Etika
Pancasila Al Makin ; Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
SINDONEWS, 22 Juli 2021
PANCASILA hendaknya
dipandang sebagai milik semua elemen bangsa dan untuk siapa saja dari bangsa
ini. Pancasila tidak hanya sebagai kekuatan formal secara hukum bernegara,
tetapi terbuka bagi siapapun dari berbagai elemen masyarakat. Dengan begitu, Pancasila
bisa diterjemahkan dalam tata laku dan tindakan siapa saja. Dan masyarakat
manapun juga bisa merujuk dan memberi makna sesuai dengan budaya dan
tradisinya. Pancasila terbuka. Usaha kita adalah agar
Pancasila tidak hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, tetapi semua kelompok
merasa memiliki. Pancasila tidak tertutup, tetapi terbuka dan sederhana.
Pancasila hendaknya mudah difahami, dan semua merasa menafsirinya. Pancasila
milik semua warga Indonesia. Secara formal dan legal,
Pancasila memang sumber hukum di negara ini, sebagaimana termaktub dalam UU
12/2011 pasal 2. Namun, hukum adalah sesuatu yang zahiriyah, harus bisa
dibuktikan, harus tertulis, bisa disaksikan, dan berlaku secara sah di mata
negara. Penegakan hukum lebih pada
masalah teknis dan tata aturan yang mengikat, yang melanggar akan menerima
konsekwensinya setelah pembuktian. Hukum berkaitan dengan pelanggaran dan
penegakan aturan. Hukum adalah pelaksanaan
formal dan resmi dengan sifat-sifat kenegaraan, pemerintahan, perkantoran,
pengadilan, dan prosedur. Semuanya zahir, jelas, dan resmi. Namun, ada sesuatu yang
lebih praktis dan lebih mengikat kita, dan bisa diikuti oleh semuanya dalam
keseharian dan kesederhanaan masing-masingm, yaitu etika. Tanpa harus
diproses dan tanpa harus menunggu pelanggaran terjadi, etika ada di
masing-masing individu dalam masyarakat. Etika adalah sebuah
rambu-rambu bagi siapa saja, antar orang, dan mereka dalam kesendirian dan
kebersamaan dalam berbangsa. Etika mengikat secara batiniyah. Persoalan etika sudah lama
diajarkan dan dipikirkan oleh manusia kuno. Filosof Yunani kuno, Aristoteles,
2500 tahun yang lalu, secara khusus membahas ethos ini. Apa itu kebaikan,
kebahagiaan, keadilan, dan nilai-nilai mulia yang dikembangkan. Keutamaan laku dan sikap,
serta nilai kebajikan yang mempengaruhi individu dan yang membawa
masing-masing meraih kebahagiaan dan kebajikan bermasyarakat. Itulah etika
yang hendaknya terkait dengan Pancasila, dan bagian utama darinya. Dalam berbagai sastra kuno
kita dalam berbagai bahasa daerah, terutama sumber utamanya adalah bahasa
Sansekerta lama, misalnya genre babad atau serat, dan berbagai fragmen dari
berbagai suku, terdapat berbagai rumusan etika. Tentu terlalu berlebihan,
jika kita harus membaca secara harfiyah, adat yang berlaku di semua suku dan
etnis di kepualauan Nusantara itu. Namun, semangat akomodasi
sudah lama dipikirkan oleh para ahli hukum lama kita, seperti Hazairin
Harahap (1906-1975). Hukum adat, agama, dan negara saling berkelindan dan
memperkaya. Etika ada di sana, tata laku yang mengatur agar anggota
masyarakat menjadi warga yang baik untuk meraih kebahagiaan. Etika lebih dari hukum,
lebih dari sekadar formalitas dan tata aturan negara. Etika lebih luas
mencakup kebahagiaan masyarakat dan individu. Etika mencakup sikap, perilaku,
dan tindakan kita. Etika terkait dengan laku batin. Etika Pancasila sudah lama
juga menjadi bahan perbincangan cerdik dan cendikia kita, era Orde Baru
hingga Reformasi. Namun implementasi dan pengembangan tampaknya perlu
perenungan lebih mendalam lagi. Bagaimana kita membuat etika Pancasila itu
menjadi sederhana dan mudah difahami. Berbagai tulisan dari para
pengamat dan peneliti menggagas pembumian sekaligus penterjemahan dalam
nilai-nilai Pancasila dari segi keseharian. Usaha itu akan menjaga agar
Pancasila tetap hidup dalam tindakan masyarakat kita. Etika itu bermula dari pendidikan
kita. Para siswa sekolah dasar, menengah, atas dan perguruan tinggi selama
ini terlalu ditekan dengan proses pembentukan untuk menghafal materi, dan
terus dicetak untuk mengejar profesi formal yang dipandang bergengsi. Imajinasi mereka, mimpi
mereka, dan pandangan hidup mereka, ditunjukkan pada benda-benda formalitas.
Mereka akan mengejar hal-hal zahiriyah. Tetapi pengajaran etika, keutamaan
batiniyah, tampaknya sering dilupakan. Prestasi siswa di berbagai
bidang sastra, sains, teknologi, komunikasi, dan lain-lain, tertuju pada
persaingan bagaimana memenangkan perlombaan. Namun, sikap, laku, dan tindak
tanduk tidak dibicarakan. Etika belum menjadi titik tekan. Apa yang membentuk
dan laku utama, tampaknya masih dianggap sampingan, bukan utama. Etika Pancasila bisa
mengisi kekosongan ini. Etika pembentukan pribadi, seperti kejujuran, dan
sikap adil dalam berfikir dan bertindak perlu digarap secara Pancasilais dan
serius. Sumber etika bisa berupa realitas kehidupan, lewat perenungan dan
penelitian, serta kesepakatan-kesepakatan dari berbagai wacana dan pergulatan
(Sila ke dua berupa kemanusiaan, dan Sila ke empat yaitu permufakatan
bersama). Menurut hemat para
komentator, cendikia, dan para guru bangsa yang masih menyertai kita, para
pemimpin generasi kini masih jauh dari ideal dalam hal etika. Tidak perlu
diungkap seberapa persen dari kita yang benar-benar berpegang pada
nilai-nilai kejujuran. Berita di koran dan indeks
penyelewengan dan penyimpangan kita tidak perlu diulang-ulang. Bahkan
sentimen keagamaan dijadikan bahan untuk memperkuat posisi, sudah bukan
rahasia lagi. Etika Pancasila perlu
disederhanakan lagi agar menjadi bahan pengajaran, rambu laku, perilaku,
sikap, dan aturan yang rasional berdasar kehidupan nyata. Etika Pancasila
juga menjadi sumber kebahagiaan, bukan idealisme utopis berdasar ketakutan
atau ancaman. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar