Mencegah
Perkawinan Anak Rita Pranawati ; Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia |
KOMPAS, 23 Juli 2021
Peristiwa perkawinan anak
masih terus marak terjadi. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab dari
meningkatnya kasus perkawinan anak. Kemiskinan orangtua,
aktivitas anak yang tak produktif, dan pergaulan bebas dianggap menjadi
penyebab meningkatnya perkawinan anak selama pandemi. Kondisi ini tentu
membahayakan bagi perlindungan anak dan masa depan bangsa Indonesia. Negara perlu hadir
mengurai perkawinan anak semaksimal mungkin. Terjadinya perkawinan anak akan
mengancam sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa datang. Akibat
perkawinan anak, pendidikan anak menjadi terputus, angka kematian ibu dan
bayi meningkat, lahir anak dengan kondisi tengkes (stunting), serta terjadi
kemiskinan berulang pada anak yang mengalami perkawinan anak. Perkawinan anak bisa
terjadi karena dimohonkan dispensasi kawin atau menikah secara resmi. Selain
itu, ada perkawinan anak yang tidak tercatat. Tahun lalu, terdapat 59.117
permohonan dispensasi kawin dengan permohonan tertinggi terjadi di Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Angka ini meningkat
signifikan dari 15.574 permohonan pada 2018 dan 29.359 permohonan pada 2019. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, terdapat 10,35 persen perempuan berusia 20-24 tahun yang
menikah sebelum usia 18 tahun. Angka ini memprihatinkan meski turun dari 11,2
persen tahun 2018, dengan daerah terbanyak Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Data itu memberikan
gambaran bagaimana praktik perkawinan anak terjadi di Indonesia. Sebagian
perkawinan anak berjalan kultural, sedangkan yang lain menggambarkan proses
permohonan dispensasi kawin ke pengadilan. Kenaikan permohonan
dispensasi kawin pada satu sisi menggambarkan tren meningkatnya perkawinan
usia anak, tetapi pada sisi lain juga merupakan kondisi peningkatan kesadaran
hukum. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penanganannya dapat dikanalisasi
sejak pra permohonan, proses persidangan, hingga pasca-putusan. Kenaikan angka permohonan
dispensasi kawin di antaranya karena hadirnya revisi Undang-Undang Perkawinan
Nomor 16 Tahun 2019 yang mensyaratkan kenaikan usia perkawinan yang
diizinkan, yaitu 19 tahun bagi pria dan wanita. Meski demikian, harus
dilakukan upaya komprehensif untuk mencegah, menangani, hingga mitigasi jika
terjadi perkawinan usia anak. Pra-peradilan Pemerintah sedang menyusun
rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang mengatur dispensasi kawin.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah memiliki Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin. Namun,
aturan tersebut dirasa belum cukup kuat untuk melakukan pencegahan perkawinan
anak dalam proses peradilan. RPP ini diharapkan dapat
memberikan kebijakan yang mengatur upaya pencegahan sebelum anak dimohonkan
dispensasi. Upaya itu, di antaranya, adalah adanya surat keterangan
pendidikan anak dari dinas pendidikan untuk mengetahui kondisi pendidikan
anak. Surat keterangan sehat
khusus permohonan dispensasi kawin untuk memastikan kondisi kesehatan anak
yang dikeluarkan rumah sakit atau puskesmas. Adanya kasus seorang anak
diminta mengaku hamil agar permohonan dispensasi kawin dikabulkan adalah
kekerasan terhadap anak. Kedua surat keterangan tersebut dibutuhkan untuk
mendapatkan gambaran kondisi anak, sekaligus upaya pencegahan melalui proses
pada institusi terkait. Salah satu prasyarat
penting lainnya adalah asesmen terhadap anak yang dimohonkan dispensasi.
Dengan adanya asesmen, diharapkan anak dapat diketahui kondisinya, mengapa
harus menikah, serta apa problem yang dihadapi. Beberapa alasan yang sering
diajukan kenapa anak dimohonkan dispensasi kawin, di antaranya adalah karena
anak dianggap memiliki relasi yang berlebihan, hamil, atau ingin menikah. Asesmen dilakukan untuk
memverifikasi kondisi anak sekaligus memberikan konseling kepada anak.
Asesmen dilakukan dengan mengundang calon pasangan, kedua orangtua, dan
orangtua calon pasangan. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran utuh perkawinan
dan melakukan intervensi yang diperlukan. Sekali lagi, upaya pencegahan
dilakukan dalam setiap tahapan. Pengaturan
melalui peradilan Proses di peradilan
menjadi benteng formal terakhir dalam mencegah perkawinan anak. Lahirnya
Perma No 5/2019 yang mengatur atau mengadili perkara dispensasi kawin
merupakan respons progresif MA. Meski demikian,
peningkatan kapasitas hakim harus terus ditingkatkan karena mengadili perkara
dispensasi kawin membutuhkan perspektif perlindungan anak yang kuat. Hakim
pidana harus memiliki sertifikat hakim anak jika mengadili perkara pidana
anak. Sudah seharusnya pula hakim yang mengadili perkara perdata anak
memiliki sertifikat pelatihan hakim anak. Mendengarkan pendapat
dalam perkara dispensasi kawin menjadi bagian penting sebagai penerapan
prinsip perlindungan anak. Anak harus didengarkan secara terpisah oleh hakim
dan didampingi oleh pekerja sosial atau psikolog jika dibutuhkan. Hakim mendengarkan
pendapat anak untuk memastikan kondisi anak, mengapa dimohonkan dispensasi
kawin. Dengan demikian, hakim akan memutuskan berdasarkan kepentingan terbaik
bagi anak. Oleh karena itu, infrastruktur pengadilan, khususnya pengadilan
agama, juga harus dilengkapi untuk peradilan perdata anak, sebagaimana
peradilan pidana. Penasihatan dalam
persidangan menjadi salah satu syarat proses peradilan perkara dispensasi
kawin. Sudah semestinya penasihatan memastikan bagaimana nasib pendidikan
anak, risiko terhadap kesehatan reproduksi, kerentanan ekonomi, dan
kerentanan psikologis anak jika menikah. Sebab, sejatinya tujuan
perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Dalam hal ini, proses penasihatan dalam
persidangan penting untuk memastikan ketercapaian tujuan perkawinan tersebut. Peran
pemangku kepentingan Proses peradilan
permohonan dispensasi kawin diupayakan sebagai proses kehati-hatian untuk
melindungi anak Indonesia. Semua pihak terkait pada pra-permohonan dispensasi
kawin— di antaranya dinas yang mengurusi perlindungan anak, dinas kesehatan,
dan dinas pendidikan—sudah seharusnya mendukung upaya advokasi pencegahan
perkawinan anak. Selain itu, para pihak
juga harus mengawal putusan dispensasi kawin. Semua pihak harus mengawal
mitigasi jika permohonan dispensasi kawin dikabulkan. Hal ini untuk
mengurangi dampak dari perkawinan anak. Kerja sama lintas sektor, termasuk
kantor Kementerian Agama, sangat diperlukan untuk mengurangi risiko
perkawinan anak. Anak harus dipastikan
terpenuhi hak pendidikan serta mendapatkan pendampingan psikologis dan
kesehatan. Semua upaya mitigasi ini dilakukan untuk menjaga kesejahteraan
anak dan mengurangi risiko kematian ibu dan anak, kasus tengkes, konflik dan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kemiskinan pada anak. Jika mitigasi tidak
dilakukan, kesejahteraan anak akan semakin buruk. Hal ini akan berdampak pada
kualitas SDM Indonesia di masa akan datang. Pada akhirnya, pemerintah
daerah harus berjejaring hingga tingkat desa/kelurahan untuk mencegah
perkawinan anak. Pemerintah daerah
mengonsolidasikan dinas dan kementerian terkait untuk mengupayakan pencegahan
melalui optimalisasi peran sekolah, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga),
penyuluh agama, penyuluh Keluarga Bencana (KB), dan puskesmas. Kepala desa/lurah menjadi
benteng terakhir dalam mengedukasi dan mencegah terjadinya perkawinan anak.
Dengan bersatunya seluruh pemangku kepentingan, perkawinan anak secara
kultural ataupun lewat proses dimohonkan dispensasi kawin dapat dicegah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar