Generasi
yang Menciptakan Kearifan Zaman Mereka Sendiri Iqbal Aji Daryono ; Penulis, tinggal di Bantul |
DETIKNEWS, 27 Juli 2021
Pagi tadi, saya berdebat
kecil dengan istri. Gara-garanya saya nyeletuk tentang kekhawatiran atas anak
sulung saya, yang pada bulan ini sudah berumur selusin tahun itu. Di usia
segitu, saya melihat dia belum cukup memunculkan tanda-tanda keterampilan
sosial. Anaknya pemalu, kalau bicara dengan orang lain pelan sekali, padahal
di rumah ia ceriwis tanpa henti. Dia memang tidak punya
masalah dalam pelajaran, baik ketika sekolah masih normal maupun selama
pandemi ketika sekolah jadi daring begini. Bahkan pada beberapa mata
pelajaran tertentu ia tampak menonjol. Namun, pintar akademis saja tanpa
keterampilan sosial? Aduh. Bagi saya, itu memang
mencemaskan. Bukan karena saya terpengaruh teori apa-apa atau termakan
motivator mana, tetapi agaknya lebih karena egoisme saya sendiri. Saya orang
yang sejak kecil sangat tergantung dengan kehidupan sosial. Lebih banyak
mainnya daripada belajarnya, lebih banyak nongkrongnya daripada membacanya.
Bukan jenis yang bandel-bandel amat sih, tapi tetap saja tak bisa menjalani
waktu tanpa teman-teman di sekeliling saya. Bahkan semua itu berlanjut
hingga umur terus menua. Boleh dikata, sebagian besar jalur penghidupan saya
pun datang karena berkah pertemanan. Saya juga percaya, lebih enak
menjalankan aktivitas produktif bersama orang yang kapasitasnya biasa-biasa
saja tetapi menyenangkan sebagai teman, ketimbang sama orang yang pintar
tetapi menyebalkan. Lebih dari itu, bahkan
saya merasa bahwa teman-teman adalah bagian dari kehidupan utama saya.
Boleh-boleh saja saya mengalami fase susah semisal merasa tak punya otak dan
tak punya duit, dan toh masih bisa bertahan. Tapi tak punya teman? Wah,
bakalan habislah saya. "Lho, sik! Bentar to,
Pak!" istri saya memotong. "Kamu kira sekarang ini siapa yang nggak
cemas dengan kehidupan sosial anak-anak? Semua orang begitu juga kondisinya,
kan?" Saya tercenung. Oh iya ya,
betul juga. Baik punya bakat sosial maupun tidak, baik yang anteng maupun
yang ceriwis, anak siapa sekarang ini yang punya ruang untuk mengondisikan
diri mereka dalam kehidupan sosial, lalu mengasah keterampilannya dalam
bersosial? Lihat saja,
sekolah-sekolah ditutup, ruang-ruang kelas diboyong ke kotak-kotak Zoom atau
bahkan ke halaman-halaman beku bernama grup Whatsapp. Sementara, sebagian
besar manusia modern mengandalkan sekolah sebagai pembentuk kesadaran bermasyarakat
mula-mula bagi anak-anak mereka. Model masyarakat mula-mula yang jadi
referensi anak-anak di era kita adalah lingkungan sekolah. Itu dia. Artinya, sekarang ini
sebagian besar anak-anak kehilangan kehidupan bermasyarakat mereka. Betul,
kan? Apa? Bermasyarakat lewat Zoom dan Google Meet? Lalu menyimak teman-teman
mereka tertawa hanya secara visual saja, dan karena fitur mute lenyap sudah
suara mereka? Atau bermasyarakat lewat grup Whatsapp, dan mengekspresikan
skill interpersonal dengan emoticon yang itu pun biasanya dipencetkan oleh
bapak-ibu mereka? Rasanya itu semua agak
fals untuk disebut sebagai bermasyarakat. Tapi, "...semua orang
begitu juga kondisinya, kan?" Potongan kalimat terakhir istri saya itu
menyembul kembali dalam kepala saya. Ini sejenak menghentikan kelebat-kelebat
kecemasan di dalamnya. Ya, kalau semua anak di
zaman pandemi ini punya keterbatasan sosial, artinya anak saya tidak sendiri.
Semua anak di Indonesia, bahkan di dunia, ya seperti itu. Walhasil, nantinya
selepas pandemi mereka akan berada pada strata yang kurang lebih sama dalam
kemampuan pergaulan. Artinya, anak saya sendiri pun tidak perlu saya
cemaskan, karena dia tidak akan menghadapi satu lanskap dunia yang membuat
dia tenggelam. Ini jadi mirip-mirip
perkara relativitas pada umumnya. Andai semua orang berbadan kurus, misalnya,
maka sebenarnya semua orang gemuk juga. Sebab di dunia khayalan itu tidak ada
pembanding antara kurus dan gemuk. Andai semua orang cantik dan ganteng, maka
pada hakikatnya semua orang jelek pula. Sebab selain masuk ke wilayah
subjektivitas dan konstruksi sosial, soal ganteng dan jelek adalah perkara
perbandingan. Begitu pula, sekarang ini
kita mengenal barang mewah semisal jam tangan Rolex atau tas Hermes. Tapi
andai kita menghadapi sebuah dunia di mana semua orang tanpa terkecuali punya
Rolex dan Hermes, lantas nilai benda itu ada di mana? Tidak di mana-mana. Atau sebaliknya. Taruhlah
semua orang di dunia ini miskin tanpa kecuali, dan berada dalam strata
kemiskinan yang sama, berarti semua orang juga kaya. Sebab tak ada jenis
kekurangan tertentu yang membuat kita melihat orang lain sebagai lebih miskin
dibanding yang lainnya. Karena itu jugalah utopisme komunisme pernah menjadi
cita-cita jutaan orang, sebab ketidakbahagiaan akan datang bukan karena tidak
tercapainya suatu strata kekayaan, melainkan karena mencoloknya kesenjangan. Dan kita paham,
kesenjangan adalah situasi ekstrem dari sebuah paket komparasi, ketika ada
orang tampak kaya sekali, sedangkan di sisi sebelah sana ada yang terlihat miskin
sekali. Maka, ketika gampangnya
nanti gara-gara pandemi ini semua anak jadi bodoh, terutama pada perkara
kecerdasan sosial, sebenarnya yang akan mereka hadapi adalah satu generasi
yang sama-sama bodoh-sosial, bukan? Ini agak menenangkan hati saya. Di sisi lain, sebodoh apa
pun anak-anak generasi pandemi, toh mereka telah mengenal instrumen
komunikasi yang, seminimalis apa pun, tetap saja bisa digunakan
sebisa-bisanya. Dari situ, saya tidak percaya dengan ketakutan munculnya lost
generation gara-gara gelombang pandemi ini, sebagaimana yang pernah
dilontarkan seorang pakar kepada salah satu menteri. The lost generation yang
disebut-sebut sang pakar itu mengacu pada generasi pasca-Perang Dunia
Pertama, ketika puluhan juta orang tewas, puluhan juta lainnya terluka dan
tak lagi bisa berbuat apa-apa, lalu puluhan juta sisanya kehilangan
cita-cita. Situasi seekstrem itu
tidak terjadi di masa pandemi ini. Sehancur apa pun kita, pertukaran
informasi yang masif tetap terjadi, gagasan-gagasan baru terus diproduksi.
Selebihnya, satu generasi anak-anak yang mengandalkan kotak-kotak Google Meet
dan grup Whatsapp untuk berinteraksi itu akan beradaptasi, menciptakan
kearifan zaman mereka sendiri. Dan saya? Saya hanyalah
angkatan tua renta yang terlalu meremehkan kekuatan anak-anak itu, mengukur
mereka semata dengan standar saya, dan secara egois-naif membayangkan bahwa
mereka seharusnya melanjutkan kehidupan sebagaimana generasi saya
menjalankannya. Saya jadi ingat sepotong
obrolan Nicholas Carr dalam bukunya Shallows yang terkenal itu. Pada awalnya,
kata Carr, jangan dikira peradaban kertas datang secara baik-baik saja. Di
sela persetujuannya atas pencatatan pemikiran di lembar-lembar manuskrip,
filsuf sedahsyat Socrates pun menyimpan keresahannya. "Karena simbol
menggantikan ingatan, tulisan mengancam akan membuat kita menjadi pemikir
dangkal, sehingga kita tidak bisa mencapai kedalaman intelektual yang akan
mengantarkan pada pengetahuan dan kebahagiaan sejati." Begitu kata
Socrates, sebagaimana dikisahkan oleh Plato, muridnya. Bayangkan, Socrates
melihat kertas-kertas, anak kandung peradaban pada generasi setelah dia,
sebagai asal-muasal kedangkalan berpikir! Tapi kemudian kita tahu,
pada 1445 Gutenberg beraksi, kapitalisme cetak pun dimulai. Lalu hingga lebih
dari setengah milenium setelahnya, kertas-kertas justru menjadi sumber
pengetahuan tertinggi. Kita pun akhirnya mengerti, bahwa kecemasan Socrates
itu tak lebih dari kecemasan seorang tua renta yang meremehkan kemampuan
anak-anaknya. Dan bisa jadi, saya di
hari ini mengulang model kekhawatiran Socrates belaka. Masalahnya, terlalu
ge-er juga kalau saya menyama-nyamakan diri dengan sang filsuf pendobrak
Athena hahaha! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar