Setop
Accidental Herd Immunity Djoko Santoso ; Guru Besar FK Unair, Ketua Badan Kesehatan
MUI Jatim, Penyintas covid-19 |
MEDIA INDONESIA,
26 Juli
2021
‘SELEKSI Allah. Gusti
Allah sedang memilih. Siapa lanjut hidup dan siapa yang dianggap cukup’. Ini
posting-an terakhir Bambang Purwoko, dosen Fisipol dan Ketua Satgas Papua UGM
di laman Facebook, Minggu (4/7), yang saat itu sedang sakit. Sepuluh hari kemudian,
Mas Bambang meninggal. Semoga husnulkhatimah. Sebelumnya, almarhum sempat
mem-posting kegundahannya. ‘Anomali? Wabah makin parah, tetapi jalanan dan
tempat-tempat umum makin meriah’. Itulah renungan almarhum sebelum meninggal
yang sangat tepat dalam menggambarkan kondisi saat ini. Posting-an husnulkhatimah
itu tepat mencerminkan kegentingan saat ini. Gelombang kedua covid-19 yang
merundung negeri kita belum juga bisa dikendalikan. Presiden Jokowi sudah
memberlakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada
3-20 Juli dan memperpanjangnya hingga 25 Juli, dan kini diperpanjang lagi
hingga 2 Agustus. Saat dimulai PPKM darurat, angka tambahan harian 27.913
orang. Target Presiden, bisa turun di bawah 10 ribu orang per hari. Akan tetapi,
10 hari setelah pemberlakuan PPKM, angka penambahan positif harian malah naik
tajam sampai 54 ribu kasus dalam sehari. Angka kematian naik tiga kali lipat.
Sampai 24 Juli masih di posisi 49.071 kasus baru dan rekor kematian 1.556
kasus. PPKM pimpinan Jenderal (Purn) Luhut B Pandjaitan ini ternyata sulit
menjinakkan gelombang maut. Sebelumnya, Jokowi
memerintahkan program vaksinasi gratis bagi seluruh rakyat harus dipercepat
agar segera mencapai kondisi herd immunity. Perintahnya, target sejuta vaksin
sehari sampai akhir Juli dan ditingkatkan menjadi 2 juta per hari mulai
Agustus. Namun, rupanya program ini berjalan lambat, tidak sesuai harapan.
Presiden sempat marah karena mendapati stok vaksin masih menumpuk banyak.
Menurut Kemenkes, pada 17 Juli ada 18 juta dosis. Ironisnya, Kemenkes malah
mengumumkan program vaksin gotong royong yang berbayar. Akhirnya, Presiden
memerintahkan program vaksinasi berbayar dibatalkan dan kembali menjamin
semua warga mendapatkan vaksinasi gratis. Berdasar data Komite Penanganan
Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), sampai 18 Juli, jumlah
penerima vaksin tahap pertama sekitar 41 juta orang dan sekitar 16 juta orang
sudah menerima vaksin kedua. Dalam tiga minggu terakhir, rata-rata antara 800
ribuan hingga 1,1 juta orang divaksin per hari. Dengan kecepatan rata-rata 1
juta vaksinasi per hari, masih sangat lama untuk mencapai herd immunity,
yaitu kondisi 70%-80% populasi sudah menerima vaksinasi dosis pertama dan
kedua. Sampai akhir 2021 belum bisa dicapai herd immunity. Tanpa melihat kualitas
tiap-tiap vaksin yang sudah beredar, vaksinasi tetap pilihan terbaik saat
ini. Berdasar data Kemenkes yang pernah dikutip Menteri BUMN Erick Thohir,
sekitar 90% pasien covid-19 yang meninggal ialah mereka yang belum divaksin.
Sementara itu, Kepala Dinkes Jateng pada pertengahan Juli menyebut dari
seluruh pasien covid-19 yang meninggal di Jateng, 87% belum divaksin dan yang
sudah divaksin, tetapi meninggal, sebanyak 2,3%. Angka ini mirip dengan
temuan CDC atau Center for Disease Control and Prevention (Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit) Amerika Serikat bahwa lonjakan pasien yang masuk ke
RS di AS dalam Juli ini 97% menerpa orang yang belum divaksin. Kecenderungan
Darwinian Kasus positif harian yang
sempat mencapai 56.757 orang (15/7), sehari kemudian mulai menurun jadi 54
ribu (16/7), 51.592 (17/7), dan 44.721 (18/7). Sayangnya, kita belum bisa
lega karena penurunan angka positif ini ternyata dibarengi dengan penurunan
jumlah testing pemeriksaan spesimen. Pada Minggu (18/7), diperiksa 192.918
spesimen dari 138.046 orang. Padahal, Sabtu (17/7), memeriksa 251.392
spesimen, (16/7) memeriksa 258.532 spesimen, (15/7) 129.059 spesimen, dan
Rabu (14/7) memeriksa 240.724 spesimen. Artinya, ada aspek yang
sebaiknya perlu konfirmasi ulang di situ. Penurunan kasus positif harian ini
belum bisa disimpulkan karena keberhasilan penanganan, tetapi karena jumlah
tes, pemeriksaannya dikurangi. Jika saja jumlah pemeriksaan dikurangi lebih
banyak lagi atau misalkan, diliburkan selama satu minggu libur tanpa ada
pemeriksaan, dipastikan tidak ada penambahan kasus positif. Dengan kata lain,
penurunan angka positif ini lebih merupakan data yang bisa menjebak persepsi
publik. Ruwetnya penanganan
pandemi ini akhirnya direspons oleh masyarakat. Survei LSI yang melibatkan
1.200 responden di 34 provinsi dan baru saja dirilis (18/7) menunjukkan
penurunan kepercayaan publik pada pemerintah dalam menangani pandemi. Tingkat
kepercayaan publik pada Presiden dalam menangani pandemi terus menurun. Pada
September 2020, kepercayaan publik pada Jokowi dalam menangani pandemi
mencapai 60,6%. Namun, pada Februari 2021, merosot menjadi dari 56,5% dan
Juni makin merosot hingga 43%. Ini merupakan angka terendah selama pandemi.
Untuk pertama kalinya, kepercayaan publik pada Presiden berada di bawah 50%. Para dokter dan tenaga
medis berguguran. Sampai 9 Juli, Koaliasi Warga Lapor Covid-19 mencatat ada
1.141 nakes yang meninggal selama 16 bulan pandemi. Mereka merupakan dokter
(umum, spesialis, gigi), perawat, bidan, petugas ambulans, apoteker, dan
laboran medik. Yang masih hidup, banyak yang sudah kelelahan mendekati batas
daya tahannya. Masyarakat juga semakin lelah setelah memasuki tahun kedua
menghadapi gempuran pandemi dengan kondisi ekonomi yang makin merosot. Sementara itu, di sisi
lain, si virus korona makin menyebar dan terus bandel beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Virus korona akan terus bermutasi dan menghadapi seleksi
alam, varian yang lemah akan mati dimusnahkan antibodi serta varian yang kuat
akan terus bertahan dan makin memperkuat diri. Teori evolusi Darwin menyebut
organisme dengan gen yang mampu menyesuaikan diri (fittable) dengan
lingkungan akan bertahan hidup dan menurunkan generasi berikutnya, survival
of the fittest. Manusia pun seperti
berlomba dalam situasi darwinian ini. Saat awal virus Sars-Cov-2 penyebab
covid-19 ini menyebar, belum ada obat dan vaksinnya sehingga orang yang
terpapar hanya mengandalkan pada respons imun (kekebalan alamiah) untuk
melawan infeksi. Yang benar-benar sehat dan memiliki respons imun memadai
mampu bertahan. Namun, bagi yang lemah, termasuk golongan rentan, seperti
usia lanjut dan yang memiliki penyakit penyerta (komorbid), sering sangat
fatal. Perkuat
Imun Fase 1-2 Yang makin merepotkan,
semakin banyak orang yang terinfeksi virus korona, semakin besar kemungkinan
terjadinya mutasi virus. RNA untai tunggal virus korona ini sangat rentan
terhadap mutasi baru dan dapat bermutasi hingga satu juta kali lebih cepat
jika dibandingkan dengan lainnya. Yang mengkhawatirkan bila mutasi itu
menghasilkan varian baru yang lebih ganas. Gelombang kedua yang kita
alami saat ini merupakan efek varian delta. Seakan belum cukup buruk, varian
delta ini sudah memunculkan delta plus (AY1 dan AY2). Belum ada laporan resmi
apakah varian delta plus sudah masuk ke Indonesia. Data yang dihimpun dari
berbagai sumber, seperti Public Health England, Aljazeera, Indian Express,
dan Katadata menyebut sampai 22 Juni, genom AY1 sudah menyebar setidaknya di
10 negara, antara lain AS, Portugal, Swiss, Jepang, Polandia, India, Nepal,
Kanada, Rusia, dan Turki. CDC menyebut kini serangan delta dan delta plus ini
dominan di AS yang angkanya melonjak juga. Pada 20 Juni, ada 8.137 kasus
harian dan 143 kematian. Namun, pada 24 Juli melejit ke 67.460 kasus infeksi
baru dan 425 kematian. Sampai 24 Juli, sekarang negara superpower itu menjadi
negara yang paling menderita dengan terinfeksi 35,28 juta orang dan 626.657
meninggal. Tentu ini harus menjadi
perhatian serius karena karakter delta plus ini lebih berbahaya jika
dibanding dengan delta biasa. Lebih cepat menular, lebih menempel ke reseptor
sel paru-paru, dan potensial menurunkan respons antibodi. Varian delta saja
sudah sedemikian cepat penularannya, dalam waktu singkat membuat pulau Jawa
menjadi zona merah dan mengantarkan Indonesia menjadi episentrum covid-19 di
Asia, bahkan dunia. Apalagi varian delta plus yang lebih menular tentu lebih
berbahaya. Di sisi lain, manusia
memiliki respons imun yang efektif terhadap virus. Jika terpapar covid-19,
orang yang memiliki respons imun seimbang akan mampu membersihkan infeksi
primer tanpa terkena peradangan yang berlebihan sehingga bisa bertahan dan
sembuh. Namun, pada orang yang respons imunnya lemah dan tidak seimbang,
tidak akan mampu membersihkan infeksi dan akhirnya akan kalah menghadapi
virus korona. Saat ini virus korona
masih belum stabil dan terus bermutasi memperkuat diri. Demikian juga
manusia. Dalam kompetisi hidup mati ini, manusia masih terus berusaha membangun
sistem kekebalan untuk menghadapi gempuran korona. Virus korona dan manusia
masih berlaga di medan perang, sama-sama berjuang untuk bertahan hidup. Cara efektif untuk
mendorong respons imun agar muncul antibodi ialah dengan vaksinasi. Dengan cara
ini, mereka disiapkan untuk memiliki respons imun yang kuat pada fase 1,
yakni sistem imun membersihkan infeksi covid-19 dan menghambat penyebarannya
di paru-paru. Di sisi selanjutnya, juga dikuatkan respons imun pada fase
2-nya ketika sistem imun harus bisa mencegah peradangan yang berlebihan
(mencegah terjadinya badai sitokin). Maka itu, menjadi semakin jelas bahwa
mengapa kecepatan riset menemukan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi sangat
berkejaran dengan kecepatan penyebaran dan mutasi virus. Demikian juga dengan
faktor kecepatan penyuntikan vaksinasi kepada sebagian besar penduduk. Kekebalan
Tak Terencana Perlu diingatkan, selain
faktor ketidakdisiplinan sebagian masyarakat, lambatnya capaian vaksinasi
dibarengi dengan munculnya varian delta plus yang lebih menular, plus
kebijakan pemerintah yang tidak konsisten akan mengarahkan kita pada kondisi
accidental herd immunity, yaitu tercapainya kekebalan kelompok karena
'kecelakaan' akibat kurang efektifnya berbagai langkah pemerintah sejak awal
pandemi, termasuk kurang cepatnya vaksinasi menyeluruh. Juga karena respons
banyak anggota masyarakat yang kurang antusias mengikuti protokol kesehatan. Kondisi ini akan mengarah
pada survival of the fittest ala Darwin. Akan terjadi suatu kondisi semua
orang berkompetisi dalam seleksi pandemi. Siapa yang bisa beradaptasi, dialah
yang bisa bertahan hidup dan siapa yang lemah bakal kalah. Ini seperti
kembali ke awal pandemi saat belum ditemukan vaksin ketika ada pilihan wacana
herd immunity alamiah, yakni kalau sudah ada 70% populasi yang terpapar akan
terbentuk kekebalan kawanan. Tentu saja ini kondisi brutal karena yang tidak
bisa bertahan terhadap paparan covid-19 akan meninggal. Jumlahnya bisa di
atas 10 juta orang. Ngeri! Kondisi itu terjadi kalau
pemerintah dan masyarakat mengangkat 'bendera putih', tidak sanggup lagi
menahan laju gempuran pandemi. Indikasinya semua pilihan kebijakan tak
optimal dan mendapat tentangan luas. Lebih-lebih varian baru, entah apa lagi,
yang lebih ganas merajalela. Kini sudah ada tanda-tanda jalan buntu itu
terjadi. Maka itu , akan berlangsunglah kekebalan kawanan yang tak terencana
atau 'kecelakaan'. Kekebalan akan timbul dalam jumlah terbesar populasi
karena mereka berhasil selamat setelah menderita paparan covid-19. Indikasi ini sedang
terjadi di DKI Jakarta. Per 31 Maret 2021, sebanyak 44,5% dari total penduduk
Jakarta sudah terinfeksi covid-19. Angka itu didapat dari survei serologi
yang dilakukan FKM UI bersama Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Lembaga
Eijkman, dan CDC Indonesia. Dengan total penduduk DKI Jakarta 10,6 juta,
artinya ada 4.717.000 orang pernah terinfeksi. Sementara itu, kasus covid-19
yang terdeteksi sampai 31 Maret berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI
Jakarta hanya 382.055. Artinya, 92% tak terdeteksi. Survei DKI ini bisa
menjadi indikator bahwa kemungkinan hal serupa terjadi di daerah lain.
Setidaknya di wilayah padat penduduk. Bisa dikatakan silent majority yang
terkena covid-19 ini berjuang sendiri untuk sembuh (atau kalah) tanpa tercatat
pemerintah. Dalam kondisi cenderung
darwinian itu, tentu kita manusia harus bersikap lebih cerdas daripada virus.
Aspek accidental dalam proses herd immunity itu harus dikurangi dengan
ikhtiar dan tawakal. Caranya, tentu dengan mempertebal tameng imunitas. Maka
itu, program vaksinasi semesta untuk rakyat Indonesia harus dikebut
secepat-cepatnya. Kalau bisa, tahun ini tuntas. Bila kecepatan vaksinasi ini
melebihi kecepatan menularnya covid-19, manusia akan lebih unggul dalam
kompetisi darwinian ini. Begitu pun sebaliknya. Bila vaksinasi masih lelet,
ruwet, birokratis, mempersoalkan tetek bengek administrasi, covid-19 dan
variannya akan mengendalikan kita. Na’uudzubillah. Selain vaksinasi, tentu
manusia bisa menang melawan virus bila terus mengubah perilaku, yakni makin
pintar beradaptasi dengan keadaan pandemi ini. Antusiasme vaksinasi saat ini
menunjukkan perubahan perilaku setelah menyaksikan horor gelombang kedua saat
ini. Ini bisa jadi pintu masuk kesadaran memperkuat prokes agar tidak lengah
dan disiplin. Ini peluang pemerintah untuk merebut hati masyarakat melalui
komunikator yang andal. Yang luwes dan tepat, yang bisa merangkul dan memberi
pengertian. Komunikator ini bisa mengambil alih peran para pejabat yang
sering simpang siur. Komunikasi kebijakan itu
akan efektif kalau kebijakan pemerintah mencerminkan sikap ketuhanan (selalu
tawakal dalam ikhtiar), kemanusiaan (selalu humanis), persatuan (merekatkan,
tak memecah warga), permusyawaratan (tak alergi kritik), serta keadilan
(tidak pilih kasih antara si kuat dan si lemah). Sikap pancasilais, gitulah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar