"Planning
Fallacy" Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Ari Kristiana ; A woman, a wife, a mother, and a daydreamer |
DETIKNEWS, 26 Juli 2021
Proyek pembangunan Kereta
Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menghadapi tiga masalah keuangan, yaitu
kekurangan ekuitas dasar (base equity), pembengkakan biaya (cost overrun),
dan defisit kas (cash deficit) pada masa operasi. Pernyataan Wakil Menteri
BUMN Kartika Wirjoatmodjo saat rapat dengan Komisi VI DPR menghiasi halaman
media massa minggu lalu. Wakil Menteri BUMN
mengakui adanya kesalahan perhitungan ekuitas di awal pembentukan konsorsium
dan juga analisis perencanaan yang terlalu optimis. Pernyataan tersebut
sebenarnya tidak terlalu mengagetkan karena sudah bisa diduga sebelumnya,
namun tetap menyesakkan saat dibaca, apalagi di tengah berbagai berita
tentang kondisi negara kita yang sedang tidak baik saat ini. Kondisi di atas
mengingatkan saya pada kasus pembangunan tram di Edinburgh. Ibu kota
Skotlandia tersebut mempunyai sejarah transportasi yang mirip dengan
Indonesia, atau Jakarta tepatnya, di mana sejak tahun 1871 menggunakan tram
sebagai moda transportasi umumnya. Namun setelah tahun 1956 tram ini tidak
digunakan lagi sehingga sistem transportasi massal Edinburgh hanya
mengandalkan bus dan kereta komuter yang terbatas jalurnya. Keinginan membangun
kembali tram di Edinburgh muncul pada sekitar tahun 2000. Pemerintah kota
Edinburgh ingin mengikuti sistem tram yang telah ada di Manchester,
Birmingham, dan Nottingham. Setelah berbagai persiapan yang menghabiskan
waktu cukup lama, pada tahun 2007 pembangunan tram yang menghubungkan pusat
kota Edinburgh dan Edinburgh Airport tersebut dimulai. Anggaran awal yang
digunakan untuk membangun tram tersebut sebesar £498 juta (sekitar Rp 9
triliun rupiah saat itu) yang dibiayai sebagian besar oleh pemerintah
Skotlandia dan sebagian lainnya oleh pemerintah kota Edinburgh. Pihak yang
diberi wewenang untuk mengawasi dan menandatangani kontrak pembangunan proyek
tersebut dengan konsorsium adalah Transport Initiatives Edinburgh (TIE),
sebuah badan usaha yang dimiliki penuh oleh pemerintah kota Edinburgh. Pembangunan tram ini tidak
berjalan lancar. Banyak permasalahan yang timbul, antara lain pembengkakan
biaya, pembatalan pembangunan beberapa jalur, timbulnya perselisihan dan
ketidaksepakatan antara TIE dengan konsorsium yang menyebabkan pembangunan
beberapa jalur tertunda, hingga adanya protes dari masyarakat dan pelaku
usaha di Edinburgh yang terkena dampak pembangunan jalur tram tersebut. Permasalahan-permasalahan
tersebut membuat pembangunan tram sepanjang 14 km menjadi molor lebih dari 3
tahun, sehingga baru dapat diselesaikan pada tahun 2013. Total biayanya pun
membengkak menjadi £776 juta (atau setara dengan Rp 15 triliun). Kasus
pembangunan tram ini merupakan salah satu contoh planning fallacy atau
kesalahan perencanaan. Dalam bukunya Thinking, Fast and Slow Daniel
Kahneman menjelaskan bahwa kasus planning fallacy ini dapat kita temukan di
mana-mana, dari level receh seperti renovasi rumah hingga level megaproyek
seperti pembangunan jalur kereta. Sudah jamak terjadi ketika orang merenovasi
rumah, biaya yang dikeluarkan hampir selalu melebihi bujet yang direncanakan,
bahkan kadang sampai lebih dari dua kali lipat. Contoh kasus yang sangat
terkenal dari kesalahan perencanaan adalah pembangunan Sydney Opera House.
Pembangunan ikon kota Sidney pada tahun 1959 tersebut membutuhkan waktu 10
tahun lebih lama dari waktu yang dijadwalkan dan tambahan biaya hampir 100
juta dollar dari perkiraan biaya awal yang hanya $7 juta. Kesalahan perencanaan
skala besar juga terjadi pada pembangunan gedung parlemen Skotlandia di
Edinburgh. Perkiraan biaya pembangunan pada proposal awal yang diajukan pada
tahun 1997 adalah sebesar 40 juta poundsterling. Sampai dengan gedung
tersebut selesai dibangun pada tahun 2004, realisasi biayanya mencapai 431
juta poundsterling, atau lebih 10 kali lipat dari perkiraan biaya awal. Permasalahan serupa juga
terjadi pada proyek pembangunan kereta di berbagai negara. Sebuah penelitian
menyebutkan lebih dari 90% proyek pembangunan kereta yang dilakukan sejak
1969 hingga 1998 terdapat kesalahan perencanaan, antara lain dengan
melebih-lebihkan proyeksi jumlah pengguna kereta api tersebut. Secara
rata-rata jumlah perkiraan penumpang overestimated sebesar 106% dan realisasi
biaya melampaui 45% dari perkiraan awal. Sehingga kasus yang
terjadi pada kereta cepat Jakarta-Bandung bukan sesuatu yang mengagetkan
lagi. Kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya diperkirakan menghabiskan biaya
sebesar USD 6 miliar atau lebih dari Rp 80 triliun. Pemerintah memperkirakan
biaya pembangunannya membengkak 25-30% atau sebesar Rp 20-27 triliun. Sangat
mahal. Yang menjadi pertanyaan,
jika sudah terlalu banyak contoh kasus kesalahan perencanaan pada megaproyek,
mengapa sampai saat ini hal tersebut masih saja terus terjadi? Salah satu
penyebabnya, manusia seringkali bias terhadap hal-hal positif sehingga
cenderung membuat prediksi yang terlalu optimis dan mengabaikan informasi
yang bertentangan dengan keyakinan optimis tersebut. Kahneman dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa para perencana seringkali menggunakan
penilaian berdasarkan intuisi yang seringkali tidak akurat. Sedangkan ahli
perencanaan dari University of Oxford, Bent Flyvbjerg menyatakan bahwa
kesalahan utama yang terjadi adalah para perencana cenderung mengabaikan
informasi dari luar (distributional information). Padahal sebenarnya kita
bisa banyak belajar dari berbagai kasus yang terjadi sebelumnya. Tidak hanya sekali saja
planning fallacy ini terjadi. Kesalahan yang sama juga terjadi pada proyek
pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW. Asumsi pertumbuhan ekonomi dan
proyeksi peningkatan kebutuhan listrik yang digunakan saat perencanaan
terlalu ambisius. Sedangkan kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak
sedahsyat yang dibayangkan dan kenaikan permintaan listrik tidak setinggi
yang diharapkan. Alhasil sejak dua tahun
lalu terjadi oversupply pasokan listrik di Pulau Jawa-Bali, dan masih akan bertambah
dengan adanya pasokan dari beberapa pembangkit yang baru selesai dibangun dan
siap beroperasi tahun ini. Tanpa ada kebijakan yang revolusioner, PT PLN
jelas akan menanggung beban pembelian listrik yang sangat besar tanpa bisa
menjualnya lagi ke konsumen. Lalu, apakah planning
fallacy ini bisa dimitigasi atau dicegah? Jawabannya sangat bisa. Kuncinya,
menggunakan menggunakan distributional information atau yang sering dikenal
sebagai outside view. Flyvbjerg menyarankan para perencana mengumpulkan segala
informasi yang terkait dengan satu proyek ke dalam satu big data. Contohnya
dalam pembangunan kereta cepat ini antara lain data terkait biaya pembangunan
jalur kereta per kilometer, biaya mana saja yang melebihi bujet, dan waktu
pelaksanaan setiap tahapan yang melebihi jadwal, dari pembangunan kereta di
berbagai negara. Semakin banyak data semakin baik. Data-data tersebut
dianalisis untuk kemudian dijadikan perkiraan dasar. Selanjutnya perencana
harus menambahkan analisis atas informasi spesifik yang ada di setiap proyek
untuk menghindari bias optimistik. Hal ini penting supaya pihak pengambil
keputusan mendapat gambaran yang realistis atas proyek tersebut. Untuk kasus kereta cepat
Jakarta-Bandung yang sedang dalam proses pembangunan, analisis model Flyvbjerg
tetap dapat dan perlu dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut untuk
memitigasi tambahan biaya dan waktu yang mungkin terjadi di masa mendatang,
sehingga pemerintah dapat menyusun way
out dengan lebih seksama, termasuk melakukan renegosiasi dengan
penyandang dana jika dimungkinkan, supaya proyek tersebut tidak menjadi
proyek rugi di masa mendatang. Perencanaan yang mendalam
memang membutuhkan effort yang lebih keras dan waktu yang lebih lama. Namun
jika dilakukan dengan benar, maka sebenarnya kita dapat menghemat waktu dan
biaya triliunan rupiah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar