jadi mantra suci yang terus diwiridkan, tetapi rakyat kebanyakan sebagai sang
demos terus terpinggirkan. Pendakuan Indonesia sebagai negara demokratis
terbesar ketiga terus didengungkan di panggung pencitraan, tetapi nilai-nilai
kontrademokrasi menelikung lewat pintu belakang prosedur demokrasi, menikam
demokrasi dari balik selimut. Pelemahan pemberantasan korupsi merongrong
prinsip demokrasi dalam konteks pemberdayaan dan akuntabilitas publik, serta
tata kelola pemerintahan yang bersih demi kebajikan dan kesejahteraan umum.
Nepotisme ”buta” melanggar kesamaan hak warga negara yang menuntut prinsip
fair play dan meritokrasi dalam politik. Bahwa posisi seseorang tidak
ditentukan oleh prinsip hereditas, tetapi oleh pengetahuan, pengalaman,
kreativitas, dan prestasinya. Tak terbantahkan bahwa seseorang yang
terlahir dari dinasti politik mendapatkan keuntungan modal sosial dan
kultural berupa proses familiarisasi lebih dini dengan ”bahasa” dan pergaulan
politik. Mereka juga diuntungkan oleh pengenalan publik yang lebih baik
karena asosiasinya dengan keluarga terkenal. Modal-modal inilah yang
memudahkan mereka terjun ke dalam dunia politik. Meski demikian, sejauh dikaitkan dengan
prinsip demokrasi, fakta keberuntungan tersebut sama sekali tak boleh
menafikan prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi. Siapa pun, dari keluarga
mana pun, harus sama-sama mengikuti proses pengaderan dan menapaki jenjang
posisi politik menurut ukuran-ukuran prestasi. Gelombang pasang nepotisme dalam bentuk
penguatan dinasti politik di Indonesia saat ini sebagian merupakan cerminan
dari lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagian lain dapat dipandang
sebagai ”puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial dalam
masyarakat. Bahwa perkembangan demokratisasi politik selama ini tidak diikuti
oleh proses demokratisasi di bidang ekonomi. Adam Bellow dalam In Praise of Nepotism: A
Natural History (2003) menengarai bahwa gejala nepotisme menurun ketika
terjadi perluasan kelas menengah yang menciutkan kesenjangan sosial sebagai
ikutan dari kebijakan rezim negara kesejahteraan. Sebaliknya, nepotisme
cenderung menguat ketika lapis kelas menengah menipis yang meluaskan
kesenjangan sosial sebagai ikutan dari kebijakan rezim neoliberalisme. Penguatan
nepotisme dalam situasi kesenjangan sosial itu akan lebih parah dalam praktik
demokrasi dengan biaya politik yang mahal. Alhasil, gelombang pasang nepotisme harus
dibaca dalam bentuk symptomatic reading. Dalam ”deskripsi tipis”, nepotisme
merupakan gambaran bahwa perubahan pada perangkat keras (prosedur) demokrasi,
belum diikuti oleh perubahan pada perangkat lunak (budaya) demokrasi. Dalam ”deskripsi tebal”, nepotisme
merupakan pertanda bahwa demokrasi yang kita kembangkan hanyalah sebatas
fashion pencitraan ketimbang membawa perubahan fundamental secara substantif.
Nepotisme merupakan penampakan secara telanjang dari kegagalan kita
mengembangkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Apa pun alasannya demokrasi yang dirayakan
dengan korupsi dan nepotisme buta merupakan jalan sesat menuju state manqué,
suatu negara yang tak kunjung menemukan bentuk politik yang tepat dan
terperangkap mengulang kesalahan yang sama. Untuk keluar dari jalan sesat
itu, kita memerlukan ketakziman pada kearifan tradisional: ”raja adil, raja
disembah; raja zalim, raja disanggah”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar