Evaluasi
PPKM Darurat Tjandra Yoga Aditama ; Guru Besar FKUI, Direktur Pascasarjana
Universitas YARSI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, dan Mantan Dirjen P2P
& Ka Balitbangkes |
MEDIA INDONESIA,
19 Juli
2021
PPKM darurat sudah bermula
sejak 3 Juli 2021. Data awal pada hari itu ialah 14.138 kasus baru, angka
positif (positivity rate) 25,2%, dan 493 orang wafat. Sesudah lebih 10 hari
berjalan, angkanya melonjak cukup tajam dan beberapa bahkan menembus semacam ‘batas
psikologis’. Pada 14 Juli 2021, untuk pertama kalinya angka kasus baru
menembus 50 ribu, tepatnya 54.517. Lalu, angka positif juga menembus 30%,
yaitu 31.5%, padahal, ini menunjukkan besarnya penularan di masyarakat
(community transmission). Sebagai perbandingan saja,
angka positif di Vietnam 1,2%, Kamboja 3,5%, dan Laos 2,4%. Yang ‘agak
tinggi’ ialah Filipina, itu pun 11%, dan Malaysia 8,5%, jauh di bawah angka
kita yang 30%. Bahkan, India yang ketika kasusnya tinggi, angka positifnya di
atas 20%, sekarang berhasil ditekan hanya sekitar 2% saja. Tentang penambahan kasus
baru harian yang naik lebih dari 300%, dari 14.138 menjadi 54.517, juga
menunjukkan tingginya penularan di masyarakat kita. Peningkatan kasus baru
ini tidak dapat diterangkan dengan peningkatan jumlah orang yang dites. Itu
karena pada 3 Juli 2021, tesnya pada 110.983 orang dan naik hanya sekitar 50%
menjadi 172.900 pada 14 Juli 2021. Yang jadi penting sekarang ialah menilai
bagaimana efektivitas PPKM darurat yang sudah dilaksanakan selama ini yang
sementara ini direncanakan akan sampai 20 Juli 2021. Untuk menilai efektivitas
ini dapat juga digunakan pendekatan melalui tiga kriteria, yaitu
epidemiologi, sistem kesehatan, dan sistem surveilans. Sebenarnya, ketiga
kriteria ini digunakan juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor
HK.01.07/MENKES/413/2020 yang juga mengacu pada pedoman WHO tentang Public
Health and Social Measure (PHSM) untuk menilai apakah pandemi sudah
terkendali. Pola pendekatan yang sama
dapat juga dipakai untuk mengevaluasi PPKM darurat dengan tiga kriteria yang
sejalan. Pertama, kriteria epidemiologi yang untuk PPKM darurat dapat dinilai
menjadi apakah keadaan sudah terkendali. Kedua, kriteria sistem kesehatan,
apakah mampu menangani lonjakan kasus yang ada. Kriteria ketiga, tentang
kriteria surveilans kesehatan masyarakat yang diharapkan mampu mendeteksi dan
mengelola kasus dan kontak, serta mengidentifikasi kenaikan jumlah
kasus. Epidemiologi
dan surveilans Untuk kriteria
epidemiologi, setidaknya ada dua parameter yang dapat dipilih, yaitu jumlah
kasus baru dan angka positif. Dalam KMK No HK.01.07/MENKES/413/2020 di atas
ditulis bahwa wabah sudah terkendali bila sudah terjadi penurunan minimal 50%
angka kasus konfirmasi baru dari puncak tertinggi selama tiga minggu
berturut-turut dan terus menurun pada minggu-minggu selanjutnya. Kalau untuk evaluasi PPKM
darurat, tentu tidak perlu seketat itu syaratnya. Namun, dapat saja dipilih
kalau angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu,
katakanlah di bawah 10 ribu per hari. Sebagai ilustrasi saja, Malaysia juga
menerapkan kebijakan movement control order (MCO) yang menggunakan patokan
bahwa kalau kasus baru per hari di bawah 4 ribu, kebijakan dapat
dilonggarkan. Parameter kedua ialah
angka positif. Untuk ini, memang sebaiknya dipakai patokan 5% agar menjamin
penularan di masyarakat memang sudah rendah. Apalagi, banyak negara tetangga
kita (dan juga India) angkanya memang 2% atau 3% saja kecuali negara
tertentu. Kalau kita lihat negara Eropa, angkanya juga di bawah 5%, seperti
Perancis 1,2%, Jerman 0,8%, Inggris 2,8%, dan Italia 0,7%. Amerika Serikat
angka positifnya 4,4%. Kita sangat berharap agar
angka positif di negara kita yang sudah di atas 30% ini dapat diturunkan
karena ini merupakan indikator yang tepat untuk menilai tingkat penularan di
masyarakat. Sesudah angka positif turun tajam, barulah kita dapat berpikir
tentang pelonggaran PPKM darurat. Tentang kriteria
surveilans kesehatan masyarakat, tujuan idealnya antara lain ialah agar semua
kasus baru dapat diidentifikasi, dilaporkan, dan dianalisis kurang dari 24
jam. Juga akan sangat baik kalau 90% kasus suspek diisolasi dan dilakukan
pengambilan spesimen dalam waktu kurang dari 48 jam sejak munculnya gejala
atau lebih dari 80% kasus baru dapat diidentifikasi kontak eratnya. Lalu,
mulai dilakukan karantina dalam waktu kurang dari 72 jam setelah kasus baru
dikonfirmasi. Sangat baik sekali kalau
lebih dari 80% kontak dari kasus baru dipantau selama 14 hari sejak kontak
terakhir. Namun, untuk evaluasi PPKM darurat, setidaknya ada dua hal yang
harus dicapai. Pertama, jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan
dengan amat tinggi. Kedua, kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang masif. Kalau India sudah berhasil
melakukan tes pada sekitar dua juta orang seharinya, dengan penduduk kita
yang sekitar seperempat penduduk India, target melakukan tes sampai 500 ribu
sehari tampaknya patut dikejar untuk dicapai. Sesudah itu, untuk setiap
kasus yang ditemui sudah ada pula berapa target yang harus dicari dan
ditemukan dari setiap kasus positif. Katakanlah antara 15-30 kontak yang
harus ditemukan. Kalau di antara mereka ada yang ternyata positif covid-19,
harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi. Demikian seterusnya. Semua kasus
yang ditemukan harus dapat diisolasi atau dikarantina untuk mendapatkan
penanganan dan memutuskan rantai penularan. Memang dengan jumlah tes
yang besar akan ditemukan kasus yang lebih banyak, tapi ini membuat kita
mendapatkan gambaran yang sebenarnya terjadi dan dapat mengambil langkah
tepat mengendalikan keadaan. Kalau masih banyak kasus baru di masyarakat yang
tidak ditemukan, penularan masih akan terus terjadi. Tidak kunjung terkendali
dan masih akan terus diperlukan pembatasan sosial yang ketat. Pelayanan
kesehatan dan SDM Untuk kriteria sistem
pelayanan kesehatan, parameter yang ideal antara lain ialah seluruh pasien
covid-19 yang memperoleh tata laksana sesuai standar atau sistem dapat
mengatasi peningkatan lebih dari 20% kasus covid-19 atau seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan dapat melakukan skrining terhadap covid-19. Secara praktis di
lapangan, untuk mengevaluasi PPKM darurat, dapat dilihat dari keterisian
tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) rumah sakit. Dalam hal ini harus
diingat bahwa angka BOR bisa dapat fluktuatif tergantung berapa banyak tempat
tidur yang diperuntukkan untuk pasien covid-19. Karena itu, kadang-kadang
membaca angka BOR perlu secara kritis. Selama hari-hari tingginya
pasien covid-19 sekarang ini, bukan hanya ruang rawat rumah sakit yang penuh,
melainkan juga instalasi gawat darurat (IGD)-nya juga penuh. Orang terpaksa
antre masuk IGD, bukan lagi antre masuk RS. Karena itu, ada parameter lain
yang dapat dipertimbangkan untuk evaluasi PPKM darurat, yaitu sudah tidak
adanya orang yang harus mengantre untuk mendapat pelayanan di IGD. Kita tahu,
kenyataan kini masih amat memprihatinkan karena banyak sekali anggota masyarakat
yang tidak dapat masuk IGD dan masuk RS, padahal mereka amat membutuhkannya. Satu hal yang amat penting
dalam sistem pelayanan kesehatan ialah sumber daya manusia (SDM)-nya, dokter,
perawat, dan petugas kesehatan lain. Mereka sudah amat kewalahan menghadapi
lonjakan kasus tanpa henti ini. Sebagian petugas sudah tertular dan sedihnya
sejawat kita juga meninggal dunia. Untuk memperkuat pelayanan
rumah sakit, mungkin saja tempat tidur ditambah atau oksigen dijamin
keberadaannya atau obat dilengkapi dll. Namub, SDM kesehatan tentu tidak
mudah menambahnya. Memang sudah ada berbagai upaya yang dilakukan, seperti
pendayagunaan mahasiswa kedokteran/kesehatan yang sudah tahap akhir studinya
dan kemungkinan relawan dokter serta perawat. Bentuk inovasi lain yang
diusulkan ialah, pendekatan 3R tenaga kesehatan, yaitu refungsi, relokasi,
dan recruitment yang pernah dibicarakan di lingkungan Persatuan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam hal ini, 2R pertamanya pada dasarnya ialah
melakukan manajemen lebih baik tentang pengaturan tugas para tenaga kesehatan
di berbagai tempat kerjanya sekarang ini. Petugas kesehatan di rumah
sakit yang sekarang tugas utamanya menangani pasien bukan covid-19, misalnya,
mungkin dapat dirotasikan ke bangsal covid-19. Tentu, tetap dengan dokter
penanggung jawab yang tepat. Dalam hal ini, memang akan baik kalau jumlah rumah
sakit yang sepenuhnya menangani covid-19 dapat ditambah sehingga tenaga
kesehatan dapat dirotasikan dan kemungkinan penularan dari pasien covid-19 ke
pasien lain di dalam rumah sakit yang sama dapat dicegah. Tentu disiapkan juga rumah
sakit lain yang menangani sepenuhnya pasien noncovid-19 saja. Juga mungkin
ada tenaga kesehatan yang bekerja di luar pelayanan langsung ke pasien,
misalnya di kantor atau para pensiunan dokter, misalnya, yang dapat diminta
bantuannya sebagai orang yang memberi konsultasi bagi mereka yang isolasi
mandiri di sekitar tempat tinggalnya dan/atau berbagai bentuk inovasi
lainnya. Salah satu bentuk lain,
para Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)--saya pun
ikut di dalamnya--pada 12 Juli 2021 mengeluarkan rekomendasi Gerakan Semesta
Tenaga Kesehatan Indonesia pada masa Darurat Covid-19. Dalam rekomendasi ini
dijabarkan tentang gerakan semesta seluruh tenaga kesehatan lintas profesi
untuk turut membantu program pelayanan covid-19 sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Di sisi lain, disebutkan juga perlunya dukungan penuh pemerintah kepada
seluruh tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan covid-19. Pada akhir rekomendasi
disebutkan bahwa tenaga kesehatan merupakan garda terakhir penanganan
covid-19, sedangkan garda terdepannya ialah masyarakat. Kita semua perlu
melakukan 6M, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir,
menjaga jarak, menjauhi keramaian, mengurangi mobilitas, dan menghindari
makan bersama. Kita masih berhadapan
dengan badai masalah covid-19, yang perlu upaya penanggulangan maksimal,
tidak cukup lagi hanya optimal. Hanya dengan kerja keras kita semua, dengan
peran masing-masing, kita akan dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan bangsa
ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar