Stabilisasi
dan Sterilisasi Haryo Kuncoro ; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI, Jakarta |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Kian sempitnya ruang gerak
kebijakan moneter dan makroprudensial agaknya tak menyurutkan hasrat Bank
Indonesia (BI) untuk terus bermanuver dalam menghadapi gejolak eksternal.
Tuntutan primer peran stabilisasi ekonomi makro yang diemban BI akan
disiasati dengan program pengembangan pasar keuangan. Sesuai Blue Print
Pengembangan Pasar Uang 2025, agenda BI periode 2021-2022 fokus pada
transaksi repo (repurchase agreement) dan DNDF (domestic non-deliverable
forward). Operasi moneter mengandalkan piranti repo surat berharga negara,
sementara perangkat DNDF ditujukan pada stabilisasi nilai tukar rupiah. Instrumen DNDF sejatinya
bukan sesuatu yang baru sama sekali dalam operasi pasar valuta asing. BI toh
sudah mendayagunakan DNDF sebagai salah satu trisula intervensi (triple
intervention) di pasar valuta asing, sejajar dengan kiprahnya di pasar spot
dan pasar sekunder surat berharga. Kendala
fundamental Hal yang baru ialah
implementasi transaksi DNDF nantinya dikembangkan dalam platform pertukaran
elektronik dengan sistem saluran majemuk. Proses kliring dilakukan oleh pusat
rekanan sehingga kuotasi harga dapat diakses transparan oleh pelaku pasar dan
mereka pun dapat melakukan transaksi nirnama. Meski pasar DNDF dapat
dimanfaatkan oleh pelaku pasar sebagai salah satu instrumen lindung nilai
terhadap risiko perubahan nilai tukar, pengembangan pasar DNDF tak terlepas
dari sejumlah kendala fundamental. Kendala utama ialah pasar DNDF di
Indonesia belum kukuh terbentuk. Sejauh ini, BI sering
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi berapa banyak pelaku pasar yang
bersedia memanfaatkan pasar DNDF. Kesulitan menakar kuantitas pelaku pasar
berakumulasi dengan kapasitasnya. Berapa besar nilai valuta asing yang hendak
di-DNDF-kan juga masih menjadi pertanyaan besar. Faktanya, banyak pelaku
pasar yang mengandalkan transaksi valuta asing di pasar spot. Volume valuta
asing yang ditransaksikan, dalam pandangan pelaku pasar, bisa lebih fleksibel
menyesuaikan dengan kebutuhan bisnis. Toh pertukaran antara rupiah dengan
valuta asing bisa terjadi pada hari yang sama atau paling lama berselang dua
hari. Sebaliknya, transaksi
forward sepertinya dihindari pelaku pasar uang domestik. Tenggat antara
pertukaran antara rupiah dengan valuta asing bisa lebih lama, tergantung
kesepakatan. Dalam masa penantian itu, nilai tukar rupiah bisa berubah
drastis, yang menuntut biaya ekstra untuk lindung nilai. Kalaupun pelaku pasar
bersedia memanfaatkan DNDF, persoalan tak berhenti sampai di sini. Pokok
masalahnya persis seperti ayam dengan telur. Perkembangan pasar forward
mensyaratkan nilai tukar yang stabil. Sebaliknya, kestabilan nilai tukar akan
tercapai jika dtopang oleh pasar forward yang sudah mapan. Arah kausalitas manapun
yang dirujuk, satu hal yang pasti ialah kalau nilai tukar stabil, biaya
lindung nilai niscaya rendah, akan tetapi jika nilai tukar berfluktuasi
biayanya juga relatif tinggi. Konkretnya, biaya lindung nilai tak bisa
digunakan sebagai insentif, kecuali ada pihak ketiga yang membiayainya. Dalam konteks DNDF, BI
membiayai risiko itu. BI membayar premi atas selisih kurs pada saat transaksi
terjadi. Premi yang dibayar BI berdasarkan mekanisme lelang sehingga sudah
tercapai skala yang paling efisien. Pembayaran yang dilakukan BI pun dalam
rupiah sehingga tak menggerus cadangan devisa BI. Dengan alur logika ini
pula, pembelian valuta asing di waktu akan datang sejatinya telah ‘digeser’
untuk waktu sekarang. Artinya, BI bisa memperkirakan pergerakan nilai tukar
rupiah di waktu yang akan datang sedemikian rupa sehingga sejak awal bisa
mempersiapkan strategi antisipasinya. Alhasil, hakikat DNDF
semestinya komplemen dengan valuta asing agar kegiatan usaha pelaku pasar
uang tetap eksis. Dengan alasan ini. pasar derivatif valuta asing Indonesia
tak seharusnya ketinggalan terlalu jauh dibanding negara lain, seperti Korea,
Singapura, Malaysia atau Thailand. Strategi
taktis Agar minimal bisa
mendekati level pasar DNDF di keempat negara tersebut, BI perlu menempuh
beberapa strategi taktis. DNDF niscaya mensyaratkan kecukupan cadangan
devisa. Likuiditas valuta asing mutlak untuk memastikan instrumen DNDF bisa
mengimbangi dinamika pasar sekaligus mengirim sinyal konfidensi. Sinyal konfidensi juga
akan membawa efek pada perluasan daya jangkau DNDF. Mekanisme DNDF akan mampu
menjangkar pasar DNDF di luar negeri. Artinya, pasar forward domestik bisa
menjadi acuan bagi pasar sejenis di luar negeri. Alhasil, potensi mobilitas
valuta asing ke luar negeri bisa diredam. Mobilitas valuta asing
juga bisa direduksi dengan memperluas aset rujukan dasar (underlying asset)
instrumen DNDF. Penggunaan aset finansial lain memberikan keleluasaan
alternatif pilihan dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah.
Intinya, dorongan pihak asing untuk kembali memegang valuta asing bisa
diredakan. Sampai di sini, pasar DNDF
bekerja optimal jika ada kesamaan pemahaman. Konsekuensinya, literasi
keuangan yang berkesinambungan kepada semua pelaku pasar keuangan menjadi
krusial. Di satu sisi, transaksi di pasar derivatif membutuhkan perhitungan
yang tidak ‘umum’ dan menuntut logika yang amat komprehensif. Di sisi lain, literasi
keuangan akan lebih menjamin instrumen DNDF yang ditawarkan BI bakalan segera
terserap begitu sistem anyar pengembangan DNDF diberlakukan. Maka, BI harus
jeli membedakan apakah penyerapan DNDF didasari oleh motif spekulasi belaka
atau benar-benar sebagai wahana lindung nilai. Jika beberapa ikhtiar di
atas sukses dirintis, operasi pasar valuta asing akan sampai pada sasaran.
Produk kebijakan yang berbasis pada paradigma ‘mendahului keadaan’ (ahead the
curve) akan semakin kredibel. Pada akhirnya, kebijakan stabilisasi BI pun
tersistematisasi dan kesan panik yang terbersit dari kebijakan sterilisasi
niscaya akan pupus. Bukan begitu, BI? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar