Literasi
Kritis dan Hoaks Seputar Covid-19 Rahma Sugihartati ; Dosen Isu-isu Masyarakat Digital Prodi S-3
FISIP Universitas Airlangga |
KOMPAS, 28 Juli 2021
Selama
pandemi Covid-19, berbagai isu tidak benar atau hoaks tersebar di media
sosial atau grup Whatsapp. Beredarnya kabar bohong ini tentu membuat
masyarakat luas menjadi gamang, bahkan salah kaprah, dalam memilih sikap yang
tepat menghadapi pandemi Covid-19. Ketika
pemerintah memutuskan untuk memperpanjang kebijakan pemberlakuan pembatasan
kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dan meminta masyarakat untuk tinggal di
rumah, jumlah kasus Covid-19 memang cenderung menurun. Akan tetapi, pada saat
yang sama ada indikasi juga muncul ketidakjelasan terkait kebenaran informasi
seputar Covid-19. Menurut
data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), selama periode 23
Januari 2020-25 Juni 2021 ditemukan sebanyak 1.670 hoaks terkait Covid-19. Jumlah
pengajuan untuk men-takedown sebaran hoaks Covid-19 di media sosial tercatat
sebanyak 3.690. Sejumlah 3.075 di antaranya di platform Facebook, 540 di
Twitter, 49 di Youtube, sisanya sebanyak 26 di Instagram. Dari
jumlah tersebut, yang telah ditindaklanjuti oleh Kemkominfo sebanyak 3.269,
terdiri dari 2.733 di Facebook, 469 di Twitter, 45 di Youtube, dan 22 di
Instagram. Sebanyak
113 hoaks sedang ditangani penegak hukum, dan tidak tertutup kemungkinan
berujung pada pidana terhadap tersangka penyebar hoaks Covid-19 yang
meresahkan masyarakat. Salah
satu hoaks yang cukup meresahkan masyarakat tersebut adalah kemunculan sosok
seorang dokter bernama Lois Owien. Alih-alih mengunggah konten yang
menyejukkan dan membuat masyarakat semakin taat menerapkan protokol
kesehatan, dokter Lois justru berbuat sebaliknya. Di
media sosial, narasi yang dilontarkan dokter Lois justru menyatakan bahwa
kematian warga masyarakat yang meningkat belakangan ini bukan akibat
Covid-19, melainkan karena keracunan obat. Dokter Lois menyatakan vaksin
justru akan menurunkan imunitas karena kandungan vaksin adalah logam berat
dan racun. Karena
ucapannya dianggap bisa meresahkan masyarakat, dokter Lois pun ditangkap
aparat. Ketika muncul di acara kanal Hotman Paris, dokter satu ini dianggap
menebar hoaks atau fake news dan berpotensi memicu munculnya kontroversi yang
meresahkan masyarakat. Risiko hoaks Hoaks
atau berita bohong pada dasarnya adalah berita yang sengaja dibuat untuk
menyesatkan dan dibutuhkan verifikasi untuk memastikan kebenarannya, dikemas
seolah-olah asli, dan bahkan sengaja direkayasa untuk tujuan menipu, dikemas
sebagai bentuk berita yang kredibel yang menampilkan sesuatu yang nyata dan
benar adanya. Kehadiran
jaringan sosial digital (digital social
networks) yang memfasilitasi proses konsumsi dan penyebaran informasi
yang diperoleh dari situs-situs berita daring (online) akan membuat
penyebaran hoaks makin lepas kendali. Banyak kajian menyimpulkan, di tengah
perkembangan situs-situs daring yang menawarkan informasi tanpa batas, muncul
hoaks atau fenomena fake news yang makin meresahkan. Selama
ini, dengan pelbagai motif, selalu saja muncul orang yang sengaja menyebarkan
berita palsu. Tindakan menyebarkan hoaks ini sangat berbahaya karena telah
terbukti mampu mengarahkan kepercayaan orang, dan bahkan berhasil
mengonstruksi pikiran orang, meski informasi yang mereka terima adalah salah. Rochlin
(2017) menyatakan, akibat penyebaran hoaks, yang terjadi adalah fakta-fakta
dan bukti-bukti telah digantikan oleh keyakinan pribadi, emosi, serta
sentimen pada kelompok atau golongan tertentu. Bronstein,
Pennycook, Bear, Rand, dan Cannon (2019) mengatakan bahwa kepercayaan pada
hoaks berkaitan dengan delusionalitas (delusionality), dogmatisme,
fundamentalisme agama (religious fundamentalism), dan reduksi berpikir
analitis. Karena
tujuannya untuk menipu dan menyesatkan pembaca, apa yang terdapat dalam
berita adalah informasi yang dikemas dengan sangat meyakinkan pembaca. Hoaks,
atau sebagian ahli menyebut dengan istilah fake news, sengaja bertujuan untuk
membangun kepercayaan bahwa informasi dalam fake news adalah benar dan nyata. Oleh
karena itu, tidak mudah mendeteksi apakah sebuah berita merupakan hoaks atau
bukan dan banyak orang tidak menyadari yang mereka baca adalah hoaks. Efek
atau risiko hoaks merugikan secara signifikan pada orang per orang, kelompok
masyarakat, organisasi, bahkan pemerintah dan negara. Salah satu risiko yang
terjadi ketika hoaks berkembang liar adalah bagaimana masyarakat memandang
dan menilai media. Ketika
media dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik, maka yang terjadi
adalah munculnya ketidakpercayaan kepada media netral. Apa
yang dilakukan dokter Lois, misalnya, bukan sekadar memicu munculnya
kontroversi dan polemik, tetapi juga membuat sebagian masyarakat menjadi
gamang. Sekelompok masyarakat yang termasuk kategori pendukung Covid Deniers
umumnya berasal dari kelompok masyarakat yang antivaksin, proteori
konspirasi, dan biasanya juga oposisi. Di
tangan orang-orang seperti inilah penyebaran hoaks menjadi cepat meluas karena
tanpa bertanya secara kritis, mereka begitu mudah meresirkulasi hoaks karena
dianggap benar. Berbeda
dengan informasi tentang Covid-19 yang benar dan berasal dari sumber yang
kredibel, hoaks seputar Covid-19 justru cenderung lebih mudah tersebar. Sebuah
informasi yang kontroversial dan tidak benar justru lebih mendorong warganet
untuk meresirkulasi kepada orang lain. Fondasi hukum Dari
kacamata hukum, seseorang yang mengunggah fake news dan menimbulkan keresahan
sudah barang tentu layak untuk ditangkap aparat penegak hukum, diproses, dan
diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan meja hijau. Membiarkan
hoaks terus bermunculan bukan tidak mungkin akan mengaburkan kebenaran. Akan
tetapi, masalahnya kemudian apakah dengan menangkap penyebar hoaks dan
memenjarakan mereka, lantas penyebaran hoaks atau fake news di media sosial
akan surut dengan sendirinya? Para
penyebar hoaks pada dasarnya mempunyai motif tersendiri yang mendorong mereka
menyebarkan informasi yang mereka anggap benar. Motif tersebut sangat
bervariasi. Antara
lain karena didorong harapan untuk mendapatkan respons atau sejenis counter
dari orang lain, ingin mendiskreditkan pendapat tertentu, atau karena ingin
menjadi orang yang ”membakar dunia” atau mendiskreditkan pihak-pihak lawan. Dengan
menggunakan Theory of Reasoned Action, Karnowski, Leonhard, dan Kumpel (2018)
menyimpulkan bahwa motif bersosialisasi dan penemuan informasi merupakan
alasan orang mengembangkan news-sharing behavior. Sementara
itu, ditinjau dari perspektif individu, menurut Ihm dan Kim (2018), pengguna
media sosial yang mempunyai keinginan untuk merepresentasi diri akan
termotivasi untuk menyebarkan hoaks daripada pengguna lainnya. Ihm
dan Kim (2018) juga mengemukakan bahwa news-sharing behavior merupakan cara
berkomunikasi yang digunakan untuk membangun hubungan sosial dan mengelola
impresi dalam konteks kepentingan informasional. Sementara
Tandoc (2019) menyatakan, keberpihakan merupakan daya tarik orang untuk
memercayai hoaks dan kemudian cenderung untuk menyebarkannya. Seperti
dikemukakan Shao et al (2018), bias konfirmasi adalah penjelasan mengapa
orang cenderung memercayai dan akan menyebarkan hoaks jika konten di dalam
hoaks adalah informasi yang mendukung mereka. Persoalan
yang penting saat ini adalah bagaimana agar orang tidak mudah untuk percaya
pada hoaks dan tidak mudah termakan hoaks seperti yang disebarkan oleh dokter
Lois atau para warganet iseng yang lain. Menangkap
pelaku dan menuduh mereka melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sepintas memang menjadi jalan keluar yang tepat. Akan
tetapi, di luar langkah hukum, upaya yang tak kalah penting sesungguhnya
adalah bergantung pada pengembangan sikap skeptis dan melatih masyarakat
untuk berpikir kritis dalam menilai informasi daring. Berpikir
kritis (critical thinking)
merupakan bagian dari kemampuan literasi informasi kritis (critical
information literacy) yang diperlukan guna menginvestigasi informasi sebelum
memutuskan untuk memercayai dan menyebarkannya. Seorang warganet yang mudah
menjadi korban hoaks biasanya adalah warganet yang tidak memiliki literasi
kritis. Warganet
yang memiliki pengetahuan yang cukup dan senantiasa menjaga jarak pada
kebenaran sebuah informasi niscaya tidak akan mudah menjadi korban hoaks. Lebih
dari sekadar bentuk penindakan yang tegas atas berbagai kasus pelanggaran
hukum karena menyebarkan hoaks, untuk meredam agar hoaks tidak makin
menyebar, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah literasi kritis para warganet.
Tanpa hal tersebut, jangan harap penyebarluasan hoaks akan dapat diredam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar